WARM BODY

22 1 0
                                    

Hamparan alam Desa Burgess diselimuti cahaya kemerahan di bawah matahari sore yang mulai terbenam di ufuk barat ketika aku pulang dari kutup utara─terbang dengan lunglai karena otakku terus berkutat mengenai Emilia. Berdo'a dan berharap disepanjang perjalanan. Anak-anak tampak bermain perang bola salju di depan perpustakaan kecil di desa. Aku ikut bergabung untuk sedikit meringankan perasaanku. Si Putri Kecil, Giselle, Steven, dua bocah yang selalu akrab dengan Putri Kecil, dan beberapa anak lainnya bermain dengan gembira tanpa beban. Tanpa beban? Aku iri!

Disela-sela perasaan iri itu, pandanganku tanpa sengaja menangkap seorang gadis yang duduk di serambi perpustakaan dan seketika saja nafasku tercegat. Mataku mengerjap tidak percaya, aku menelan ludah dengan berat, di sana... di atas kursi kayu berlengan, Emilia Lincoln duduk sembari membolak-balikkan halaman buku yang ia baca dipangkuannya. Tapi bukan hanya keberadaanya yang membuat aku terperangah kaget, tapi juga penampilannya yang menggugah hatiku untuk berlama-lama menatapnya. Wajah manisnya terbingkai oleh surai hitam mengkilapnya yang terurai dan beberapa surainya mencuat ke pipi tembamnya. Ia memakai gaun panjang hijau lumut yang membentuk lekuk tubuhnya, lengan yang menyampit sampai siku dan melebar seperti bunga terompet menutupi ujung jemari lentiknya, di lehernya yang jenjang melingkar pita kupu-kupu yang diikat ke leher kirinya.

Oh Tuhan, tidak bisa dipungkiri, kali ini ia terlihat begitu cantik dan memesona. Entah kenapa aku teringat kata-kata Surt yang mengatakan bahwa senyum dan tawaku dapat melelehkan wanita, tapi sebaliknya justru aku yang mengalami perasaan itu sekarang. Seumur hidupku, aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Cinta. Apakah karena ia adalah Emilia?

Ia tersontak kaget karena tiba-tiba saja sebuah bola salju mengenai kakinya yang tertutupi gaun panjangnya. Steven, adik laki-lakinya tampak berlari mendekatinya dan meminta maaf. Emilia tersenyum kemudian mengecup puncak kepala Steven dan mengusapnya dengan lembut. Steven nyengir dan kembali bergabung dengan teman-temannya setelah mengecup punggung tangan sang Lady. Bocah yang santun itu berlari melewatiku dan aku berdengus kagum melihat tingkahnya. Adik yang perhatian dan ramah.

Kembali aku berpaling melihat Emilia dan... bola mata yang beririskan aquamarine yang bersinar indah bagaikan warna tunas daun menatap lurus kepadaku. Nafasku tertahan, apakah benar yang aku rasakan ini, apakah ia sedang menatapku atau...? Aku mengerjap beberapa kali untuk memastikannya dan mengira mataku seolah mempermainkanku. Emilia memiringkan kepalanya ke satu sisi menatap dengan teduh sementara ia menutup bukunya yang tebal dibungkus kulit rusa dengan lempengan logam kuning di setiap sudutnya. Oh ya Tuhan, apakah ia sedang menatapku?

Matanya yang bersinar teduh itu seolah memiliki kekuatan kasatmata yang menghipnotisku, menggerakkan kakiku untuk mendekatinya. Debaran jantungku menggema hingga ke telingaku di setiap langkah yang aku ambil sementara mataku tidak lepas dari mata aquamarine-nya yang indah. Paru-paruku kembang kempis, terengah tidak keruan, seakan terasa berlari ratusan kilometer. Ketika aku tepat berdiri di hadapannya, seutas senyum manis tersungging dari bibir ranumnya yang pucat. Emilia benar-benar menatapku!

Aku berjongkok di hadapannya sembari menyandarkan tongkat kayuku ke bahuku─menggenggamnya erat dengan kedua tanganku─dan mencoba mengurangi rasa gugup yang menderaku. Aku termegap, semua kata-kata yang ingin aku katakan hilang begitu saja dari benakku. Situasi ini membuatku tidak percaya dan menyentak kuat kesadaranku hingga membuatku linglung. Aku tidak tahu harus melakukan apa, yang aku lakukan kini hanya menatap Emilia dengan gugup dan menelan ludah berkali-kali.

Emilia tersenyum sembari mencondongkan badannya dan menjulurkan jemarinya ke arahku. Aku terpaku memandang uluran kedua tangannya yang menengadah seolah memintaku untuk menangkupkan tanganku di atas jari-jemari lentiknya. A... Apa ini? Apakah aku harus membalas meraihnya─jemari yang mungil dan terlihat lembut itu─dan merasakan sensasi yang membuat salah satu sudut diriku hampa? Aku tercegat kaget ketika aku kembali memandang Emilia yang tersenyum menenangkan, itu sedikit meredakan keragu-raguanku. Aku menahan nafas, melepaskan genggaman dari tongkat dan mengulurkan tanganku. Oh, semoga aku bisa menyentuh jemari itu dan merasakan kehangatannya. Aku mohon!

Memorial in Burgess VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang