Chapter 12 : Seperti Sampah

20 5 5
                                    

"Lapor kami dari regu enam, kami telah kehilangan kapten Aji. Sekarang kami menunggu kedatangan regu yang lain di tempat awal." Suara yang terdengar serak dari ujung alat komunikasi. "Sekian laporan dari kami."

Tak lama dari laporan itu keberadaan dari mata keganjilan berhasil ditutup. Semua regu pun kembali ketempat awal. Wajah bahagia karena keberhasilan dari operasi ini terpampang jelas dimasing – masing regu, memandang semua itu rasa pilu yang sudah mencabi – cabik hati setiap anggota regu enam pun semakin menjadi. Ditambah setiap regu yang datang, tak ada satu pun yang menyambangi untuk mengucapkan duka kepada regu enam. Mereka saat itu seperti orang asing yang sedang menonton keberhasilan dari orang lain, tak diperdulikan.

Rain pun mulai merasa kesal dan gelisa dengan situasi ini, dilubuk hatinya masih tersimpan kepercayaan bahwa jika saat ini semua tim bergerak maka Aji masih bisa diselamatkan.

"Nanti setelah sampai di Tharnatos, kalian jangan langsung pergi. Kita berbicara soal laporan tadi," ujar Rick sambil menyambangi regu enam yang sedang duduk dan tertunduk lesu.

Mendengar hal itu Rain pun angkat bicara. "Apa maksudnya? Kita masih bisa mengirimkan regu khusus untuk menyelamatkan Aji, pasti dia masih bertarung melawan mayat hidup itu. Jika kita menolongnya pasti kita bisa menyalamatkannya!" Teriaknya.

"Kematian itu hal yang biasa di dunia ini, jelasnya dunia ini pun sudah lama mati," jawab Rick dengan dingin, sorot matanya pun tak memancarkan keprihatinan sedikit pun. "Biar aku tanya, berapa jumlah mayat hidup yang kalian temui dan mengapa kalian lari bukan menyelamatkannya?" Ujar Rick seolah hendak menyudutkan Rain dan anggota regu enam lainya.

"Banyak ..." jawab Rain sambil dengan tangan yang mengepal erat, seperti dia tak ingin membayankan kumpulan dari mayat hidup lagi. "Seratus atau lebih dari itu?" Tanya Rick lagi.

Melihat Rain yang tak bisa menjawab, Joni pun mencoba menenangkan Rain.

"Rain sudah," sambil mengenggam bahunya dengan ramah. "Kami sudah mengerti..." sambung Joni pelan sambil memandang Rick.

"Baguslah ..."

Tak alama suara dari baling-baling helikopter yang membelah setiap partikel di udara pun terdengar jelas memenuhi keganjilan, tangga yang terbuat dari tali mulai bergelayut dan satu persatu anggota dari ke enam regu yang mengikuti operasi ini manaikinya.

Bersamaan dengan itu kumpulan mayat hidup pun berdatangan dengan suara raungannya. Suara itu benar – benar tidak enak didengar, dan semua anggota regu pun terlihat gusar mendegarnya. Memandagi hal itu terlintas dipikiran Rain, "Aku berharap salah satu dari sampah – sampah itu ada yang terjatuh dan dicabik – cabik oleh para mayat hidup itu."

"Ehh Rain sadar," ujar Jono kaget sambil menepuk pelan pundak Rain.

"Wajah mu tidak mengatakan hal yang sama dengan apa yang kau ucapkan," ujar Rain sambil mendesis kearah Jono yang memandangi para anggota regu yang ketakukan dan berlomba – lomba untuk naik ke helicopter dengan wajah yang mengerut penuh kesal. "Mereka, aku benar – benar benci dengan merek," sambung Rain dengan nada bicara yang sinis.

"Aku paham dengan apa yang kalian rasakan, karena aku pun merasakannya. Namun kita tak bisa melawan arus ini, saat ini yang bisa kita lakukan hanya mengikutin perintah dari kapten Aji." Ujar Joni dengan tenang.

Mendengar Joni yang bersikap seperti anggota regu yang lain, membuat Rain meledak. "Tapi Joni! Lihatlah mereka, mereka tidak ada sama sekali rasa kehilangan, bahkan terkesan acuh, kau lihat itu kan. Merekalah yang terburuk dan mereka juga yang harusnya mati, mengata di dunia ini setiap orang baik yang harus mati terlebih duhulu! Kalau seperti ini kita tak ada bedanya dengan mayat hidup ..." Ditengah kekesalanya itu ledakan amarah Rain pun terhentik, ketika dia melihat kebawah, disana dia temui tangan dari Joni yang mengepal erat hingga tangannya berwarna seperti merah darah.

The World that I SeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang