"Rain kamu bisa belari sendiri?"
"Tentu," jawabku dengan gelisah. "apapun yang terjadi tetap lari, jangan menengok kebelakang." Dia berbisik seperti itu, tetapi pada akhirnya. Saat aku berpaling dia tidak ada disana.
"Bohong, dasar kau tidak pernah berubah. Pembohong besar." Ujarku dengan lirih. Entah sudah berapa kali aku bermimpi seperti ini. Semua itu sejak kejadian itu.
***
Ruangan dengan luas lima kali delapan menete. Terlihat begitu sepi dengan kursi, meja, lemari, dan tempat tidur yang tertata rapih. Suara jam weker pun masih terus berdering mengisi kesunyian di ruangan itu, suara gemercik air yang mengalir terdengar lembut dari balik kamar mandi. Setelah mandi selama lima belas menit dengan handuk berwarna hitam yang menyelimuti tubuhnya dan rambut putih yang tergurai basah meneteskan air yang membuat titik di lantai.
"Aku harus bisa fokus, semua telah terjadi." Ujar Rain sambil menatap bayangan wajahnya disebuah cermin yang sedikit kusam.
Sambil menggetarkan badannya Rain melepaskan handuk yang sebelumnya menutupi tubuhnya, dia berjalan kecil menuju lemar. Perlahan jari – jemari kecil memisahkan baju – baju yang menggantung saling berdempetan.
"Ini diah," celetuk Rain sambil mengambil seragamnya.
Mengenakan seluruh seragamnya dan mengambil beberapa perlengkapan yang dibutuhkan. Rain pun beranjak melangkahkan kakinya menuju gedung latihan.
Jarak rumah Rain dengan gedung latihan tidak terlalu jauh. Jika ditempuh dengan berjalan kaki pun hanya memakan waktu lima belas menit untuk sampai, sempainya disana Rain melihat Jono dan Joni yang sudah menunggunya.
"Kamu lama sekali datangnya Rain!" Keluh Jono sambil memandang kesal kearah Rain.
"Maaf – maaf, beberapa hari ini tidurku kurang nyaman," jawab Rain santai dengan senyuman, "Selanjutnya aku tidak akan telat lagi, heheh."
"Kita harus serius, jangan sampai hal itu terjadi lagi. Jadi walau ini hari terakhir kita untuk latihan, kita harus tetap semangat," saut Joni dengan nada bicara yang serius sambil menyilangkan kedua tanganya di bawah dadanya.
"Iya aku tau itu," jawab Rain sambil menganggukan kepalanya, "Apapun yang terjadi jangan sampai ada yang tertinggal." Mendengarnya Jono dan Joni hanya tersenyum sambil beranjak dari posisi duduk mereka menuju gedung latihan.
Mereka pun memulai latihan. Pada dasarnya seluruh materi latihan mereka masih sama, perbedaannya hanya itensitas kecepatan dan respon mereka untuk menanggapi berbagai situasi yang coba untuk ditingkatkan.
"Jono kamu harus lebih cepat merepon kode yang aku berikan," keluh Rain sambil terus menembakan peluru karet kearah Joni. "Kita harus bisa lebih cepat lagi," sambungnya dengan nada yang berat.
Merespon itu Jono pun hanya menatap Rain dan terus mencoba meningkatkan responnya.
"Coba kalian serang aku secara bersama – sama, aku ingin melatih kecepatanku dan daya tahanku bila diserang bersama – sama." Pinta Joni yang saat ini menjadi target penyerangan
Mereka pun mengayunkan pedang dan menembakan seluruh peluru karet yang mereka punya. Mata mereka terlihat fokus, detak jantung mereka pun ditekan untuk tenang. Sesekali wajah gusar terpampang diwajah mereka karena belum puas dengan apa yang telah mereka lakukan, pada intinya mereka tidak ingin lagi mengalami hal yang sama.
Peran mereka pada latihan saat ini saling bergantian, setelah kepergian Aji. Mereka tak memiliki target untuk berlatih, meminta bantuan regu lain tentu tidak memungkinkan. Sebab mereka juga sedang sibuk dengan latihan dan konsep mereka masing – masing, selain itu Jono, Joni, dan Rain masih memiliki luka terhadap tingkah laku mereka. Walau hal ini terlihat kekanak-kanakan bagi seorang prajurit, tapi tetap saja mereka tak bisa menghilangkan luka yang terlanjur terbuka.
Latihan kali ini mereka jarang berbicara, setiap kata yang keluar dari masing-masing lisan mereka hanya sesuatu yang dibutuhkan. Saat melihatnya mungkin ketiganya seperti terlihat sedang serius berlatih, pedang dan senjata yang ada digenggaman mereka bergerak dengan cepat dan arogan. Sorot mata yang terlihat fokus pun menambah kesannya. Tetapi pada dasarnya bukan keseriusan yang mendominasi mereka, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak cukup dengan kata-kata untuk mengungkapkannya.
Langit yang semula terlihat cerah dengan warna merahnya pun perlahan berubah menjadi warna merah gelap. Pertanda bagi Jono, Joni, dan Rain untuk mengakhiri latihannya.
"Besok sudah operasinya ya..." Ujar Jono sambil menghela nafas panjang.
"Tidak terasa yaa," timbal Rain menanggapi perkataan Jono. "Aku harap kita semua ini akan baik-baik saja." Harapnya.
Sambil menunggu Joni yang masih di dalam, Jono dan Rain terdiam di depan gedung latihan sambil menatap titik kosong di langit yang berwarna merah. Walau sempat ada pembicaraan kecil diawal, tapi kini pembicaraan mereka terhenti. Keduanya saling menghela nafas panjang.
"Aku tak pernah berpikir pasukan yang aku dambakan nyatanya seperti ini," keluh Joni sambil memandangi jarinya yang saling bertimpang tindih di atas pahanya. "Semua menjadi kacau..." ujar Jono lirih.
"..." Rain hanya terdiam sambil memandangi Jono yang masih memandangi jarinya, mereka berdua pun kembali diam beberapa saat.
"Kita pasti bisa, jika tidak bisa mengatasi hal ini latihan kita selama ini akan sia-sia," sambung Rain menarik kembali pembicaraan mereka yang sebelumnya terhenti, sambil menunjukan senyuman kepada Jono yang saat itu mengalihkan pandangan kepada Rain.
"Kamu baik-baik saja Rain?" Tanya Jono kepada Rain, merespon perkataan itu senyuman yang semula terpampang diwajah Rain memudar. Seperti dia sedang kebingungan untuk menjawab pertanya yang diberikan oleh Jono.
"Aku ..."
"Semua akan baik-baik saja," ujar Joni yang tiba-tiba muncul dari belakang memotong pembicaraan. "Aku yakin itu"
***
Hari itu pun tiba, setiap orang seolah merasakan peristiwa yang sama berulang. Wajah –wajah mereka pun tampak resah, memikirkan akankah mereka selamat pada operasi kali ini atau malah sebaliknya.
"Lihatlah ekspresi panik mereka," seru Rain sambil memandangi yang lain."Mungkin aku bisa menebak apa yang mereka pikirkan saat ini, apalagi setelah peristiwa kemarin." Jelas Rain.
"Tak perlu memikirkan mereka, sekarang kita fokus pada operasi ini. Wajar jika semua orang takut dengan mati," ujar Joni dengan tegas.
"Mungkin aku setuju dengan mu, tapi saat ini jujur. Aku memiliki satu hal yang lebih aku takutkan ketimbang kematian," jawab Jono. "Apakah kalian memikirkannya?" tanya Jono kepada Joni dan Rain.
Mendengar perkataan dari Jono, Joni dan Rain hanya menelan ludah dan menarik nafas mereka dalam-dalam. Tak ada satu pun kata-kata yang keluar. Masing-masing regu pun mulai menaiki helikopter dan pergi menuju keganjilan, tepatnya keganjilan kedua. Regu pertama pun berangkat, begitu pun dengan regu kedua, tiga hingga keenam. Tetapi kali ini ada yang janggal, sebab setiap regu terhenti di atas keganjilan.
"Ada masalah apa ini?" Tanya Joni melalu alat komunikasi.
"Sepertinya para mayat hidup itu sudah menunggu kita," jawab Roni menanggapi pertanyaan Joni.
"Aku izin mendekat," ujar Joni meminta izin, Rick pun mengiyakan keinginanya. "Baiklah, tapi jangan sampai ada yang turun terlebih dahulu."
Helikopter yang dinaiki oleh regu enam pun mendekat, menerobos melewati helikopter yang mengangkut regu didepannya. Saat mereka benar – benar berada di atas keganjilan. Mereka melihat sesuatu yang tidak enak dipandang, sekumpulan mayat hidup yang entah seberapa jumlahnya sedang berkumpul disana. Mana dari Jono, Joni dan Rain pun terbuka lebar menyoroti sekumpulan mayat hidup disana, sampai akhirnya.
"Yang benar sajah!" Rain yang menyadarinya, suaranya saat itu terdengar lirih. Nafasnya pun mulai terasa sesak.
Tepat berada ditengah kumpulan mayat hidup. Disana dia melihat Aji dengan tubuh yang terlihat pucat dengan lingkar hitam dimatanya yang sudah berubah menjadi warna merah.
"Yang aku takutkan ternyata benar – benar terjadi." Keluh Jono dengan pasrah.
pop.d�i��r
KAMU SEDANG MEMBACA
The World that I See
Science FictionMungkin semua orang dimasa lalu sering berbicara bagaimana bumi berkembang kedepannya. Mobil terbang? Perjalanan waktu? Teknologi komputasi yang sangat canggih? Semua itulah yang dibicarakan dan didambakan, pada akhirnya semua itu omong kosong belak...