part 8

33.1K 692 84
                                    

Mobil hitam itu berhenti tepat di depan bangunan besar bertingkat dua yang merupakan tempat kost putri. Evan melihatnya dan hanya mengernyit heran, dia tau semua penghuni kost ini, tapi tidak tau siapa pemilik mobil itu. Evan juga merasa kalau mobil itu terlalu mewah untuk ukuran mahasiswa dengan kantong pas-pasan seperti dirinya dan juga hampir seluruh penghuni kost putri dimana dia sedang menunggu.

Berusaha tidak memperdulikan keberadaan mobil itu, Evan kembali membaca diktat kuliahnya. Posisinya memang tidak nyaman duduk diatas jok motor bututnya. Otak Evan juga sebenarnya tak bisa berkonsentrasi dengan apa yang dia baca. Tapi apa boleh buat, dari pada Evan harus pulang lagi dengan tangan hampa, dia akan tetap menunggu di teras kost ini sampai bosan.

Evan memang sedang  menunggu Alisha, seminggu  mereka berdua putus membuat Evan merasa sangat tersiksa. Awalnya Evan memnag sengaja memberikan waktu untuk Alisha. Memberi jeda pada hubungan mereka berdua, tapi jelas seklai, Evan tak akan pernah melepaskan gadis itu. Dia terlalu mencintai Alisha. Namun tidak demikian dengan Alisha, gadis itu menghindari Evan di kampus, tidak mau menerima telfon dan jelas-jelas menghindari Evan kalau tak sengaja mereka bertemu. Itulah mengapa Evan nekat mendatangi tempat kost gadis itu. Aku akan mendapatkan Alisha lagi, itulah keyakinan Evan.

Tak berapa lama pintu mobil mewah itu terbuka dan Evan mendapati dirinya sendiri kaget karena melihat Alisha lah yang keluar dari mobil itu. Wajah cantik Alisha berseri-seri, tampak sangat bahagia. Gadis itu melambai ringan pada pengemudi mobil yang tak bisa Evan lihat karena kacanya yang gelap.

Evan tak tau kenapa, tapi ada api kemarahan yang perlahan timbul didadanya. Membuat Evan menggertakkan gerahamnya kuat-kuat. Siapa pemilik mobil itu? Siapa yang bisa membuat Alisha begitu gembira? Ada hubungan apa antara Alisha dengan pemilik mobil itu?

Evan tetap berdiam di bawah pohon mangga di depan kost di mana dia menunggu, mendinginkan emosi yang begitu cepat menggelegak naik. Mencoba berfikiran positif walaupun itu merupakan suatu kemustahilan. Mengendalikan amarah yang sudah nyaris sampai ubun-ubunnya.

Begitu mobil itu pergi, Alisha langsung melenggang menuju teras depan bangunan kost itu. Gadis itu tidak menyadari kehadiran Evan yang memang agak terlindung di sudut depan halaman kost. Alisha langung saja melepas sepatunya dan menjinjingnya masuk, melewati pintu yang terbuka menuju koridor  yang memisahkan kamar-kamar kost. Wajahnya masih diliputi kebahagiaan.

"Alisha"

Si empu-nya nama membalikkan badan karena merasa dirinya dipanggil, kening Alisha berkerut heran mendapati Evan yang seperti hewan liar yang siap mengamuk berjalan cepat kearahnya.

"Evan, ngapain kamu di sini?"

"Aku mau bicara."

"Mau apa lagi sih, aku kan udah bilang kamu nggak usah ke sini lagi. Aku juga udah males ketemu sama kamu,"  Alisha melirik sekilas pada Evan, terlihat tak perduli. Alisha juga terlihat sangat tidak nyaman dengan keberadaan mereka berdua di situ dan itu membuat Evan semakin marah.

"Siapa dia? Siapa yang anter kamu pulang?"

"Temen."

"Siapa?"

"Apa urusannya sama kamu?"

"Aku tau semua temanmu Alisha. Siapa dia?" Geram Evan benar-benar marah.

"Eh, itu bukan urusan kamu Evan. Kita udah putus, dan nggak ada lagi hak kamu buat nanya-nanya ke aku siapa yang jalan sama aku atau bergaul sama aku. Urus aja urusan kamu sendiri!" Sembur Alisha kasar Evan sebelum berbalik meninggalkan Evan.

Tapi tentu saja Evan tak akan membiarkan Alisha pergi begitu saja. Ditangkapnya pergelangan tangan Alisha kemudian Evan menarik gadis itu merapat padanya. "Apa yang jadi urusanmu adalah urusanku Alisha," desis Evan marah "Siapa dia?"

"Dia pacarku, pacar baruku. Puas? Puas kamu? Sekarang menjauhlah dariku dan jangan kesini lagi. Aku udah punya pacar dan pastinya dia akan marah kalau melihat ada seorang mantan yang masih tidak rela dan menguntitku kemanapun aku pergi. Permisi." Dengan kemarahan yang tak ditutupi, Alisha menyentakkan tangan Evan dan berlalu pergi.

Tanpa memperdulikan apa-apa lagi Alisha meninggalkan Evan yang masih termangu shock di pintu. Evan masih tak percaya, bagaimana mungkin begitu cepat Alisha melupakannya dan berpaling pada laki-laki lain hanya dalam waktu satu minggu?

**********

"Hei udah dong Mia, masa gue dateng lo malah nangis gini sih?" Bujuk Nindy pada Mia yang masih sesenggukan dalam pelukan Nindy. Mereka baru bertemu sepuluh menit tapi dalam rentang waktu tersebut Mia hanya menangis tanpa bisa berucap satu patah katapun.

"Iya deh, gue ngaku salah, rencananya emang kita semua cuma mau seminggu di Lombok. Tapi you know lah si Papa, selalu aja bisa merubah rencana di detik-detik terakhir. Jadi, kita-kita sepakat nambah waktu liburan plus sekalian ke Bali dua hari kemaren. Janji deh, ntar kalau ada waktu liburan lagi, kita seru-seruan bareng ya," oceh Nindy yang masih mengira tangisan Mia hanya karena masalah liburan mereka yang gagal.

"Dia hanya sedih, Nindy. Kamu tentu paham kalau selama ini dia tak pernah jauh dari mas Andry. Saya bahkan sangat yakin kalau sakitnya Mia kemarin diperparah karena dia terlalu sedih ditinggal sendirian. Padahal saya sudah bilang kalau Mia bisa mengandalkan saya. Tapi sepertinya Mia masih menganggap kalau saya ini orang lain. Padahal saya benar-benar menyayangi Mia seperti keponakan sendiri,"  Evan menyahut sambil tersenyum ramah yang tentu saja langsung mendapat kekaguman Nindy. Sedangkan air mata Mia tambah deras mengalir, isakannya makin terdengar menyedihkan.

Evan yang semula hanya berdiri memperhatikan Nindy yang memeluk Mia di sofa panjang ruang tamu, berpindah duduk di dekat Mia dan meremas lembut telapak tangan gadis itu, menawarkan simpati selayaknya seorang paman yang sangat mengkhawatirkan keponakannya. Senyumnya menenangkan, menawarkan pengertian tanpa batas. Sepertinya.

"Iya sih Om, Mia kan dari dulu emang nggak pernah jauh dari Om Andry, makanya sedih banget kali ya ditinggal lama sama Om Andry," sahut Nindy pada Evan yang masih saja terlihat menenangkan Mia. "Untungnya ya kemaren ada Om Evan, kalau enggak, Nindy nggak tau mau jadi apa si putri manja ini."

Evan kembali tersenyum lebar penuh pengertian sedangkan Mia hanya menatap laki-laki itu pasrah sambil berusaha menyembunyikan rasa muaknya.

"Mia, percayalah, semua akan baik-baik saja. Mas Andry tentu akan pulang dengan selamat besok. sekarang, jadilah anak baik, beristirahatlah dan minum obatmu. Om Evan pasti akan menungguimu. Dan ingat, jangan melanggar apa yang dilarang oleh dokter. semua itu demi kebaikan kamu, sayang."

Rasa takut perlahan namun pasti menyusup dalam hati Mia, gadis itu menangkap ancaman terselubung dari Evan yang diucapkan dengan sangat manis. Ancaman yang tak disadari sama sekali oleh Nindy. Senyum penuh kepalsuan yang diberikan Evan membuat Mia seolah diselubungi hawa dingin yang membuat bulu kuduknya merinding.

Pada titik ini Mia sangat yakin, yang dia hadapi adalah iblis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 19, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Little MinionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang