Chapter 7 : Tanpa Belas Kasih

47 12 7
                                    

Hanya 1 centimeter jarak antara leher mereka bertiga dengan pedang yang Aji hempaskan tanpa belas kasih. Rain, Joni, dan Jono saat itu hanya terdiam. Tak ada satu patah kata yang keluar dari lisan mereka. Nafas mereka berpacu dengan cepat, keringat perlahan keluar dengan deras dari pori – pori kulit mereka. Walau pun hanya diam, tapi air wajah mereka tidak bisa berbohong. Mengenai ketidak percayaan mereka dengan apa yang baru saja terjadi.

"Kalian tidak percaya?" tanya Aji pada mereka bertiga.

"..." mereka hanya diam.

Aji pun menarik kedua pedangnya dan mundur 2 langkah menjauh dari Rain, Jono, dan Joni. Saat itu Rain langsung tersungkur dalam duduknya, sedangkan Joni dan Jono menarik nafas dalam.

"Kalian seperti mengalami hal yang mengerikan, padahal ini hanya latihan ?!" ujar Aji dengan nada biacara yang sombong.

Rain, Jono, dan Joni pun hanya terdiam sambil menunjukan pandangan kesal. Aji pun membalas pandangan mereka dengan senyuman, bukan senyuman ramah yang ditunjukan. Tetapi senyuman merendahkan.

"Jika kalian tidak suka, mengapa kalian tidak mengayunkan kembali pedang kalian kearah ku. Bukan malah diam disana dan memandangku dengan pandangan yang tidak mengenakan begitu," ujar Aji merendahkan sambil menodongkan pedang kearah mereka bertiga.

Ketiganya pun kembali menggenggam pedangnya dengan erat. Wajah penuh amarah terpampang dengan jelas diwajah mereka. Sekarang mereka tidak hanya mengayunkan kedua pedang mereka, tapi juga menggunakan senajata api yang tadi masih berdiam manis ditempatnya.

"Hanya segini?" tanya Aji sambil terus menghindari pedang dan peluru yang diarahkan kepadanya.

Menyerang tanpa ampun, menyerang membabi buta, dan menyerang tak memikirkan apapun selain usaha untuk membunuh. Begitulah yang saat ini dilakukan oleh Rain, Joni, dan Jono. Walau kini ketiganya bekerja sama untuk menyerang Aji, tapi itu percuma. Sebab mereka bertiga telah kalah dengan diri sendiri, bahkan sebelum melihat kengerian yang akan mereka hadapi nanti.

Suasana sangat panas, itulah yang dirasakan oleh Rain, Jono, dan Joni. Walau mereka sudah menyerang dengan cepat dan bekerja sama. Namun tidak ada satupun serangan yang mengenai Aji, bahkan Aji hanya butuh beberapa kali menggunakan pedangnya untuk menangkis serangan ketiganya. Mereka beetiganya hanya menyerang dengan nafsu yang membahana, tak ada rencana sebelumnya. Bahkan tidak memikirkan apa hal yang akan nanti terjadi. Mereka hanya terhanyut dalam lautan amarah yang saat ini memenuhi hati dan pikiran mereka.

"Sial!!" teriak Joni.

"Argghhh!!!" teriak Jono.

Sedangkan Rain hanya diam dan menggigit bibirnya sendiri.

Sesaat intensitas mereka bertambah cepat. Menyerang dari bawah, samping kiri, kemudia samping kanan. Bahkan menyerang lewat belakang dan atas. Sepersekian detik masing – masing dari mereka melakukan 10 tebasan, dan 20 peluru yang diarahkan ke Aji. Namun tidak ada yang mampu mengenai Aji.

Saat itulah ekspresi yang sudah melekat pada dunia ini muncul. Mereka putus asa, kondisi kejiwaan mereka menemukan kesenjangan dengan kenyataan yang mereka hadapi. Perlahan ayunan pedang yang sebelumnya begitu cepat pun melambat. Peluru yang sebelumnya dengan tegas terus mengincar Aji kini menjadi ragu – ragu untuk melesat. Raut wajah ketiganya kini menunduk lesu, suasanya saat itu pun menjadi sesak. Bahkan untuk gedung latihan yang seluas stadion sepakbola.

"Sepertinya tujuanku sudah tercapai," ujar Aji sambil memasang senyum puas diwajahnya.

Aji mengambil 4 langkah kebelakang, dia putar kedua pedang yang ada ditanganya. Sambil mengambil nafas panjang Aji berlari dengan cepat. Pedang yang ada ditanganya dia hempaskan dengan kencang membentur kepala Joni dan Joni yang tertunduk lesu, sedangkan pedang yang ada ditangan kirinya dia hempaskan keperut Rain yang termenung dalam duduknya.

The World that I SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang