BAB 10

2.6K 267 25
                                    

Halo halooo... 
Maaf  lama nggak upload. Baru sehat. Ini update sedikit dulu. 

Happy reading

***//***//***//***//***//***//***//***//***


Tersinggung oleh tuduhan tidak berdasar dari Marc, Isabel meradang. Senyum dan tawa yang semenit tadi ia bagi, kini menghilang tak berbekas. Keningnya berkerut-kerut, matanya berkilat-kilat memicing penuh kemarahan ketika menatap pria yang balas memandangnya tak kalah sengit.

"Otakmu pasti sudah tidak waras!" desis Isabel. Marc mencengkeram lengannya hingga terasa menyakitkan. Seandainya Isabel bukan kepala batu, gadis itu pasti sudah meringis dan mengaduh. Tapi pastinya ia tidak akan memberi pria sombong tak berotak ini merasa senang karena berhasil melukainya. Ia bahkan enggan mengusap setitik keringat yang muncul di pelipis setelah berdansa dengan riang empat lagu berturut-turut, yang bahkan sejuknya udara malam tidak berhasil menghalaunya.

"Agar kau tahu, Isabel Ridley." Marc menyebut nama belakangnya yang kini tersemat pada nama Isabel demi menekankan maksudnya. "Kau istriku yang sah sekarang. Dan aku ingin kau berperilaku sebagaimana seorang istri." Melihat Isabel berdansa mesra dengan adiknya membuat amarah Marc tersulut. Ia telah mengabaikan logika. Karena ia adalah pria yang egois, selama enam bulan pernikahan pura-pura ini, ia tidak akan membiarkan Isabel mempermainkannya.

Isabel membelalak tak percaya, kehilangan kata-kata. Ia kelelahan baik fisik maupun mental. Kakinya mulai terasa nyeri karena pegal, kepalanya juga sudah mulai berdentam. Ia merasa sudah berada di ambang batas kesabarannya hari ini. Jika Marc terus saja mendesaknya, ia pasti lepas kendali saat ini juga.

"Mau ke mana kau?" Sergah Marc ketika Isabel berbalik hendak meninggalkannya. Tangannya lagi-lagi menahan Isabel tetap di dekatnya.

Isabel tidak ingin membuat drama konyol di hari pernikahannya. Meski sebagian besar tamu sudah pulang sejak beberapa jam yang lalu, tapi sebagian besar keluarga dekat masih berdansa atau hanya sekadar mengobrol di meja-meja bundar di temani botol-botol bir yang pernah ada habisnya. Karena setiap dus yang satu telah kosong, sesorang akan mengeluarkan satu lagi dus yang masih terisi penuh. Dan kini beberapa keluarganya maupun keluarga barunya tidak lebih sadar dari kera di pegunungan. Tapi ia tahu mereka akan memperhatikan jika sedikit saja ia membuat keributan dengan suaminya.

Dengan senyum paling menawan yang bisa ia paksakan, ia menatap Marc sambil berkata, "Ke mana saja selama itu jauh darimu dan kegilaanmu." Lalu menarik lengannya dengan kasar.

"Di sini kalian rupanya!" Ally, Lola, dan Paulina sepupunya, muncul. Isabel nyaris mengerang melihat kilat di mata mereka. Tiga wanita yang dekat dengannya ini pasti sudah merencanakan sesuatu untuk malam ini. Dan ia bisa membayangkan apa. Setelah sejak minggu lalu Lola dan Paulina mendesaknya untuk memilih lingerie yang segera ia tolak mentah-mentah.

"Marc lebih suka melihatku polos." Isabel beralasan. Suaranya setengah memekik karena panik dengan wajah yang merah terbakar.

"Oh, omong kosong!" Lola menghardik. Ia mengibas tangannya dengan tidak sabar. "Pria tidak lebih dari bocah dalam balutan pria dewasa. Mereka senang membuka hadiah yang dibungkus cantik supaya mereka bisa membukanya perlahan."

Tapi Isabel tetap menolak. Merasa tidak ada perlunya ia mengenakan lingerie yang menggoda. Toh ia tidak akan melakukan apapun dengan suaminya. "Yah, kalau begitu Marc pasti lebih suka membuka langsung dari gaun pernikahanku."

"Ayo." Lola menggamit lengan Isabel kemudian mengerling ke arah Marc. "Kami pinjam sebentar pengantinmu."

"Tapi kembalikan secepatnya."

Mine In The MoonlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang