Bagi Isabel, setiap rumah memiliki ceritanya sendiri, begitu pula rumahnya. Begitu banyak kenangan tertinggal di sana.
The House of Alfaro, diambil dari nama ayahnya.
Dibangun di atas tanah seluas dua ribu meter persegi di kawasan San José Del Cabo, tepat di salah satu bukit di mana ia bisa menyaksikan seluruh keindahan yang tersaji.
Halamannya luas. Dipenuhi bunga-bunga musim panas yang cerah dan harum. Kesepuluh kamarnya, memiliki jendela besar yang menyuguhkan pemandangan indah.
Laut Cortes yang biru, Sierra de la Laguna di kejauhan, dan padang golf yang hijau.
Dan kamarnya mendapat pemandangan terbaik.
Namun bagian yang paling ia sukai adalah rumah itu selalu ramai. Alfaro mempekerjakan banyak orang dan beberapa dari mereka tinggal di sana.
Jadi, meski anak tunggal, Isabel tidak pernah merasa kesepian karena ayahnya selalu memastikan hal tersebut.
Atau setidaknya sampai tiga bulan yang lalu. Sampai ia pindah ke kamar sempit dan kotor di sudut kota Port St. Lucie.
Dan sekarang ia begitu merindukan semua yang ada di sana. Suasana hangat dengan orang-orang yang ia kenal seumur hidupnya. Cuacanya yang ramah.
Celoteh Lupe dan Paola di dapur, bergosip tentang apa saja yang mereka dengar entah di mana. Obrolan Martín dan Carlos tentang sepak bola saat makan siang. Dan demi segala yang buruk, Isabel sangat merindukan Loletha, sahabatnya.
Dan ayahnya.
Dari sudut mata ia melihat seseorang berjalan perlahan di belakangnya. Ia berhenti sejenak, orang tersebut ikut berhenti sebelum sedetik kemudian ikut setengah berlari.
Ia menelan ludah, jantungnya berdegub kencang. Telapak tangannya berkeringat, gemetar. Bukan oleh rasa takut, melainkan oleh rasa marah.
Isabel sadar seseorang sedang mengikutinya. Dan ia tahu siapa. Ia masuk ke lorong sempit di antara bangunan pertokoan, kemudian berhenti.
"Berhenti mengikutiku!" teriaknya ketika pria yang mengikutinya kini berdiri di ujung lorong menatapnya dengan mata membelalak kaget. "Atau kalian akan menyesal. Kau dengar aku?"
"Tapi---"
"Kalau kalian mengikutiku lagi, aku akan melaporkan kalian pada polisi." Isabel mendorong bahu lebar pria itu ke samping, lalu melewatinya dengan langkah lebar.
Isabel mendorong pintu dengan bahu. Berlindung dari panasnya matahari bulan Mei yang menyengat. Mengusap keningnya yang lembap oleh keringat.
"Selamat pagi, Ofelia," sapanya.
"Selamat pagi, Chabela." Senyum Ofelia mengembang, meletakkan gelas kopinya ke atas meja. Keningnya berkerut setelag memperhatikan lebih lekat. "Kau baik-baik saja?"
Isabel mengangguk cepat, berusaha menyakinkan. Menambahkan dengan cengiran lebar saat Ofelia menatapnya tidak yakin, "Aku setengah berlari kemari karena mengira sudah terlambat."
Senyum Ofelia kembali mengembang. Katanya, "tenang saja. Kau masih bisa meminum teh hangat kalau mau."
Isabel tersenyum menggeleng. "Lebih baik aku bersiap." Lalu menghilang ke dalam kamar ganti. Mengganti pakaiannya dengan seragam biru muda dengan tanda pengenal tersemat di dada. Menggelung rapi rambutnya di belakang kepala. Memulas lipstik merah muda saat Ofelia masuk.
"Aku akan menyiapkan kereta dorong," kata Isabel sebelum keluar.
Wanita yang lebih tua itu menyeringai. "Kau baik sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mine In The Moonlight
Fiksi UmumThe Heritage Series, #1 . . . Yang dunia tahu, Marc Ridley lahir dalam keluarga yang harmonis dan bahagia. Namun kegagalan orangtuanya dalam membina pernikahan lah membuatnya enggan merasakan hal yang sama. Sampai akhirnya ayahnya malah memberi wasi...