Happy Reading
*
**
***
Mengapa situasinya menjadi seperti ini? Tidak, ia tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Bukan ini yang ia rencanakan.Seharusnya ia langsung pergi saja kemarin malam. Tidur di taman kota masih lebih baik dari pada situasi ini. Oh! Kau bodoh sekali, Isabel. Tapi waktu tidak bisa diputar, dan yang sudah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Sekarang yang harus ia pikirkan adalah bagaimana ia bisa pergi menjauh dari sini nanti. Meski kesempatannya hanya ada satu persen, ia tidak akan menyia-nyiakannya. Tidak jika taruhannya adalah masa depannya sendiri.
Isabel mengerjap bingung, otaknya berputar keras memikirkan jalan keluar. Sekarang ia harus bisa meyakinkan ayahnya untuk menunda rencana apapun yang ada dalam pikiran ayahnya.
Ia pergi dari rumah sebagai bentuk pemberontakan untuk memperjuangkan prinsipnya yang ia pikir tidak lagu sejalan dengan ayahnya. Namun ia tidak mengira bahwa melawan kata-kata ayahnya akan sesulit ini, karena ia tidak terbiasa berbantah dengan ayahnya. Lagipula apa gunanya lagi sekarang?
Tapi ayahnya sudah mengucapkan ancamannya, dan Alfaro tidak pernah memberi ancaman kosong. Pernah sekali waktu ketika Isabel masih menjadi remaja pembangkang, ia melanggar satu peraturan yang dibuat ayahnya, mengisap ganja. Melihat Isabel pulang dalam keadaan mabuk, pria tua itu membakar seluruh pakaiannya hingga tsk tersisa. Membiarkan Isabel menangis meraung meski ia sudah memohon maaf berkali-kali.
Tidak. Ayahnya tidak akan melupakan rencana bodohnya untuk menjodohkannya dengan pria mengerikan itu.
"Tapi kami belum merencanakan apapun." Suaranya sedikit bergetar, namun ia patut menghadiahkan dirinya sendiri tepuk tangan meriah karena berhasil tidak tergagap ketika bicara.
Ia meremas jari-jari tangannya, memainkan kuku-kukunya seperti kebiasaannya kalau gugup. Hal itu tidak luput dari pengamatan Alfaro.
"Kenapa kau begitu gugup, Mi niño?"
"Tidak," sanggahnya cepat yang malah menegaskan apa yang diusahakan ditutupinya. Ayahnya hanya menatap dengan alis terangkat tak percaya.
Marc yang menyadari arah tatapan ayah calon istri pura-puranya, menggenggam tangan Isabel lembut. Menenangkan. "Tidak apa-apa kalau kau merasa gugup, akupun demikian," bisiknya tidak terlalu pelan hingga Alfaro masih bisa mendengar.
Seolah mencari dukungan, Isabel balas menggenggam tangan Marc yang terasa hangat. Bertolak belakang dengan tangannya sendiri yang terasa dingin membeku.
Isabel berdeham. Mencoba menatap mata ayahnya dengan berani saat mengucapkan kebohongan selanjutnya. "Kami tidak bisa menikah dalam waktu dekat, Pa."
"Yah. Kau tidak punya pilihan, Sayang," ucap ayahnya. Pria itu mengangkat bahu dengan rasa bersalah yang tidak tulus. "Menikah dengan kekasihmu dalam waktu dekat atau pulang bersamaku dan bertunangan dengan José Luis. Kau ingat dia, kan? Putra bungsu Alejandro."
Tatapan ngeri melayang ke arah ayahnya. "Kau tidak bisa melakukan itu!" pekik Isabel. Tangannya mengepal erat.
Tentu saja Isabel ingat José Luis. Pria kasar bertubuh subur--tidak, subur terlalu meremehkan dalam penggambaran José Luis, pria itu luar biasa besar, di mana kau tidak akan bisa lewat saat berpapasan dengannya di lorong tanpa bersentuhan meski kau sudah menahan napas. Namun sayangnya tubuh besar José Luis tidak sesuai dengan otak kecilnya yang nyaris tidak dapat digunakan untuk berpikir. Pria itu hidup hanya dengan mengandalkan nama besar ayahnya yang seorang pengusaha kaya raya. Menakut-nakuti orang lain demi kesenangan. Menjadikan orang lain sebagai lelucon. Satu kata yang pas untuk pria itu, mengerikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine In The Moonlight
General FictionThe Heritage Series, #1 . . . Yang dunia tahu, Marc Ridley lahir dalam keluarga yang harmonis dan bahagia. Namun kegagalan orangtuanya dalam membina pernikahan lah membuatnya enggan merasakan hal yang sama. Sampai akhirnya ayahnya malah memberi wasi...