MY LOVE

36 1 0
                                    

Di sinilah aku berdiri menatap muram kerumunan orang. Di dalam kerumunan itu tampak Putri Kecil menggenggam erat lengan Steven yang terlihat goyah dengan wajah muram, mata bocah itu sembab dan merah, juga tampak sisa-sisa air mata di pipinya. Putri Kecil juga dengan kondisi yang sama, beberapa waktu yang lalu menghibur Steven dengan banjir air mata, mengatakan bahwa ia mengerti perasaan Steven. Bocah itu langsung terdiam dan terisak-isak untuk mengucapkan terima kasih dan meminta maaf karena ia tidak ada di sisi Putri Kecil ketika di hari itu, dan saat ini gadis kecil itu ada untuk Steven, menghiburnya dengan sepenuh hati disamping ia juga merasakan kesedihan itu. Bocah itu hanya sesaat mencurahkan kesedihannya dan digantikan oleh ketegaran. Madam Edward dan suaminya, Mrs. Overland, Mr. Thomas, Miss Jenny, dan George juga berada dalam kerumunan itu. Ekspresi mereka menyiratkan kesedihan yang mendalam menatap gundukan di hadapan mereka.

Georgia adalah tempat yang jauh dari Desa Burgess, namun hanya mereka yang datang sebagai perwakilan. Sebuah tanah dengan bentangan padang rumput dan hutan, tanah yang dibeli oleh Duke Edward untuk dijadikan perternakan nantinya. Tidak ada air mata yang jatuh dari pelupuk mataku yang kemudian membeku seperti dulu, namun yang menangis adalah hatiku. Seharusnya aku mengetahui bahwa hanya anak-anak yang percaya padaku yang dapat melihatku... seharusnya aku mengerti bahwa jika ada yang dapat melihatku itu tidak lain adalah ia juga berasal dari golonganku sendiri yang spirit ini.

Seharusnya aku dapat mengiranya.

Ketika tubuh Emilia dipenuhi bercak-bercak sinar perak yang temaram. Aku mengendurkan pelukanku darinya dan memperhatikan dirinya yang tertunduk. Perasaan bingung menggerogotiku, dengan perlahan aku menangkup kedua pipinya dan mengangkatnya agar aku bisa melihat wajahnya. Panik. Emilia menutup matanya, ia terlihat tertidur dengan damai. Tidak, tidak... jangan sekarang!

"Emilia," panggilku dengan gemetar, "hai, Manis." Aku mencoba menghentak kesadarannya dengan memanggilnya seperti itu, meskipun dari awal aku ingin menggodanya dengan panggilan itu, menunjukkan perasaan ini kepadanya. Tapi aku menahan diri karena rasa segan padanya dan juga kepada pria yang ia cintai. Selain itu, bagi Emilia ini pertama kalinya ia bertemu denganku.

"Hm..." ia bergumam kecil, matanya terbuka sedikit dan memandangku dengan teduh membuatku merasa lega.

"Senangnya kamu memanggilku begitu," ujarnya lembut sementara ia menjejalkan tangannya menangkup punggung tanganku di pipinya.

Aku tidak mengerti apa yang ia katakan, kebingungan membuatku mengabaikan bercak-bercak keperakan di sekujur tubuhnya dan sebagian yang memenuhinya mulai berurai membentuk serpihan-serpihan sayap kupu-kupu yang berterbangan. Ia mengatakan sesuatu yang benar-benar membuatku bingung dan kaget tidak keruan.

"Kenapa? Kenapa kamu bisa merasakan hal itu terhadapku, Emilia? Itu mustahil."

Aku menggelengkan kepalaku dengan panik. Aku segera memeluknya seerat mungkin. Melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu membuatku tidak tega menuntut jawaban darinya, ketika ia mengatakan kata-kata itu ada perasaan tulus yang terpancar dari sinar matanya. Aku tahu ia tidak berbohong. Emilia tidak berbohong. Tapi kenapa? Kenapa ia merasakan perasaan itu, kenapa ia mengucapkan kata-kata itu? Kenapa?

Tubuhku gemetar, dadaku sesak, dan kata-kata yang sama untuk membalas Emilia tertahan di bawah tenggorokanku. Aku berusaha memaksa untuk mengucapkannya, menghalau rasa takut akan kehilangannya lebih cepat, tapi kalau tidak mengucapnya sekarang aku akan menyesal seumur hidupku.

"A... aku... aku juga mencintaimu, Emilia." Aku mencintaimu!

Tahun demi tahun berlalu dengan perasaan bingung yang terus melandaku, terkadang. Tapi aku memilih menjaga kenangan singkat itu, dan rasa cinta yang tidak pernah pudar meski aku telah melewati waktu tiga ratus tahun. Pada awalnya, pertanyaan-pertanyaanku yang tidak terjawab oleh Emilia waktu itu membuatku bingung, dan lagi-lagi Lagus membantuku untuk memilah hal-hal positif lainnya, meski aku tetap tidak mendapatkan jawaban pastinya, yang ada hanya spekulasi-spekulasi semata, namun itu sedikit membantu. Sebab perasaanku nyata dan perasaan Emilia padaku tulus: hanya saja saat itu aku tidak tahu kenapa Emilia bisa menumbuhkan perasaan itu sementara ia tidak dapat melihatku. Selain itu, yang menjadi kekuatanku untuk melanjutkan segala halnya adalah kata-kata terakhir Emilia padaku.

Semuanya akan baik-baik saja... akan baik-baik saja, Jack.

Dengan erat aku memeluknya sementara tubuhku gemetar dan nafasku tidak keruan, "A... aku juga mencintaimu, Emilia."

"Aku tahu... aku sangat mengetahuinya!" Ia mengendurkan pelukanku dan dengan lembut ia menangkupkan kedua tangannya di pipiku. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku hingga ujung hidung kami saling bersentuhan.

Aku bisa merasakan kehangatannya, kelembutannya, tapi hal itu tidak bisa membuat gemetar tubuhku berhenti. Tidak akan bisa! Karena aku tahu, aku takut bahwa aku merasakan ia akan "pergi". Seandainya ini mimpi, hal itu tidak akan menjadi masalah karena aku masih bisa melihat senyumannya ketika aku bangun. Namun, pikiranku menjerit-jerit bahwa ini bukanlah mimpi: bahwa Emilia benar-benar akan "pergi". Aku tidak tahu kenapa hatiku sesakit ini, apakah karena aku mencintainya?

Aku memicingkan mataku dengan perih, "Emilia... kenapa? Kamu bukannya... tidak bisa melihatku... atau kemarin kamu hanya berpura-pura tidak melihatku...." Aku berharap kalau itu benar dan menyangkal dugaan yang melintas di benakku, dugaan yang mengerikan yang akan membuat dadaku sesak dan nyeri di dadaku yang semakin bertambah. Bahwa Emilia melihatku namun mengabaikanku.

"Shhh..." ia bergumam lembut, terdengar untuk menenangkanku, "aku tidak bisa, tapi aku merasakanmu, aku merasakan tatapanmu yang membara, dan aku senang menemuimu sebelum 'pergi'. Aku tetap akan bisa mengenalmu meskipun kamu 'berubah', senyum dan tawamu, semuanya tidak mungkin aku lupakan... semuanya tentang dirimu..." senyumnya merekah.

Tidak... jangan tersenyum seperti itu! Tidak saat kamu akan pergi tiba-tiba seperti ini.

"Aku tidak mengerti... apa yang kamu katakan, Emi... tolong jelaskan..." pintaku memohon, suaraku serak karena desakan perasaan yang menyakitikan.

"Emi!? Itu panggilan sayangmu untukku," ia terkikik, sementara aku tersontak mendengarnya yang seketika membuyarkan pertanyaanku sebelumnya, "semuanya akan baik-baik saja, aku selalu mendo'akanmu, aku akan selalu mengawasimu karena aku... aku sangat mencintaimu."

Emilia mengecup lembut bibirku─kaget─tapi aku menerimanya... membalasnya dengan sentuhan yang memuja dan sayang, sementara hatiku sakit dan remuk. Aku tahu! Aku tahu itu adalah kecupan perpisahan yang bercampur dengan kehangatan dan kepedihan. Jiwa ragaku berteriak dan menjerit! Namun, di sela-sela kami saling memberi hadiah perpisahan yang istimewa itu, samar-samar aku mendengar teriakan panik dan tangis, suara anak-anak dan orang dewasa. Emi menjauhkan kecupannya dan memandangku dengan sendu, aku tercegat karena perlahan-lahan ia melebur menjadi serpihan sayap kupu-kupu yang bersinar temaram.

"Sampai jumpa, Cintaku... Jack," gumamnya pelan, tapi sangat terdengar jelas olehku.

Emi? Aku hanya menengadah menatap serpihan-serpihan cahaya sayap kupu-kupu itu berbaur dengan kemilau bintang dan cahaya bulan. Perasaanku bercampur aduk, sementara rasa bingung ini menyesatkanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab. Terlepas dari kepergiannya, mataku perih dan menusuk-nusuk, aku hanya bisa menangis dalam diam, kemudian buliran-buliran yang keluar dari pelupuk mataku berubah beku. Cahaya dari Emi sudah menghilang, tapi aku tidak bisa berpaling dan tetap menengadah ke arah ia pergi, dan masih merasakan sentuhan Emi, mendengar suara lembutnya, kehangatannya beberapa waktu lalu. Air mataku tumpah ketika aku mulai memicingkan mataku, isakan suaraku tertahan. Rasa sepi tiba-tiba menyelubungiku dan kehangatan direnggut dariku dengan cara yang mengiris hatiku.

Kamu bahkan tahu namaku, Emi!

"Tidaaak... Kakaaak...!"

Teriakan itu tidak membuatku kaget, tapi akhirnya aku berpaling ke arah teriakan yang pilu itu. Dengan getir aku melihat Steven menguncang tubuh kakaknya, mata bocah itu berair dan merah. Putri Kecil hampir berteriak, tapi ia berusaha menahannya, mata gadis kecil itu di banjiri oleh air mata. Di sana, aku melihatnya... di atas kursi berlengan itu ia seolah tertidur, Emi yang cantik. Tapi ia tidak ada di sana, Emi tidak ada di sana lagi... ia sudah pergi. Kakiku mulai lemas dan aku jatuh berlutut, memeluk tubuhku sendiri yang bergetar hebat, aku hampir berteriak dalam tangisku, tapi aku hanya bisa terisak dan suaraku hilang... hanya bisa tertunduk dalam. Samar-samar aku mendengar suara Emi, suaranya yang lembut... memanggil namaku dengan sayang.

Jack... Jack... Cintaku.

Emi... Emi... Cintaku.


Memorial in Burgess VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang