01:

160 5 4
                                    

10 Desember, 2016

Hujan ini membunuhku.

Dahulu, Kara sangat suka hujan. Harum tanah yang terbasahi hujan, hawa sejuk yang dibawanya, hingga alunan tetes demi tetes yang membasahi genting, baginya semua itu terpadu dalam satu harmoni yang mampu menentramkan hatinya dalam situasi apapun.

Tapi, sejak tiga bulan yang lalu, kini setiap tetes hujan dirasakannya seperti jarum yang perlahan-lahan menusuk tiap jengkal dan lapis kulit putihnya itu, memberikan rasa sakit yang semakin memerih di tiap tetesnya. Akhirnya, ia berubah menjadi seorang pembenci hujan, seperti yang dikatakannya dalam hati barusan.

Dan hingga saat ini, semua masih seperti itu.

Kara masih berteduh di depan toko suvenirnya yang baru saja tutup sore ini. Dirinya enggan memaksakan diri berjalan lalu membasah di bawah tetesan hujan. Setiap hujan turun, pikirannya selalu teringat pada kejadian tiga bulan yang lalu itu.

Klakson Transjakarta yang telah sampai di halte itu menyadarkan lamunannya. Bus yang dinantinya sudah tiba. Kara lantas melihat jam tangannya. Sudah hampir setengah enam. Berarti, sebentar lagi bus itu akan berangkat.

Terpaksa, mau tak mau Kara harus berlari menyeberangi jalanan yang ramai, menembus hujan ini. Menerima kenyataan bahwa ia akan naik bus dalam keadaan basah-basahan. Menerima rasa sakit yang akan kembali menguar dan menguat. Ia lantas menutupi kepalanya dengan tas. Setidaknya, bisa mengurangi rasa perih tersebut.

Saat baru saja berlari beberapa langkah, tiba-tiba rintik hujan yang tadi menumbuk tas yang menutupi kepalanya serasa berhenti. Matanya beralih ke atas.

Sebuah payung berwarna biru. Ada yang memayunginya.

Matanya menatap sosok yang berdiri di sampingnya.

Gagang payung besar yang dapat memayungi dua orang itu berada dalam genggaman seorang pria. Dan payung itu kini melindunginya dari hujan.

Pria tersebut sepertinya menangkap bahwa Kara sedang memandanginya. Ia membalas tatapan Kara dan tersenyum.

Sejenak, Kara merasa terikat oleh pesona pria itu. Badannya diam terpaku. Mulutnya membisu. Senyuman itu. Wajah itu... tampan sekali.

"Ehem..."

Suara pria tersebut terdengar begitu berat.

"Emm... Kamu sedang mengejar bus itu, kan?" tanya pria itu.

Kara mengangguk.

"Jadi... bisa kita mulai jalan? Jalanan sudah sepi dan... sebentar lagi mungkin bus itu akan berangkat. Kau tidak mau tertinggal, kan?"

Saking terpananya dengan pria di sebelahnya ini, Kara lupa bahwa sedang mengejar bus. Ia hanya membalas dengan anggukan lalu merunduk, mencoba menutupi wajahnya yang memerah.

Ternyata, kejutan tidak berhenti sampai di situ. Setelah pria itu mengantarkannya, Kara segera mengucap terima kasih.

"Terima kasih atas bantuannya."

Pria tersebut mengangguk pelan dan tersenyum. Ia kemudian melipat payung birunya itu, sambil mengusir rintik hujan yang masih betah menggantung di payungnya.

"Kalau begitu, saya izin berangkat duluan." Kara bergegas naik bus. Ia sayup-sayup mendengar pria itu membalas ucapannya dan mengatakan sesuatu sambil merekatkan tali ikat payungnya. Namun, Kara memilih mengacuhkannya.

Saat sudah di dalam bus dan sedang mencari kursi yang kosong, tak sengaja Kara menengok ke belakang. Ia terkejut menemukan pria itu berdiri di belakangnya.

"Kamu... naik bus ini juga?"

Melihat ekspresi wajah Kara yang kaget, tawa kecil terdengar dari pria tersebut.

"Haha... Iya. Tadinya aku ingin menanyakan apakah benar ini bus yang kamu tunggu. Tapi, kamu sudah naik duluan sehingga... ya, kita bertemu lagi." Pria itu mengangkat kedua bahu seraya tersenyum lebar.

2-0. Kara ingin mengutuk dirinya sendiri yang sudah mempermalukan diri dua kali berturut-turut di depan lelaki yang baru ditemuinya.

"Itu ada dua kursi kosong di sana." Pria itu kemudian menunjuk ke arah kursi di sebuah sudut bus.

Kara mengangguk dan mereka berdua berjalan ke arah kursi kosong itu. Kara langsung mengambil posisi di kursi yang dekat dengan jendela.

"Emm... saya boleh duduk di sini, kan?"

Kara mengalihkan pandangan ke suara itu. Ah, iya. Dia lupa kalau pria itu yang sudah membantunya menemukan kursi kosong. Bodoh! Dia sudah membantuku. Kenapa aku tak menawarkan ia duduk terlebih dulu?

"E-eh, maaf, aku lupa... harusnya kamu dulu yang duduk di sini. Maaf..." Kara merunduk malu.

Lagi-lagi, tawa kecil terdengar dari pria itu. "Tak apa. Tak masalah."

Kara diam saja. Ia terlalu terpaku dengan sikap pria itu yang sama sekali tak tersinggung meski Kara sudah 'melupakannya' dua kali.

"Jadi... saya boleh duduk di sini, kan?" Pertanyaan pria itu memutus keheningan di antara mereka, karena Kara belum menjawabnya.

Kara menatap sebentar laki-laki itu. Dia bukan pria jahat. Apalagi sudah menolongmu dua kali. Persilakan saja ia duduk. Hati Kara seperti berbisik, mengusir intuisi buruk yang selalu menghantuinya setiap hujan turun, terutama terhadap ajakan laki-laki.

Akhirnya, Kara menghela napas dan memberikan jawabnya.

"Boleh." jawab Kara pendek sambil tersenyum. Setidaknya, aku harus tersenyum kepadanya sebagai bukti terima kasih.

Pria tersebut balas tersenyum, lantas ikut duduk setelah menempatkan tasnya di bagasi atas. Kara sendiri setelah itu, melemparkan pandangannya ke luar. Menatap kaca bus yang dipenuhi corak tetes hujan, jalanan yang basah, dan wangi hujan yang begitu menyengat. Sebenci apapun Kara dengan hujan saat ini, ia tak mampu untuk tidak memandang bumi saat hujan turun.

Dirinya selalu bisa merasakan setiap jengkal kejadian yang terjadi selama air langit itu menuruni bumi, karena dalam buku sejarah hidupnya ia pernah tercatat sebagai pecinta hujan. Ingatan dan perasaan itu selalu ingin dibuangnya, karena saat ini bukan lagi sensasi ketenangan yang dihadirkannya. Sayang, benaknya tak mengizinkan hal itu terjadi.

"Emm... dari jalan tadi kita sudah jalan bareng, bahkan sampai naik bus yang sama..."

Ucapan pria itu memecah senyap yang mengudara. Kara mengalihkan pandangan dan menunggu perkataan pria itu.

"... tapi... saya belum tahu namamu."

Kara mulai mengerti apa maksud pria ini.

"Namaku Barram. Boleh aku tahu namamu?" Pria itu tersenyum ramah sambil menjulurkan lengan.

Sejenak Kara diam, menimbang-nimbang apa jawab yang akan diucapnya.

Sejurus kemudian, lengan Kara membalas ajakan salam itu.

"Namaku Kara." Kara membalas dengan senyuman.

Tidak. Dia hanya ingin berkenalan saja. Tidak lebih, tidak kurang.

☂☂☂

Apakah Hujan Ini Benar Membunuhku?Where stories live. Discover now