29

1.4K 207 14
                                    

Nouri baru saja pamit pulang satu jam yang lalu. Setelah minum teh hangat dan mencamili bolu kukus di depan teras rumah Salma, dia izin pulang.

Aku baru saja luluran, kemudian mandi, dan keramas. Perjalanan pulang-pergi secara express dari Yogyakarta kemarin membuat badanku seperti ditelantarkan. Terakhir nyalon saja satu bulan lalu, itu pun mendadak karena tiba-tiba diminta tante Ida nyusulin ke salon langganannya ketika aku, Salma, dan kak Alda keliling mall untuk cari kado nikahan Khalila.

Jam menunjukkan pukul sepuluh. Yah, Genta baru akan datang satu jam lagi. Leyeh-leyeh sebentar, bisa kali ya. Aku anaknya juga nggak terlalu suka yang dandan banget kalau ke kondangan. Concelear, blush on, lipstick, dan bulu mata palsu. Udah. Nggak yang shading-shading atau contour-contour-an segala. Pasang bulu mata saja sudah cukup ribet.

Ketika sedang mengeringkan rambut, ponselku berdering singkat; notifikasi chat. Dari Pandu. Adikku itu mengirimkan hasil jepretannya dari kondangan kemarin. Iya, termasuk foto berduaku dengan Nouri.

Pandu Dunia: SABI NIH TAHUN DEPAN NYUSUL! (10:07)

Sarasyita Alya: fix edan y u? (10:09)

Heuh, lelah. Mari kita sudahi euforia kondangan Khalila kemarin.

Siang ini aku mengenakan blouse longgar warna cream berbahan satin. Potongan lengan di atas siku dan khusus di bagian tersebut berbahan organza. Dengan bawahan rok batik selutut, dan pump heels berwarna nude, cukup lah ya untuk rock this kind of kondangan today. Rambut sebahu-ku hanya aku blow sedikit. Sudah.

Pada pukul sebelas kurang sepuluh menit, Honda Civic silver milik Genta sudah ada di depan gerbang rumah Salma.

"Langsung aja, yuk. Orang rumah masih pada di Jogja soalnya. Baru balik ntar sore." Kataku ketika masuk ke dalam mobil.

Genta pun menurut, dan segera menjalankan mobilnya.

"Karyawanmu cewek atau cowok, Ta?" Aku membuka obrolan.

"Cewek. Udah hampir tujuh tahun kerja sama aku. Makanya aku bela-belain dateng banget."

Aku mengangguk-angguk. "Seumuran?"

Genta menggeleng. "Lebih muda dia malah. Dua tahun di bawahku."

Yha. Sebaya denganku dong.

Hening sebentar.

"Menurutmu, menikah itu kesiapan atau keniatan, Ta?" Tanya Genta.

What a topic.

"Kesiapan." Jawabku tanpa ragu. "Yang lalu, aku sudah lebih dari niat untuk menikah. Seperti sudah benar-benar ada di depan mata. Tapi, semuanya hancur karena kayaknya mantanku dulu belum siap. Belum siap kalau hanya aku saja yang bakal jadi teman hidupnya. Gitu deh ujungnya."

Genta mengangguk ringan.

"Menurutmu?" Aku melempar balik.

"Ya, kesiapan." Genta tampak menyetujui. "Baik mental, mau pun finansial. Individu, mau pun keluarga. Karena menikah itu bukan hanya mengucap akad, sah, kemudian gelar resepsi. It takes two soul, to become one."

Aku diam. Belum tahu akan menanggapi apa.

"Yang lalu, padahal kamu sudah siap?"

"Hmmm, not really. Kayaknya sih siap-siap aja deh, hanya saja, rasanya ada yang kurang klik. Tahunya benar deh, diselingkuhin."

"Kalau sekarang?"

"Apa? Menikah?"

Genta mengangguk.

Almost Home (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang