Happy Reading
***
**
*
Setelah mandi dan bersiap sementara Marc berbincang dengan ayahnya mengenai entah apa, Isabel keluar dari kamar. Mengenakan blus sutra warna putih dengan kerah berpotongan rendah yang nyaman dipadu rok mengembang dengan warna yang serasi, ia disambut decak kagum Marc dan alis terangkat dari ayahnya.
Marc segera bangun dari duduknya, menghampiri Isabel dalam tiga langkah besar lalu merengkuh gadis itu ke dalam pelukan hangat. "Kau terlihat seperti pengantin dengan gaun ini." Tiba-tiba Isabel menyesali pilihan pakaiannya, tapi ia sekadar mengenakan pakaian yang pertama ia temukan di dalam salah satu paper bag yang berjajar di samping pintu.
Ketika mulut Marc membungkam mulut Isabel, gadis itu tidak membalas. Ia bergeming, Seolah tidak terpengaruh sikap dingin Isabel, Marc menambahkan dengan nada rendah yang seksi, "Pengantinku." Mata birunya menyala-nyala, membara oleh gairah tajam.
Oh! Betapa pandainya pria ini berpura-pura. Seandainya saja Isabel tidak andil dalam sandiwara itu, ia pasti sudah tertipu dan terpesona. Namun Isabel tidak akan pernah tertarik pada pria licik dan manipulatif, sedangkan hanya itu yang ada pada diri Marc. Sambil mengertakkan gigi, ia mencengkeram lengan Marc, menancapkan kuku-kukunya, memberi pesan tak terucap agar tidak bersikap berlebihan di depan ayahnya yang malah dibalas oleh Marc dengan menggigit main-main bibir Isabel seolah memberi peringatan agar mengikuti permainan. Pegangan tangan Isabel mengendur pasrah, tahu tidak ada gunanya melawan. Setelah tarikan napas panjang gadis itu berusaha tersenyum seriang yang hatinya ijinkan. Kemudian hanya menurut ketika Marc membimbingnya menghampiri ayahnya yang memandang dengan raut tertarik yang tidak ditutupi.
"Kau terlihat cantik, Princesita," Alfaro tersenyum.
Tidak mudah melakukan pengaturan hanya untuk berangkat ke Miami. Alfaro berkeras agar Martin ikut bersama mereka. Padahal itu hal terakhir yang diinginkan Isabel dan Marc. Namun tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan ketika semua alasan yang dilontarkan mampu disanggah dengan baik oleh Alfaro. Kini keduanya duduk dengan wajah muram di jok belakang. Marc sibuk dengan berkas-berkas yang ia simpan di tas di kantong belakang jok kemudi, Isabel hanya duduk melipat tangan sambil memandang ke luar jendela sementara Martin mengemudikan mobil dengan kecepatan yang hampir membuat seorang nenek menggeram marah tidak sabar.
Diam-diam Isabel melirik ke arah Marc yang terlihat serius membaca. Memperhatikan profil tegasnya. Dengan mata tajam, hidung mancung, dan rahang persegi pria itu seperti penggambaran tokoh fiksi yang biasa ia baca di novel-novel. Bibirnya membentuk garis lurus yang kaku, kerut samar muncul di kening pria itu saat ia menemukan sesuatu yang janggal di satu titik.
"Ada yang ingin kau katakan, Sayang?" Marc bahkan tidak perlu mengangkat wajah untuk tahu sedang diperhatikan.
Satu degupan jantung Isabel seolah terlewat saat ia tertangkap basah sedang memperhatikan. "Apa kau harus selalu bekerja?"
"Ada kasus yang harus aku pelajari sebentar." Marc melirik sejenak ke atas. "Setelah itu aku sepenuhnya milikmu."
Isabel memutar bola mata tidak sanggup berkata-kata. Ia kembali mengalihkannya ke luar jendela. Berpikir pepohonan dan pagar beton lebih menarik dibandingkan pria sombong di sebelahnya.
Langit pagi yang sejuk telah menghilang digantikan sinar matahari yang menyengat. Awan menyingkir tertiup angin, membiarkan matahari mengerjakan tugasnya di musim panas yang menyengat. Namun di titik yang jauh, Isabel bisa melihat awan hitam berkhianat mengancam menurunkan badai. Ketika mobil mulai memasuki jalan bebas hambatan I-95 S yang lengang, baru Martin menambah kecepatan ke batas maksimum yang diperbolehkan.
Ketika mereka sudah mendekati Miami, pepohonan yang memagari kanan kiri jalan tol mulai digantikan gedung-gedung tinggi. Setelah dua jam hanya diisi deru halus mesin, akhirnya Marc memecah kesunyian. "Gunakan lajur kedua dari kiri lalu ambil pintu keluar 2C untuk menuju pusat kota." Ia lalu mengarahkan Martin menuju Woodridge Road.
Ketika Marc menunjuk satu rumah putih yang pagarnya diapit dua pohon flamboyan besar. Isabel memandang dengan takjub ke pucuk-pucuk bunga yang menutupi setiap inci ranting, serta hamparan yang menyerupai karpet bunga oranye di sekeliling akarnya. "Astaga, cantik sekali." Tanpa sadar ia terus tersenyum sambil kepalanya menengadah hingga tidak menyadari Marc berjalan mendekat lalu berdiri tepat di belakang.
"Kami menyebutnya pohon api," kata Marc.
Kenangan yang tidak diinginkan datang membayangi Marc. Kepalsuan, ketidakbahagian ibunya, ketidakmampuannya membantu Virginia melawan ayahnya, dan keegoisannya sendiri yang memilih meninggalkan keluarga di belakang demi kata kenyamanan. Tapi kenyamanan yang dicari yang berupa semu. Dan sekarang ia akan menjalankan pernikahan yang sama tidak bahagiannya dengan orang tuanya.
Ia memperhatikan Isabel. Gadis cantik itu terlihat hanyut oleh pikirannya sendiri. Ia harus memastikan pernikahan ini sepenuhnya hanya untuk keuntungan masing-masing hingga tidak ada yang terluka nantinya. Tidak boleh ada hati yang terlibat di dalamnya, tapi ia menyangsikan dirinya sendiri masih punya hati.
"Tentu saja." Isabel seketika menyetujui. Tidak menyadari ketegangan dalam suara Marc.
"Ada yang harus kubicarakan denganmu."
Seketika itu Isabel waspada. Karena jika Marc sudah menggunakan nada bicaranya yang kaku, akan ada hal tidak mengenakkan yang terjadi setelahnya. Ia berbalik, lalu mundur menyadari kedekatan mereka. "Ada apa lagi?" Matanya menyipitkan tidak suka memandang Marc.
Marc menunggingkan senyum sombong meremehkan. "Tidak perlu terlalu curiga padaku."
"Tidak usah berbasa basi denganku. Katakan saja apa yang ingin kau katakan."
Sebelum bicara, Marc mengintip dari balik bahu memastikan mereka jauh dari pendengaran siapapun. Martin sedang berdiri di sisi mobil beberapa meter di belakang mereka, bisa dipastikan sedang memberi laporan kepada Alfaro. Lalu kembali mendekati Isabel.
"Seperti aku bersandiwara di depan ayahmu, begitu pula kau." Isabel hendak bicara, tapi Marc lebih dulu menghentikannya. "Aku mengharap—tidak, aku butuh—kau bersandiwara di hadapan adik-adikku. Jax, meskipun akan menyadari sandiwara kita, tapi aku yakin ia tidak akan peduli. Tapi akan butuh sedikit usaha keras agar bisa meyakinkan Ally. Dia tidak akan setuju kita tahu pernikahan kita hanya sebatas kesepakatan menguntungkan."
Isabel mengerang kesal. Bersikap baik dan mesra dengan Marc adalah hal terakhir yang ia inginkan sekarang. Itu artinya akan ada lebih banyak kontak fisik di antara mereka berdua padahal romantisme bukan sesuatu yang bisa diharapkan dalam hubungan tidak biasa di antara Marc dan Isabel. Kata-kata mesra, tatapan memuja, ia tidak yakin bisa memberikannya pada Marc jika yang ingin ia lakukan hanya menghilangkan senyum di wajah pria itu.
"Apa yang harus kukatakan padanya?"
Marc diam sejenak. "Aku juga belum tahu. Jadi biarkan aku yang menjawab semua pertanyaannya, atau karang saja sesuka hatimu."
Sesuka hati! Tidak semudah mengatakannya. Isabel tidak tahu apa-apa tentang Marc. Ia tidak tahu makanan kesukaannya, atau b "Tapi—"
"Marc?" Satu suara feminin terdengar dari pintu utama rumah.
"Ally."
***
**
*
Halo halooo, aku datang lagiii.
Typos?
23 Jan 18
Dee
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine In The Moonlight
General FictionThe Heritage Series, #1 . . . Yang dunia tahu, Marc Ridley lahir dalam keluarga yang harmonis dan bahagia. Namun kegagalan orangtuanya dalam membina pernikahan lah membuatnya enggan merasakan hal yang sama. Sampai akhirnya ayahnya malah memberi wasi...