Bisakah sajak tertoreh sendiri, tanpa ada seseorang yang membuatnya berlarik. Padahal sajakku butuh kamu yang memberinya nafas dalam getir asmaraku yang kacau ini.
Bisakah pena mengalun sendiri, tanpa tangan yang mengayunkan sepi. Padahal tanganku butuh kamu agar tak bergetar mengalunkan pena kehidupan yang perih ini. Menggoreskan partikel kehampaan denganmu dalam kertas tak bergaris.
Bisakah kopi pahit menjadi manis. Padahal hanya kamu yang menyentuh kopi pahit yang tak selaras dengan hati. Sedang diriku lebih suka teh dengan gula yang menjadikannya manis.
Bisakah puing-puing menyatu lagi, tanpa timbul keretakan yang berarti. Padahal hanya kamu yang menyatukan dengan retak yang masih belum sepenuhnya sembuh di sini.
Bisakah daun berterbangan mengisi kekosongan cakrawala, tanpa angin yang menuntunnya pergi. Padahal kamu yang membuat cakrawala-ku sepi. Dengan sirnanya sinar surya di altar hati.
Bisakah ombak menggulung, tanpa ada gelombang yang mengadu. Padahal ombak berkejaran menuju tepian tanpa pernah putus harapan. Mengejar kenestapaan seperti aku yang masih berusaha menunggumu. Sedang gelombang masih mengadu perihal kepercayaan yang belum bisa kau bagi dengan diriku.
Bisakah rintik-rintik hujan menghujam tanah, tanpa ada mendung di langit malam. Padahal bintang-bintang menggantung indah di angkasa tanpa pernah tahu hujan turun di pelupuk mataku hari ini. Menunggu lelap menyergap raga yang senantiasa memilih langit malam menjadi objek mencurahkan segala-galanya.
Bisakah langit berubah gelap, tanpa adanya senja yang menuntunnya pulang. Padahal bukan hanya senja yang menuntun pulang. Ada raga yang jiwanya tak berisi disini masih setia menunggumu pulang.
Bisakah pelangi mengisi pandangan kosongmu, tanpa ada hujan yang sebelumnya mengguyur. Padahal berjuta pelangi yang kurindu hadir dalam kedua iris matamu. Mata yang sayu kadang indahnya mengalahkan bintang yang meredup.
Bisakah senyum tertoreh diwajahmu, tanpa ada dusta di dalamnya. Padahal ragu tertimbun dalam celah pemikiranmu. Ragu yang mengubahnya menjadi jutaan kebungkaman tanpa selengkung tipis senyum manismu.
Bisakah diam kita mengungkapkan, tanpa ada diam-diam yang kan tercipta. Padahal diamku tak bisa menembus partikel-paetikel udara. Sedang diammu beku tak berpindah.
Bisakah sunyi menyatukan, tanpa ada rindu yang berbicara. Padahal rinduku menjerit memekak di kesunyian. Sunyi tetap sunyi dengan rindu dalam sekelebat desir angin yang hadir.
Bisakah rinduku bertemu dengan diri yang kurindu, tanpa ada rindu yang kan disambut lagi. Padahal aku sudah lelah menjabat kerinduanku sendiri. Kerinduan yang bergetar melampiaskan segalanya kepada raga yang sujudnya penuh air mata.
Bisakah kejujuran terucap, tanpa ada suara yang tercipta. Padahal kamu tak tak pernah mengucap serangkaian kata padaku. Sedang diriku diam tak bisa ungkapkan lagi perihal kejujuran padamu.
Bisakah hening mengungkapkan kerinduanku, tanpa kamu yang kurindu. Kebungkaman yang berdasar saat kau beralih pada seseorang. Saat hati tak lagi kau jaga, saat rasa tak lagi kau tahu.
Bisakah perpisahan dapat terucap, tanpa hadirnya sesal. Padahal kamu yang memisah dari ikatan yang belum tersimpul sempurna.
Bisakah hujanku kau dengar, tanpa ada rintik yang menetes. Padahal isakannya menggema di altar kosong yang sebelumnya kau diami. Hingga meretakkan saksi bisu kepergianmu menembus sepi.
Bisakah aku menunggumu, tanpa ada kabar mengenaimu. Padahal aku masih sepi. Tapi aku menunggumu dengan sunyi. Dengan seruan nada-nada dari hening.
Bisakah aku bertahan, tanpa kepastian dalam hidupku. Padahal ragu masih terombang-ambing. Aku hanyalah buih di laut lepas.
Bisakah aku tegar, tanpa hadirnya kamu disetiap malamku. Padahal aku hanya menanti. Kadang kala hanya tangisku tak berarti.
Bisakah aku percaya, tanpa kepercayaan darimu. Padahal kamu bisa percaya dari segala yang kau curahkan padaku. Tapi bisakah aku percaya tanpa kamu yang mengungkapkan.
Bisakah aku sayang, tanpa ada komitmen diantara kita. Padahal rasaku ada padamu. Salahkan hati yang terlanjur memilihmu kali ini.
Bisakah aku cinta, tanpa kamu yang mencintaiku. Padahal sakit menggores sebilah penantian yang berarti. Bahkan terkadang mematahkan harapan hingga ragu kembali menjamah hidupku.
Bisakah aku mengisi kekosongan dalam hatimu, tanpa ada kehangatan untukku. Padahal aku tak suka menanti dnegan segala spekulasi yabg hadir kali ini.
Bisakah aku menjadi tempatmu pulang, tanpa ada masa lalu kita. Padahal masa lalu kan terus kita kenang. Hingga saatnya masa lalu kan meretakkan hubungan yang mendatang.
Bisakah kita melangkah bersama, tanpa ada aral yang melintang. Padahal tak ada lagi genggaman tanganmu kali ini. Aku hampa. Kosong. Tak sanggup nelangkah setelah jatuh terjerembab ke tanah.
Bisakah ini tersampaikan, tanpa ada yang mengerti ini untukmu. Padahak sajak ini hanya untukmu. Yang pernah memvuatku menanti. Yang pernah singgah di altar hati.
Bisakah kau paham, tanpa harus aku jelaskan. Padahal kamu bungkam. Kamu yang tak bisa ungkapkan karena tak ada selaksa rasa yang sama untuk diriku ini.
Bisakah kau percaya ini untukmu, tanpa ada kebohongan di setiap barisnya. Padahal tiap barisnya hanya menyisakan luka.
Bisakah kau percaya aku sudah ungkapkan isi hatiku, tanpa tahu kau sudah berada di ujung barisku.
Bisakah ini tersampaikan, Untuk Seorang lelaki yang sajaknya aku rindukan.
Untuk seorang lelaki yang hadirnya aku rindukan.
Untuk seseorang yang kini membuatku meragu.
Salviniamei
20 Agustus 2016
22.08
Entah. Baru kali ini aku merasa tak ingin bersegera membuat suratku tertuju padamu. Hingga baru sempat kuberikan ini kepadamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Beloved
PoesíaKamu yang lalu, kamu yang kemarin, kamu yang kusayangi. cover by @hidario