Mata Sayu Itu Berbicara

199 7 3
                                    

Mata Sayu Itu Berbicara

Entah sudah berapa kali kukatakan pada wanita itu jangan kau jadi anjing, tapi tetap saja hanya anggukan kepala sebagai jawabanya. Wanita itu, wanita bermata sayu yang jelita. Tak padam kecantikannya walau disiram air lautan sekalipun. Memang, banyak lelaki yang sering jajan padanya. Selebihnya ia menjadi anjing. Dipelihara .

Kau lihatlah wajahnya. Banyak kerutan-kerutan desah yang menempel di setiap lekuknya. Jangan kau kira ia pemain amatir seperti pelacur jalanan yang hanya dihargai mie rebus atau nasi goreng. Ia ahlinya! Banyak lelaki pun yang bertekuk lutut, dan malah membayar mahal atas desahan panjang di akhirnya.

Ketika senja tiba, ia hanya akan duduk di sofa sambil melihat lihat layar handphone nya. Berharap mendapat panggilan untuknya. Wanita bermata sayu itu. Jika hingga bintang mulai menguning di angkasa layar handphone nya tak berdering. Sesekali ia menuju ke kamarku. Sambil berkata lewat mata Kau ingin bermain denganku? Dan sampai saat ini aku belum pernah bermain dengannya. Janganpun memeluknya, membuat matanya lebih sayu pun aku belum pernah.

Aku kakaknya. Dan semestinya aku tahu batas tentang sedarah sedaging.

Tapi apalah dayaku sebagai seorang abang, tak bisa melarangnya lebih. Bahkan uang jajanku pun adalah hasil desahannya bersama majikan yang ia dapat.

Kelakuannya sekarang ini berkat impian yang pernah ia ucap Aku ingin banyak uang. Dan sekarang sudahlah terjadi. Bukan sekali atau dua kali dalam sehari dijajani orang. Pernah sampai tiga atau empat kali, itu pun jika ia sedang butuh sesuatu yang ia beli. Seperti kulkas atau penanak nasi.

Tak pernah ada kolega yang datang menemui. Ibu dan bapak telah lama mati. Paling paling bertemu di jalan, menyapa, dan pergi.

"Kau ada panggilan malam ini?"

Mata nya berkata Mungkin untuk malam ini tidak.

"Tapi aku butuh rokok! Mengepul asap damai"

Damai buatmu. Buatku? Mata nya agak menelusuri mataku. Biar aku aku yang dipersalahkan. Huh!

Ia mulai mengambil uang dalam kutang. Seperti celengan saja! Cibirku. Dan memberinya padaku dengan mata sayu. Mata yang selalu bercakap cakap ketika malam, mata yang banyak cerita cinta di dalamnya. Ah sudahlah, aku tak peduli. Yang penting rokok!

Aku bersiap siap ke warung. Membeli asap. Membeli batang. Sebelum itu, aku mendapati mata sayu itu kini melihat wajahnya di dalam cermin. Berdada busung dan kelihatan cantik, kendati usianya yang diperuntungkan itu selalu bisa terkibas betapa juga ia mencoba bersolek. Sekiranya aku mau, aku masih bisa menjadi anjing untuk satu dua orang malam ini, pikirnya sambil memegang dadanya.

Berapa umurku sekarang? Ia mencoba menipu diri. Mata sayu itu tersenyum di depan cermin. Diam diam ia sangat berharap akan ada desahan panjang malam ini. Yang berarti uang panjang pun akan ia dapat. Untuk kebutuhannya. Kebutuhanku.

Sebentar lagi ia sudah akan selesai berhias, tinggal memberi parfum di leher. Untuk menarik lelaki, katanya. Agar ketika diciumi lehernya, semakin melekat dan tak terlupa. Bagaimanapun juga, parfum akan selalu bisa mengingatmu pada wanginya kenangan. Entah itu seseorang ataupun hewan. Hidungmu bisa menjadi pendeteksi baik ketika mencium harum yang kau kenal. Benar?

Mata sayu itu menempati rumah satu satunya warisan ayahnya, yang tidak dijual. Bersamaku. Hidup dari menjajakan desah yang diaturnya sendiri. Bubur kacang hijau yang dibumbui ekor dan kaki sapi, kesukaanya. Tak anehlah ia suka membuatnya, dan terkadang membawa rantang ke kamarku. Makan bersama. Tetap dengan mata sayu

Negeri Tanpa JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang