Mia berkedip dua kali sebelum kedua matanya akhirnya terbuka sempurna. Dimana dirinya sekarang? Kebingungan menghampiri gadis itu saat dia mengedarkan pandangan keseluruh ruangan. Tidak, ini bukan kamarnya. Kamarnya didominasi warna baby pink yang ceria sedang kamar ini lebih banyak warna abu-abu dan hitam. Terlalu gelap pikir gadis itu. Mia menyangka dirinya sedang bermimpi atau kemungkinan lainnya adalah dia masih bingung karena transisi dari keadaan sadar dan tak sadar.
Matanya kembali terpejam, dia memutuskan akan kembali tidur sembari berharap dia benar-benar bermimpi dan akan terbangun lagi ditempat yang seharusnya, kamarnya yang nyaman. Tapi kemudian saat otaknya belum bisa bekerja dengan maksimal, kilasan kejadian yang tak diinginkan merangsek masuk ke otaknya. Tanpa henti, menggempur kesadarannya yang mulai pulih. Kuliah-pesawat-Daren dan....Om Evan.
Mia terduduk otomatis, matanya menyapu sekitar ranjang dengan cepat. Kemeja, blus, dasi, bra, celana panjang, rok, semuanya berantakan disekelilingnya. Ada yang teronggok dilantai ada pula yang tersampir di pinggiran ranjang. Sprei dibawahnya kusut masai dengan beberapa bantal berjatuhan dan satu lagi, rasa dingin yang amat mengganggu menyentuh kulitnya, menyadarkan Mia akan punggungnya yang....telanjang.
Tidak !!!!
Kepanikan menyergapnya, disibakkan selimut dan disadarinya seluruh tubuhnya benar-benar telanjang. Ada banyak bercak merah tua mulai memudar tapi lebih banyak lagi warna merah segar yang tercetak jelas di pinggul, perut, dada, paha dalam...nyaris seluruh permukaan kulitnya. Jadi semua ini benar? Semua ini terjadi? Semua ini bukan mimpi??
Air mata mengalir tanpa komando di pipinya yang putih, deras dan tak terbendung. Mia berusaha meredam suara tangisnya dengan mengubur kepalanya dalam-dalam di bantal. Kesedihan dan sakit yang dirasakannya berbaur menjadi satu, menciptakan luka yang menganga lebar dihatinya.. Apa salahnya? Kenapa hal seperti ini harus menimpanya? Kenapa? Apalagi yang bisa dia banggakan sekarang? Apalagi ? Beribu pertanyaan menderas dan merasuk dalam kesadaran yang telah utuh.
Hancur. Mungkin kata itu masih terlalu manis untuk menggambarkan kondisi dan perasaannya saat ini. Saat seorang perempuan kehilangan apa yang selalu dijaga dan dipertahankan, untuk apalagi hidup? Semua terasa sia-sia saat apa yang menjadi milikmu paling berharga direnggut paksa. Itulah yang dipikirkan Mia. Seketika saja pikiran untuk mengakhiri hidup melintas diotaknya. Dia ingin mati, sangat ingin. Dia tak ingin hidup dalam kenistaan ini. Semua hilang, hancur,sia-sia.
Aku ingin mati, cabut saja nyawaku tuhan. Aku mau mati.Aku tak mau seumur hidup menanggung perasaan berdosa dan malu. Aku tak ingin hidup lagi.
Mia larut dalam kesedihan mendalam, penyesalan, rasa bersalah, kekecewaan juga keinginan untuk mati yang sangat besar. Berbagai fikiran untuk mengakhiri hidup berkelebat di otaknya. Mia bahkan tak bisa memikirkan satu hal pun yang bisa
Tapi ingatan tentang ayahnya dan bagaimana mereka saling menyayangi membuatnya bisa sedikit berfikir logis.
Papa.... Papa..Papa...
Hanya kata itu yang berulangkali dia ucapkan, berharap bisa memberikannya kekuatan. Ya, papanya tentu akan sedih jika dia mati bukan? Papanya pasti akan hancur mendapati satu-satunya putri yang dimilikinya tak bernyawa saat dia pulang nanti. Papanya pasti akan sangat sulit untuk kembali hidup normal. Sama seperti saat mamanya meninggal sepuluh tahun yang lalu. Tidak, dia akan hidup untuk sang Papa. Dia tak akan mengakhiri hidup hanya karena ini, dia akan bertahan, akan bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Minion
RomanceMengandung unsur erotik. Harap bijak dalam membaca. Bacalah jika tertarik dan tak usah menghujat bila tak suka.