15

1.8K 238 3
                                    

Aku bangkit dari sofa ruang tamu karena mendengar suara deru mobil di depan rumah. Sekilas, aku melirik jam dinding rumah yang masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi.

Siapa pula, bertamu sepagi ini.

Begitu membuka pintu, seorang laki-laki turun dari Honda HRV putih-nya. Sejurus kemudian, matanya bertemu dengan mataku. Segores senyum terbentuk di wajah laki-laki itu. Di tangan kanannya, dia menenteng kresek putih besar. Entah, isinya apa.

"Wey, Ta!" sapanya setelah membuka pagar rumah dan melawatinya. "Kok kamu? Yang punya rumah, kemana?" tanyanya.

Sebentar.

Ini Nino bukan sih? Marcellino Yudhistira. Sepupuku.

Menyadari gelagat asingku, dia mendekat. "Nino ini! Lupa?" lanjut laki-laki tadi.

"Lah, No? Agak berisi ya sekarang," seruku sambil terkekeh pelan. Sesaat kemudian, aku memeluk anak dari adik Ibu-ku itu. Ya, wajar sih. Aku terakhir ketemu dengan sepupuku ini waktu acara resepsi pernikahannya tiga tahun lalu.

"Ya, gini kalau udah jadi bapak-bapak, menggendut dengan sendirinya,"

Sumpah, jadi kelihatan makmur banget ini orang setelah nikah dan punya anak. Ditambah lagi, tante Sonia; ibu Nino 'kan punya usaha catering. "Sendirian?" tanyaku, mempersilakan Nino masuk.

Nino mengangguk. "Sebenarnya aku nggak mau pagi-pagi banget kesini, tapi jam sepuluh aku ada kondangan, jadinya mampir sebentar deh," jelasnya. "Aku bawa pempek," dia menenteng kresek putih besarnya tadi.

Aku meraih dengan semangat bungkusan yang dibawa Nino.

"Barusan pulang dari Palembang aku,"

"Banyak banget, No. Persediaan seumur hidup," gurauku.

Nino terkekeh. "Ya, gimana, punya istri orang Palembang, punya rumah makan pempek pula,"

Aku hendak memanggil tante Ida dan om Yogi si empunya rumah, tapi malah tante Ida sudah lebih dulu melongokkan diri dari balik sekat antara ruang tamu dan ruang keluarga.

"Eh, ada Nino?" tegurnya. Kemudian merapikan rambut pendeknya yang masih berantakan. Beliau berjalan mendekat, menyalami Nino. "Si om lagi tennis sama teman-temannya," tante Ida duduk menyebelahiku. "Kamu kok sendirian?"

"Intan sama Hilmy masih pada tepar tante kalau pagi-pagi gini aku ajak jalan." Nino berkata seraya merogoh sesuatu dari dalam saku celananya. "Sama mau kasih ini," dia menyerahkan selembar kertas warna biru yang dibungkus plastik.

Aku meraihnya.

"Lah, Hilmy sudah dua tahun?" tante Ida mendadak heboh begitu menyadari apa yang ada di tanganku.

Aku masih sibuk mengamati undangan ulang tahun Hilmy, anak Nino. Undangan itu sederhana, dari kertas karton warna biru. Tulisannya dicetak nggak berlebihan, dan hiasannya juga nggak macam-macam.

Argh, padahal aku dan Nino hanya terpaut umur dua tahun. Nino sudah punya anak. Aku? Punya calon saja belum. Padahal Februari besok, umurku sudah menginjak 25 tahun. Rasanya gemas dan iri begitu melihat undangan ulang tahun anak Nino ini.

"Datang lho, Ta! Jangan balik ke Jogja dulu," ajaknya. "Tante, aku ambil minum ya," Nino bangkit dari duduk dan melenggang masuk ke dalam mencari minum.

Tante Ida masih fokus pada undangan ulang tahun cucu dari keponakannya. "Ih, kapan tante punya cucu dari anak tante sendiri ya, Ta?" gumam beliau sambil membolak-balik kertas undangan tersebut.

Baiklah, sementara aku iri karena nggak ada calon suami yang bisa diajak untuk bikin undangan, tante Ida justru iri karena bidadari-bidadarinya belum bisa memberikannya cucu. Ya iyalah, calon suami aja pada belum ada. Ini kok minta cucu.

Almost Home (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang