PART 3

969 53 0
                                    

VOTE SEBELUM BACA !

***

Pemikiran untuk membunuh Justin benar-benar kuurungkan ketika melihat matanya yang hangat menjemputku untuk terlelap. Ia memancing Grace untuk mengatakan yang sejujurnya tadi malam tentang mengapa Grace merokok. Sebagai ibunya, aku tahu sekali mengapa Grace melakukan itu. Ia ingin mendapat perhatian dari Aaron yang sedang menari dengan wanita lain. Pasti dia cemburu dengan wanita itu. Grace tidak mengatakan apa-apa saat Justin hampir menampar pipinya, aku menghadang Justin untuk melakukan itu dan berakhir aku yang tertampar. Aaron ingin menarik kerah Justin dari belakang -aku bisa melihat dari cara tatapnya-namun ia sedang menggendong Justin kecil dan ia tidak ingin memberikan contoh yang jelek pada anak pertamanya. Grace berlari meninggalkan aku dan Justin di ruang keluarga bersama dengan Aaron dengan derai air mata di pipinya. Tidak ada yang bisa mencegahnya, begitupun aku. Aku berlari menuju kamar dengan wajah yang sudah memerah, tapi tidak menangis. Aku tidak secengeng dulu. Lagi pula, perbuatanku tadi hanya untuk melindungi putriku.

Saat aku sudah masuk ke dalam selimut, Justin memelukku dari belakang. Ia menempatkan dagunya di leherku. Janggutnya yang sudah tercukur itu terasa tajam dan menggelikan disaat yang bersamaan. Tangannya sudah berada di pinggangku lalu mengelusnya.

"Sungguh aku sangat menyesal, bluebird. Bukan maksudku ingin menamparmu, tadi aku kehilangan kendali. Kau tahu sangat baik, bukan? Maafkan aku," Justin memohon dari belakang. Tangannya kali ini mengelus lenganku yang telanjang dengan lembut. Kurasakan nafasnya yang lembut menerpa pipiku. Namun aku masih terdiam, mengacuhkannya untuk beberapa menit terasa menyenangkan dibanding membunuhnya dan kehilangan Justin selamanya. "Kumohon, bluebird. Aku kesal saat Aaron menjelaskan tentang apa yang terjadi ketika kau dan Grace di luar. Dia bukan anak kita," bisik Justin yang membuatku langsung menyodokkan siku-siku ke dadanya. Ia tergelak.

"Bukan anak kita? Jadi dia anak siapa? Iblis? Inilah salah satu alasan mengapa aku tidak ingin menjadi wanita. Pria sepertimu tidak akan bisa merasakan rasanya sakit ketika melahirkan. Bagus sekali," aku berucap dengan nada sarkasme. Justin mengembuskan nafasnya kembali, merasa sangat menyesal dengan apa yang ia ucapkan. Meski aku tahu ia hanya ingin bercanda atas ucapannya tadi, tetap saja ia menyinggungku.

"Yeah, dia anak iblis,"

"Dan kau iblisnya," aku meringis. "Ironis."

"Sayang," Justin memanggilku lembut. "Maafkan aku. Aku mencintaimu. Kau dengar aku? Aku mencintaimu, okay? Apa kau akan berbalik dan melihatku?"

"Tidak," bisikku menolaknya. Justin merengut. "Tidak menolak," ralatku langsung membalikkan tubuh ke arahnya. Terkadang melihatnya memohon seperti ini sama saja membuatku tersiksa. Ia sangat bisa memberikan suara-suara yang mengundangku untuk memaafkannya -untuk masalah kecil seperti ini-lalu menciumku setelahnya. Matanya menatapku dengan tatapan lembut lalu mengecup bibirku singkat.

"Jangan pernah memukul anakmu, Justin," bisikku menyentuh hidungnya yang mancung. Ujung jariku menelusuri batang hidungnya, namun ia terus menatap mata biruku. "Sekesal apa pun dirimu, jangan pernah memukul anakmu. Grace pasti memiliki alasan melakukan itu," jelasku mengalihkan jari-jariku dari hidung ke belakang kepalanya. Rambutnya halus dan panjang hingga leher sekarang. Mata Justin terpejam merasakan sentuhan-sentuhanku, yeah, aku tahu ia menyukai sentuhan ini. Ia akan cepat tertidur jika aku melakukan ini. Kutumpu kakiku ke atas kakinya, ia mulai memelukku.

"Aku tahu," desah Justin mengembus nafas panjang. Mata harimaunya mulai terlihat. "Maafkan aku telah menamparmu," tangan Justin menyentuh pipiku yang ia tampar dengan lembut. Mataku terpejam. "Aku mencintaimu." Itulah kata-kata terakhir yang kudengar sebelum aku benar-benar masuk ke dalam dunia mimpi.

TOUCHING FIRE'S WATER || HERREN JERKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang