✖️Scoups x Friendzone.

246 37 3
                                    

Hosh. Hosh.

Aku berlari mengikuti derapan langkah kaki milik laki-laki yang langkahnya jauh lebih lebar dibandingku. Rasanya napasku sudah berada diujung tanduk karna sedari tadi ia tidak memberikanku jeda untuk mengambil napas selama berlari.

"Disini," ujarnya setengah berbisik menariku memasuki ruang gudang disamping bangunan sekolah. Aku tidak tau kenapa ia mengajakku bersembunyi ditempat ini, dan rasanya aku tak ada sangkut pautnya dengan apa yang sedang ia lakukan dengan para gerombolan orang yang mengejar kami sedari tadi.

Ia melepas tanganku, menutup pintu gudang yang herannya tak terkunci dan menarik meja untuk menghalangi pintu agar terkunci dari dalam—lalu menumpuk sejumlah barang lain diatasnya agar pintu semakin berat dan tak bisa terbuka.

Aku melihat isi gudang yang diterangi cahaya matahari melalui celah jendela dan lampu yang tak begitu terang, untungnya udara disini tak terlalu pengap.

"Kenapa kau harus mengajakku ke situasi seperti ini? Kan aku sudah bilang, kalau kita sahabat! Aku tak mau jadi incaran para perempuan yang mengaku korban php mu itu Seungcheol!"

Ia masih mengatur napas, aku melihat perutnya yang naik turun dibalik baju seragamnya itu—juga wajahnya yang terus menunduk.

"Maaf, maafkan aku," balasnya tersengal.

Sudah biasa kalau semua perempuan merasa di-php-kan oleh Seungcheol, dan pada akhirnya mereka akan mencariku untuk sekedar bercerita, atau ya, akhirnya menjadi seperti ini.

"Aku sudah bilang dari awal, jangan pernah memacari nenek sihir itu. Lihat akibatnya sekarang? Ia menghasut semua mantan mainanmu dan menyebarkan rumor aku lah perusak hubungan kau dan mereka. Cih, seperti tak ada kerjaan lain saja," aku melipat tanganku di dada. Tenggorokanku terasa kering, aku selalu merasa dehidrasi jika diajak berlari dan terlalu lelah.

"Aku mau keluar saja darisini, aku haus,"

Barang yang tertumpuk diatas  meja untuk menghalangi pintu aku coba turunkan satu persatu sebelum akhirnya Seungcheol meletakannya kembali menjadi tumpukan semula tanpa suara.

"Choi Seungcheol! Jangan melakukan hal ini, aku sedang tidak ingin marah," ucapku padanya.

"Choi Hanna! Kalau kau mau mendengarku sekali saja, dan tak pernah menganggap omonganku adalah omong kosong, kejadiannya tak akan jadi seperti ini kau tahu?!"

Aku diam, tak tahu harus menjawab apa, apa yang sedang ia bicarakan?

"Aku sudah berulang kali bilang, kalau," ia menghentikan ucapannya, "aku menyukaimu."

Deg.

"Diam, kau hanya bergurau," ujarku padanya sambil mencoba duduk diatas kursi kayu yang sudah reot dan sudah lama bersedekap di gudang diselimuti debu tipis.

Seungcheol mengerang kesal, walaupun pelan, aku tahu erangan seperti itu mengartikan ia sudah terlalu kesal untuk menahan emosinya.

"Ck, omong kosong? Kau tahu semua sifatku, semua keburukanku, bukankah artinya kau tahu semua sifat lain ku juga?"

Ya, dia selalu menceritakan semua hal padaku, kecuali tentang perempuan-perempuan yang sedang ia dekati. Selama ini, para perempuan itulah yang mendekatiku mencari tahu semua tentang Seungcheol, karna mereka pikir aku adalah sahabat nya sejak kecil.

Tak bisa disangkal, aku juga sangat dekat dengannya, karna sejak duduk dibangku taman kanak-kanak, ialah Seungcheol yang menemani dan menjagaku jika para anak lelaki iseng mengerjaiku. Dan sebab itu aku merasa berhutang budi padanya, juga sejak ibunya meninggal, aku merasa bertanggung jawab padanya.

"Seungcheol," aku tertawa mencoba melawan rasa deg-degan yang sedang merusak cara berpikirku, "kau seorang playboy, siapa yang tak tahu akan hal itu? Dan lagi, aku saha—"

Mmm.

Sial, bibirnya terasa manis.

Kuluman bibirnya terus mengecap dibibir bawahku, aku diam tak membalas sebelum ia menangkupkan tangannya di wajahku dan membuatku ingin membalas menciumnya.

"Inikah rasanya terjebak friendzone?" tanyanya setelah melepas bibirnya dari bibirku.

Aku menggeleng. "Sebenarnya, aku takut berharap banyak padamu,"

Ia menggenggam tanganku yang basah akibat keringat yang keluar karna rasa kaget juga rasa ciuman pertama ku.

"Setidaknya, mulai saat ini, percayalah padaku. Maukah kau memulai semua dari awal?"

Tidak, aku belum siap dengan hal ini.

"Jangan pikir kalau kau belum siap," tambahnya, "aku bisa melihatnya dari raut wajahmu."

"Sebegitu mudahnya kah aku untuk dibaca? Ck,"

"Kalau kau mau bilang 'ya', aku tak akan menciummu,"

"Dan kalau aku jawab tidak?" sergahku cepat.

"Aku akan menciummu lagi,"

Mana mungkin aku mau ia menciumku lagi? Ciuman pertama saja rasanya seperti kembang api yang menyala bersamaan di seluruh penjuru belahan bumi saat berganti tahun.

"Aku lebih memilih iya dibanding—"

Belum kelar ucapanku, dan ia mencuri lagi, bibirku. Tak lama ia menikmati bibirku, ia melepasnya dengan senyum terpatri lebar di wajahnya.

"Kalau begitu, stop berpikir kalau aku hanya main-main, dan kita mulai semua dari awal. Setuju?"

Aku menahan senyumku dan menganggukan kepala.

Ia mencubit pipiku dengan lembut, "aku mencintaimu."

Aku menghampiri wajahnya mendekat dan berbisik ketelinganya, "aku tahu itu, playboy."

Tawanya menyembur keluar yang disambut serbuan pelukannya ke tubuhku.

✖️Seventeen One Shots➕Where stories live. Discover now