7. Bandara King Abdul Aziz

37 0 0
                                    



Sesampainya di bandar udara Sukarno-Hatta, para petugas berangkat menuju Arab Saudi menggunakan pesawat reguler Garuda Indonesia. Dari bandara pesawat take off jam 18.00 dan dijadwalkan tiba di bandara King Abdul Aziz, Jeddah pukul 24.00 waktu Arab Saudi. Menurut kru pesawat, perjalanan dari jakarta ke Jeddah ditempuh dalam waktu 9 jam dengan perbedaan waktu antara Arab Saudi dan Indonesia sekitar 4 jam.

Setelah melalui perjalanan panjang, Kapten pilot memberitahu dalam beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di bandara King Abdul Aziz. Rasa syukur menyelimuti penumpang. Dari pesawat yang terbang rendah nampak Gemerlap lampu kota Jeddah di malam hari. Sungguh kota yang indah. Lampu warna-warni menghiasi bangunan dan jalan-jalan yang tertata rapi. Pesawat pun berputar sebentar mencari sudut untuk landing.

Alhamdulillah, itulah kalimat yang terucap saat rombongan petugas haji menginjakkan kaki di bandara Internasional di Jeddah. Akhirnya sampai juga Zul di negeri kaya minyak. Mereka berkumpul di sebuah tempat yang disediakan untuk jamaah Indonesia. Haru biru sungguh terasa, terutama bagi mereka yang baru pertama kali ke tanah suci. Kohar menangis sesenggukan sambil sujud syukur. Soleman, matanya berkaca-kaca, rasa senang tersirat dari matanya meski tangannya kepayahan mengangkat barang bawaannya yang super banyak.

Angin bertiup sepoi-sepoi. Suasana bandara masih lengang. Hanya nampak beberapa rombongan petugas dari Mesir dan Turki. Kedua negara itu mempunyai jumlah jamaah haji terbanyak setelah Arab Saudi dan Indonesia. Warna-warni kulit manusia membawa aroma keindahan dalam sebuah perbedaan. Perbedaan bangsa itu di tanah suci disatukan dalam prinsip akidah yang satu yakni dalam Islam.

Lalu-lalang pria bersorban dengan gamis putih panjang menghiasi malam di bandara. Mereka adalah petugas bandara dan imigrasi kerajaan Arab Saudi. Selain itu terdapat sekumpulan lelaki berbadan besar dengan pakaian wearpack hijau-hijau yang sibuk mengangkut tas jamaah yang baru datang. Tampaknya mereka bukan orang asli Saudi.

Dari informasi di situs haji, pemerintah Arab Saudi setiap musim haji mendatangkan tenaga angkut barang dari Syiria, Mesir atau Irak. Umumnya mereka para pemuda dengan postur tinggi tegap dan tenaga yang kuat. Sedangkan petugas kebersihan berasal dari negara-negara miskin di semenanjung Teluk seperti Yaman dan Oman. Kebanyakan sudah berumur berseragam wearpack biru.

Bandara King Abdul Azis merupakan pintu masuk terbesar setiap musim haji. Mayoritas jamaah haji masuk melalui bandara yang luasnya 51 hektar ini. Selebihnya, lewat Bandara Madinah, Riyad dan Dammam. Disamping itu ada pula yang masuk lewat pelabuhan yakni Pelabuhan Jeddah, Yanbu dan Dammam.

Yang menarik, airport haji ini dibangun dengan bentuk kemah dari bahan Fiber Glass. Jumlahnya ada 210 kemah yang mampu menahan panas dan hujan serta perubahan udara dan dibuka bila diperlukan. Fasilitas yang disediakan cukup lengkap. Mulai kamar mandi, tempat wudlu yang terpisah antara pria dan wanita, money changer, toko makanan, tempat istirahat , posko kesehatan dan sebagainya.

Meski tampak besar, namun bandara ini terbuka sehingga angin malam berhembus menusuk tajam sampai ke tulang. Dingin sekali laksana badai padang pasir. Tak hayal, orang-orang pun menggunakan jaket tebal untuk mengantisipasi cuaca yang cepat berubah. Khusus jamaah haji Indonesia, dibangun posko kesehatan bagi jamaah yang sakit di bandara. Tidak ada negara lain yang memiliki fasilitas sepeerti ini.

***

Zul merebahkan kakinya selonjoran di atas karpet merah untuk merenggangkan urat syaraf. Para petugas sibuk dengan aktifitas masing-masing. Kohar datang membawa air mineral. Dia membeli seharga 2 riyal dari toko roti di pojok bandara. Satu riyal nilainya sekitar dua ribu lima ratus rupiah.

"Lima ribu perak. Mahal ya, di tempat kita cuma tiga ribu rupiah," ujar Zul.

"Kata kakekku yang sudah haji 10 tahun lalu harganya dari dulu juga 2 riyal," sahut Badrun.

"Memang, 10 tahun lalu 1 riyal cuma enam ratus perak, sekarang dua ribu lima ratus rupiah," ujar mas Imam.

"Kalau gitu, mata uang kita yang terdepresiasi, mata uang riyal stabil," Zul menyimpulkan.

Mas Imam mengiyakan. Pondasi ekomomi negara Kerajaan ini cukup kuat sehingga mata uangnya tidak mengalami penurunan selama 10 tahun. Berbeda dengan Indonesia pondasi ekonominya terlalu lemah karena semua kebuuhan bergantung dari luar. Akibatnya mata uang rupiah sering terombang-ambing karena faktor global.

Tak lama kemudian sebuah bus menjemput mereka, tiba. Kepala rombongan meminta petugas masuk sesuai dengan nomor bus. Di Indonesia biasanya sopir berada di kanan, tapi di Saudi sebaliknya. Bagi yang jarang mengemudi di sisi kanan terlihat kikuk, meski lama-kelamaan terbiasa. Bus pun meluncur menuju sebuah tempat yang bernama Madinatul Hujjat.

Madinatul Hujaj merupakan sebuah komplek asrama yang sangat luas di kawasan yang tidak jauh dari Laut Merah. Tempat ini bisa menampung 10 ribu orang. Itulah alasan kenapa pemerintah menyewa asrama ini tiap musim haji. Konon harga sewanya relatif murah. Tempat ini hanyalah tempat transit atau menginap semalam.

***

Oh hampir lupa. Zul harus membuat laporan perjalanan ke tanah suci untuk majalah Mabrur. Pak As berpesan untuk melaporkan berita melalui telepon setelah Zul sampai di Jeddah. Anak muda itu lalu menelpon pak As yang kebetulan sedang di kantor. Dini hari waktu Saudi, bertepatan dengan jam kerja di tanah air karena perbedaan waktu 4 jam.

"Alhamdulillah pak, saya sudah di Jeddah, sekarang di Madinatul Hujjaj,"

"Oh syukurlah, bisa anda laporkan kondisi di sana bagaimana?"

Zul pun menceritakan kondisi perjalanan. Mulai dari keberangkatan dari Pondok Gede, ke bandara Sukarno Hatta, lalu tiba di bandara King Abdul Azis. Pak As pun mendengarkan sambil menuliskannya di depan laptop. Sementara Bondi yang berada tak jauh dari pak As, hanya bisa membayangkan alangkah indahnya bisa berangkat haji ke tanah suci tanpa biaya.

-0-

WQVR

Senandung Bukit CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang