Halo haloooo... Hahaha... Lama bangeeet nggak apdet.
Tahun baru aku kembali bawa ceritanya bang Marc dan neng Isabel. Aku tahu ini masih kacau, detail-detailnya masih ngawur, tapi semoga nggak 'sekacau' itu dan masih bisa dinikmati. btw, itu foto bapaknya Isabel. Kece badai ya, cynnn. Bikin deg deg ser dah liat aki-aki gantengnya begini, hahahaa *otak ngawur*
Yasud, langsung cus ke tkp. Happy Reading
*
*
*
Di condo, Alfaro duduk termenung sendirian menghitung detik demi detik waktu yang ia habiskan untuk menunggu kedatangan Isabel. Sudah satu jam berlalu sejak Martin memberi kabar terakhir bahwa Isabel dan kekasihnya masih berbincang di restoran.
Kekasih. Alfaro berdecak. Keningnya berkerut saat matanya mengamati Corona dalam genggamannya yang tinggal berisi separuh seolah itu sesuatu yang aneh. Tapi seluruh kejadian belakangan ini memang aneh. Sampai dua hari yang lalu, putri semata wayangnya bahkan tidak memiliki seorang teman wanita sebaya di sini apalagi seorang kekasih. Lalu tiba-tiba sekarang Isabel akan segera menikah.
Anak semata wayang yang selama ini manis dan penurut tiba-tiba memutuskan untuk menjadi pembangkang lalu melarikan diri dari rumah hanya dengan membawa sedikit pakaian. Tidak hanya itu, ia memilih menjadi imigran gelap di Florida demi menghilangkan jejak. Setelah mengatakan tidak lagi sudi menerima sepeserpun darinya, pagi harinya Alfaro sudah tidak lagi bisa menemukannya putrinya di manapun. Ponsel, paspor, dan kartu kredit tersimpan rapi di kamarnya. Hanya sepucuk surat yang menegaskan bahwa ia pergi dari rumah, tanpa menjelaskan ke mana atau dengan siapa. Bahkan Loletha, sahabat dekatnya, tidak tahu menahu tentang kepergian Isabel.
Tiga bulan lamanya Alfaro mencari Isabel. Setiap pelosok Meksiko sudah ia jelajahi. Ia hampir putus asa. Sampai minggu lalu, salah satu rekan bisnisnya menghubungi. Alejandro menghubungi dari Saint Lucie. Mengaku melihat Isabel mengenakan seragam hotel di tempat ia menginap. Dengan menyertakan bukti foto.
Awalnya alfaro tidak yakin wanita muda dalam foto yang dikirim Alejandro melalui email adalah putrinya. Wanita dalam foto itu berambut pirang, tubuhnya kurus, dan pucat. Namun wajah itu memang wajah putrinya. Detik itu juga Alfaro memerintahkan Martìn dan Carlos untuk nenyelidiki.
Di sinilah ia sekarang. Menemui putrinya yang akan segera menikah.
Dering nyaring ponsel membuatnya tersentak. Nama Carlos muncul di layar.
"Si, Carlos. Apa yang kau dapatkan untukku?"
Carlos telah bekerja untuk Alfaro seumur hidupnya. Ia sudah terbiasa dengan cara kerja Alfaro yang keras. Tapi bukan berarti ia tidak lagi gentar. Karena jika menyangkut putri kesayangannya yang kini gemar memberontak, pria tua itu tidak akan segan melakukan ancamannya. Sudah dua jam ia habiskan dengan mencari informasi dan sekarang bosnya sudah tidak bisa lagi sabar untuk mendapatkan informasi mengenai pria yang dikencani sang putri. Ia sudah menyuap, bahkan mengancam petugas hotel agar memberikan informasi lengkap yang mereka ketahui tentang seorang Marc Ridley. Tapi pria berambut merah yang bekerja di belakang meja resepsionis tidak tahu menahu selain nama lengkap dan kamar yang ditempati, yang membuat pekerjaannya terasa mustahil. Namun ternyata tidak sesulit yang ia kira karena Marc Ridley cukup terkenal dan banyak mendapat sorotan media. Tapi ia tahu itu tidak akan cukup untuk memuaskan majikannya.
"Saya sudah mendapat sedikit informasi."
Alfaro menggeram tidak senang mendengar kata sedikit. "Lanjutkan."
"Pria itu memiliki dua orang adik, laki-laki dan perempuan, keduanya menetap di Miami. Sedangkan Marc lebih banyak menghabiskan waktu di New York City. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, sedang ayahnya baru saja meninggal minggu lalu." Carlos kemudian melanjutkan fakta-fakta lain yang baru saja ia temukan. Setelah informasi yang ia dapatkan sudah ia sampaikan, dengan takut-takut ia berkata, "Untuk saat ini hanya itu yang saya dapatkan, Señor."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine In The Moonlight
General FictionThe Heritage Series, #1 . . . Yang dunia tahu, Marc Ridley lahir dalam keluarga yang harmonis dan bahagia. Namun kegagalan orangtuanya dalam membina pernikahan lah membuatnya enggan merasakan hal yang sama. Sampai akhirnya ayahnya malah memberi wasi...