Happy Reading ...
*
**
***Entah apa yang dipikirkannya, tapi kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Marc.
Nyaris putus asa menghadapi permasalahan yang membelitnya, telah membuatnya hilang akal. Untuk sesaat ia berharap bahwa masalah yang dihadapinya saat ini dapat diselesaikan semudah ia berbicara.
Namun ia segera sadar kalau apa yang baru saja ia katakan, hanyalah salah satu cara agar kedua pria yang berdiri dengan wajah kejam di hadapannya ini, berhenti mengganggu wanita yang sekarang sedang berdiri gemetar di belakangnya. Meski bisa memperkirakan apa hubungan yang ada di antara si wanita dan kedua pria tersebut, namun ia tetap tidak bisa tinggal diam.
Apapun hubungan yang ada di antara mereka, tetap tidak dibenarkan untuk memaksakan kehendak. Dan wanita yang dipanggil dengan nama Isabel ini, terlihat jelas tidak mau ikut dengan suka rela.
Persetan, kedua pria tadi hampir menyeretnya agar wanita itu ikut dengan mereka.
Pria yang berperut buncit mendengus geli. Kumisnya yang hitam dan setebal sikat bergetar menyembunyikan bibir hitam yang berkedut ketika ia menahan tawa. Sedangkan pria yang satu lagi, yang tubuhnya lebih kurus namun memiliki kumis yang sama tebalnya, terkekeh dengan nada meremehkan. Jelas tidak memercayai ucapannya.
"Calon istri," ucap si pria berperut buncit. "Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan, bung."
"Memangnya kau tahu siapa wanita itu?" ucap pria yang satu lagi. Bibirnya menyunggingkan senyum yang terlihat kejam.
Isabel tersadar dari keterpakuan. Telinganya memerah ketika mendengar ucapan pria asing itu. Namun mendengar ucapan Martín, jantungnya berdebar kencang. Maju selangkah ke depan, matanya menyipit tajam. "Tentu saja dia tahu siapa aku, Martín. Jadi sampaikan pada ayahku," Isabel mengucap kata ayah dengan pahit, "aku tidak akan pulang. Ayo."
Isabel menggamit lengan pria di sampingnya ke arah bar. Tidak mengacuhkan Martín dan Carlos yang memanggil namanya berulang kali dengan nada memohon. Dengan sigap Marc membukakan pintu.
Irama musik yang mengentak, menyambut ketika mereka berada di dalam. Meningkahi hiruk pikuk tawa rendah pengunjung. Satu kelompok besar di tengah ruangan mengenakan sombrero berwarna cerah.
Marc mengamati sekeliling ruangan sejenak. Lalu membawa Isabel ke salah satu meja di pojok yang masih kosong.
Ini bukan kali pertama Isabel masuk ke sini. Namun sama seperti sebelumnya, ia merasa hangat dan nyaman berada di sini.
Seperti pulang ke rumah.
Dinding-dindingnya dicat warna cerah yang berbeda di tiap sisi. Di bagian bercat merah, sederetan foto yang dipajang memenuhi separuh dindingnya. Mulai dari atlet, penyanyi tradisional, dan pemain film. Dan di dinding bercat kuning, berjajar foto-foto chef, pemilik toko, atau pelayan yang bersama pengunjung. Sedangkan beberapa sisinya dipenuhi dilukis warna-warni yang menurut Marc aneh dan tidak sesuai.
Seorang pelayan menghampiri mereka. Pengenalan, membuat wajahnya dipenuhi senyuman. "Makan malam, Isabel?"
Isabel tidak memiliki uang untuk makan malam di sini. Bahkan, ia tidak memiliki uang untuk makan malam.
Jadi Isabel menggeleng. "Air putih saja, Diego." Namun belum ia menutup mulut, perutnya menggeram kencang dengan sangat mengenaskan. Pelayan tadi menyeringai.
Isabel merona malu.
"Bawakan kami sup dan apapun yang ada," ucap Marc.
Seolah baru menyadari kehadiran Marc, Diego mengerjap. Senyum lebarnya mendadak hilang, digantikan senyum setengah hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine In The Moonlight
General FictionThe Heritage Series, #1 . . . Yang dunia tahu, Marc Ridley lahir dalam keluarga yang harmonis dan bahagia. Namun kegagalan orangtuanya dalam membina pernikahan lah membuatnya enggan merasakan hal yang sama. Sampai akhirnya ayahnya malah memberi wasi...