Revata P.O.V
Dedaunan kering yang berjatuhan di terpa angin seakan menyambut seluruh siswa siswi Garnetta Art di tahun ajaran baru ini. Termasuk aku. Aku juga melanjutkan pendidikan di Garnetta Art. Sekolah khusus seni yang juga tidak melupakan bidang akademi.
Garentta Art sudah menjadi rumah ku menuntut ilmu sejak sekolah dasar. Hampir semua lekukan bangungan dan gedung-gedung di sekolah ini pernah ku jelajahi. Sekolah nya bagus. Walaupun tujuan pendirian nya untuk para murid yang berbakat dalam bidang seni, namun Garnetta Art juga masih memberikan pelajaran di bidang akademi pada murid nya. Itu alasan ku sekolah di sini.
Fasilitas di Garnetta Art juga lengkap. Mulai dari ruang kelas yang bersih, nyaman, toilet yang bersih, lapangan olahraga yang luas, kolam renang, dan juga guru-guru yang berpengalaman dalam mengajar. Dan masih banyak alasan ku bersekolah di sini.
Memang, aku sedikit bosan melihat lingkungan sekolah yang hari demi hari selalu sama dan orang-orang yang kebanyakan ku kenal, tapi tidak ada pilihan lain. Aku tak terbiasa bersekolah di yayasan negeri. Aku takut tidak bisa menyesuaikan diri. Ya, aku memang cemen dalam hal bersosialisasi.
Tak terasa, aku sampai sudah sampai di ruang kelas ku yang baru. Kelas sepuluh jurusan musik. Aku tak percaya sekarang aku sudah menjadi anak SMA.
Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Masih banyak bangku yang kosong. Penataan ruangan nya tidak berbeda jauh dengan ruangan kelas di Garnetta Art Junior High School. Setiap satu meja, di pakai oleh dua murid. Syukurlah..., aku akan duduk semeja dengan orang lain dan tidak duduk sendiri. Setidak nya untuk berjaga-jaga. Berjaga-jaga saat aku belum belajar dan bertepatan dengan hari ulangan mendadak. Aku bisa mendapat jawaban dari teman sebangku.
Meja nomor tiga dari belakang barisan paling kanan menjadi pilihan ku. Belum ada seorang pun yang menempati meja itu. Semoga saja, Tara berada di jurusan yang sama dengan ku sehingga aku bisa duduk berdua dengan nya.
Aku duduk di kursi ku dan mulai memainkan ponsel ku. Membuka-buka aplikasi yanga ada di dalam nya. Sesekali mengecek media sosial, bermain game, dan keseringan melihat pesan masuk. Dan ironis nya, pesan yang masuk berasal dari Official Account-_-
Kepala ku terangkat saat dua orang perempuan yang berada beberapa meter di samping kiri ku sedikit histeris dan terdengar suara tarikan nafas terkejut dari nya.
Beberapa detik kemudian, aku melakukan reaksi yang sama dengan mereka saat melihat objek itu. Sesuatu yang mereka lihat dan membuat mereka terkejut. Azel!
Azel masuk Garnetta Art?! Dia ada di jurusan musik?!!
Cowok tampan yang berseragam ala Garnetta Art High School yang kemeja nya di tutupi oleh jaket berwarna putih polos miliknya itu menyisir rambut nya ke belakang seraya melangkah maju. Adegan itu terlihat slow motion di mata ku. Aku bisa melihat, tubuh Azel bertambah jangkung, rambut nya bertambah tebal dan terlihat sangat halus. Sungguh, pesona yang membahayakan hati para gadis!
Azel sempat melirik kearah ku. Tapi tak ada reaksi apapun dari nya. Seperti melihat orang yang tidak pernah ia kenal. Aku tak percaya aku pernah memeluk tipe manusia seperti itu.
Semua murid yang ada di kelas ini melongo melihat Azel. Mereka pasti kagum pada ketampanan Azel.
Setelah beberapa lama melihat seisi kelas ini, Azel akhirnya menuju meja paling belakang di barisan paling kiri. Jauh sekali dari meja ku. Kalau begini aku tidak bisa dekat dengan nya.
Kenapa aku jadi berharap bisa dekat dengan Azel?
Kemudian, masuk tiga orang perempuan bergaya feminim dan terlihat sedikit berlebihan di mata ku. Make-up yang mereka gunakan terlalu tebal. Sampai setiap butiran bedak yang mereka gunakan terlihat jelas sekali di mataku, gak deng, bercanda.
Mereka lebih mencolok lagi karena lipstick merah terang yang mereka gunakan. Siswi seperti ini yang akan menjadi incaran guru BP, batin ku. Aku bisa taruhan, beberapa hari kemudian pasti mereka sudah terkena kasus yang berhubungan dengan penampilan dan pergaulan. Aku memutar bola mataku karena kesal. Kenapa juga Garnetta Art harus menerima murid seperti ini? Dan kenapa murid seperti ini masuk di jurusan musik?
"My prince...!" Teriak salah satu dari mereka yang dandanan dan aksesoris nya paling mencolok dengan mata berbinar saat memandang kearah Azel. Seperti nya dia adalah leader dari geng-gengan mereka.
Aku dan seluruh murid yang berada di kelas ini mengernyit geli sata melihat tingkah gadis itu, kecuali Azel. Ini baru hari pertama, aku tak bisa membayangkan hari-hari berikutnya.
Azel terlihat santai-santai saja melihat gadis itu histeris. Tatapan nya tetap susah diartikan. Ekspresi datar nya itu lebih melelehkan saat ia sedang berada di situasi seperti ini.
Ketiga perempuan itu menghampiri Azel. Gadis itu─yang ku perkirakan adalah leader mereka─meletakkan tas nya di kursi samping Azel dan masih berada satu meja dengan Azel.
Ah! Jangan Azel, kumohon...
"Hai..., salam kenal. Nama aku Olivia." Kata gadis yang baru ku ketahui bernama Olivia itu.
Aku? Pasti sebutan 'aku' hanyalah pemanis agar ia terlihat sebagai gadis yang baik. Toh, kata-kata 'aku' tidak akan membantu. Dia tetap terlihat sebagai gadis yang punya akhlak yang tidak baik.
Untunglah, Azel sama sekali tidak mengubris godaan Olivia. Ia tetap diam dan seolah tak menganggap kehadiran gadis itu. Ternyata dia bersikap dingin bukan hanya pada ku saja. Dia bersifat seperti itu pada semua gadis. Kecuali mantan nya, Ashley. Azel tampak seperti seorang laki-laki yang selalu mengerti perempuan saat ia bersama Ashley. Andaikan aku bisa jadi Ashley, perempuan─yang meskipun sudah tidak lagi menjadi kekasih Azel─tetap di perlakukan lembut. Aku ingat sekali saat Azel mengusap rambut Ashley. Omong-omong, kenapa aku jadi berpikir tentang Azel?
Oke, back to the topic, Azel dan Olivia.
"Kamu dari SMP mana? Kayak nya kita pernah ketemu, deh," Kata Olivia lagi.
Cihh..., aku ingin muntah mendengar perkataan itu. Tidak mungkin Olivia pernah bertemu dengan Azel. Itu pasti hanya akal-akalan nya saja agar bisa berkenalan dengan Azel. Jangan percaya Olivia, ya, Zel, kata ku dalam hati, berharap Azel dapat mendengarnya.
"Oh, ya?" Tanya Azel. Kini Azel menghadap kearah Olivia. Itu membuat Olivia jadi semakin genit dan percaya diri dalam menggoda Azel.
Alis ku bertaut melihat tingkah Azel. Tidak biasanya dia tertarik dengan topik pembicaraan seperti itu. Apa ini artinya Azel sudah mulai tertarik oleh Olivia? Itu tidak boleh terjadi! Ingin rasanya berdiri dan secepatnya mengajak Azel menjauh dari Olivia sebelum ia tenggelam sepenuhnya di dalam pesona Olivia yang─sebenarnya─menjijikan itu. Namun, hati kecil ku berbisik, ia mengatakan bahwa aku harus percaya kalau Azel bukanlah seorang yang mudah tergoda. Apalagi dengan perempuan seperti Olivia. Dan, aku mengurungkan niat ku untuk mengajak Azel pergi. Aku tetap duduk dan menatap mereka.
"Iya..., kita pernah ketemu. Aku yakin banget itu kamu. Emang nya kamu gak ngeliat aku, ya?" Ujar Olivia dengan nada genit sambil berusaha menyentuh tangan Azel, walaupun Azel terlihat tidak nyaman dengan tingkah nya.
Kurang ajar sekali gadis itu!
"Kita pernah ketemu di mana, ya?" Tanya Azel antusias.
Azel..., jangan bertindak bodoh, please!
"Umm..., kita pernah ketemu di..., di rumah sakit." Jawab Olivia gelagapan.
"Rumah sakit? Maksud lo rumah sakit jiwa? Jangan bilang kalau lo itu pasien rumah sakit jiwa yang kabur." Azel mengangkat tas nya dan bangkit dari duduk nya. "Dan, satu lagi, gue gak pernah merasa ketemu sama orang kayak lo." Azel berjalan santai meninggalkan meja yang ia tempati tadi.
Aku menahan tawa karena perkataan Azel. Ternyata hati kecil ku benar, Azel tidak mungkin dengan mudah nya tertarik pada perempuan seperti Olivia. Ia tetap Azel yang sama.
Wajah Olivia yang berkulit putih itu memerah seperti kepiting rebus. Pasti malu sekali rasanya di perlakukan seperti itu dengan Azel.
"Azel! Kamu mau kemana?!" Rengek nya. Oh..., ternyata dia belum menyerah terhadap Azel.
"Mau cari tempat duduk yang jauh dari pasien rumah sakit jiwa yang kabur." Sindir Azel seraya memberikan senyuman sinis kepada Olivia. Itu membuat aku dan para murid yang berada di kelas ini tertawa.
Senang sekali rasanya saat mengetahui Azel tidak tertarik dengan Olivia. Tapi rasa senang itu berlangsung tak lama. Kesenangan yang ada di hati ku berganti dengan rasa resah saat Azel berjalan kearah ku.
Jangan bilang kalau Azel ingin duduk satu meja dengan ku!
Jantung ku berdebar-debar saat menyaksikan Azel berjalan lebih dekat kearah ku. Waktu seolah di buat selama mungkin saat ini. Aku bahkan belum percaya sepenuh nya jika Azel berskolah di Garnetta Art, sekolah yang sama dengan ku. Dan sekarang aku juga harus menerima kenyataan kalau Azel duduk satu meja dengan ku?!
Entah apa yang membuat percaya diriku luntur begitu saja. Yang jelas, aku tak ingin Azel duduk satu meja dengan ku. Bagaimana jika dia tidak suka kebiasaan ku tidur saat jam pelajaran? Atau dia tidak suka kebiasaan ku meminjam alat tulis ke murid lain? Bisa jadi dia tidak suka melihat tulisan ku. Bagaimana ini???
"Gue duduk sini, ya?"
Otakku sibuk mencerna semua yang terjadi barusan. Apa Azel baru saja meminta izin untuk duduk di samping ku? Di satu sisi, aku menerima nya dengan senang hati. Tapi di sisi lain, aku belum siap jika harus berada di jarak yang sangat dekat dengan Azel setiap hari nya.
Kenapa aku jadi labil begini? Oh, ayolah, Rev, lo bukan lagi ABG alay yang sering labil dalam mengambil keputusan! Lo udah SMA, lo udah remaja. Lo harus berpendirian.
Mulut ku masih terkatup rapat. Otakku juga masih tidak berfikir jernih. Padahal, tampaknya, Azel sudah tidak sabar mendengar jawaban dari ku. Maaf ya, Zel, otak gue emang suka lemot di saat-saat kayak gini, ucap ku dalam hati.
"Revata!" Teriak seseorang. Sontak, aku menoleh kearah pintu kelas.
Ternyata Tara! Terimakasih, Tuhan, karena sudah memberi ku bantuan dengan mengirimkan Tara.
"Ehm, sorry, Zel, gue udah janji buat duduk bareng sama Tara." Aku melirik Tara yang sekarang sudah berjalan kearah ku. "Lo gak apa-apa, kan?" Tanya ku.
Azel menghela nafas berat. Sementara aku mendengar sorakan dari Olivia. Mungkin dia senang karena Azel tidak jadi duduk bersama dengan ku.
Azel memutuskan untuk duduk di belakang ku. Baguslah, aku bisa duduk bersama Tara.
"Revata! Gue kangen sama lo!" Tara hendak memelukku, namun aku menahan nya. Jangan sampai aku terlihat berlebihan di depan Azel.
"Kenapa sih? Tumben lo gak mau peluk gue. Biasanya, kan, kita... hmmphh.." Aku membekap mulut Tara sebelum ia membongkar semua rahasia persahabatan kita, termasuk hal-hal bodoh yang sering kita lakukan. Azel tak boleh tahu itu.
"Ssst..." Desis ku. Aku menunjuk Azel dengan ekor mata ku.
Tara menoleh kearah Azel sebentar, dan menatap ku lagi. "Dia siapa? Ganteng banget, Rev..," Tanyanya dengan cara berbisik.
"Azel," Bisikku sekecil mungkin.
Mata Tara terbelalak saat mendengar nama 'Azel'. "Oh.., jadi dia Azel yang sering banget lo ceritain itu?!" Teriak Tara.
Thug live!
Skak mat!
Shit!
Sial!
Tara!!! Kenapa harus keceplosan seperti itu sih?!!!
Aku yakin, pasti wajah ku memerah sekarang. Aku tak tahu bagaiamana perasaan ku saat ini. Aku berlari meninggalkan kelas. Aku berlari secepat mungkin. Tak perduli apa yang terjadi di belakang ku. Aku hanya ingin berlari.♥
Wah... Tara parah banget...
Gimana perasaan Revata, ya, waktu Tara keceplosan? Yang pasti dia malu banget. Apalagi Azel duduk di belakang mereka. Pasti Azel dengar apa yang Tara bilang.
Kalo mau tau kelanjutan nya, kasih vote and comment nya dulu yaaaaa.....
Thankss
KAMU SEDANG MEMBACA
Something I Feel
Teen Fiction"Azel itu ganteng, pinter, jago main gitar, suaranya bagus, judes, jahat, suka bikin gue patah hati, tapi gak tau kenapa gue gak bisa benci sama dia."-Revata. "Revata itu cewek aneh."-Azel