07:

34 0 0
                                    

Malam selepas makan bersama...

Kara tersenyum-senyum sendiri di kamarnya. Perasaannya begitu berbunga-bunga. Apalagi kalau bukan karena peristiwa di kafe. Ia ingat betul tiap kejadian siang itu.

Selama di kafe siang tadi, mereka berdua berbagi cerita satu sama lain. Kara pun baru mengetahui bahwa Barram tak pernah menjalin hubungan dengan wanita siapapun sebelumnya. Kara sempat tak percaya dengan hal itu. Bagaimana mungkin seorang yang tampan, berbadan tegap seperti Barram tak pernah berpacaran atau setidaknya jalan berdua dengan wanita sebelumnya?

"Kamu... belum pernah pacaran?"

Barram menggeleng.

"Kenapa?"

Barram terdiam sejenak. Ia tahu, bahwa Kara pasti tidak percaya dengan apa yang disampaikannya.

"Karena... err..." otaknya memikirkan alasan yang tepat, "... aku ingin cukup mapan dulu sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan."

Dahi Kara mengkerut. "Maksudmu?"

"Yaaa....." Barram mengelap dahinya berkeringat karena gugup, "... pacaran itu suatu saat bisa berakhir sebagai pasangan hidup. Maka... aku harus mempersiapkan menjadi seorang lelaki yang baik dan bertanggungjawab."

Mendengar jawaban Barram, wajah Kara sempat terkejut. Ia kagum dengan prinsip yang dianut Barram.

"Saat ini, aku rasa sudah mencapai hal itu. Setidaknya, sudah siap untuk memulai hubungan serius. Lalu kemudian... aku... bertemu dengan kamu, Kar."

Wajah Kara tersipu.

"Maaf kalau semua terasa begitu cepat. Sejujurnya... aku merasa nyaman bersamamu. Maaf juga bila aku tak bisa bersikap manis... karena..." Barram diam sejenak, "... seperti kamu tahu... aku... baru pertama kali berhubungan serius dengan perempuan..."

Kara mengangguk pelan, memaklumi. "Tak apa, Bram. Kau cukup menjadi seperti adanya dirimu. Bagiku, itu sudah cukup."

Barram terdiam sejenak, kemudian ia tersenyum lega.

Beberapa saat setelah itu, ganti Barram yang bertanya kepada Kara. Termasuk tentang hujan. Saat mereka sedang menikmati float ice cream, hujan turun. Seperti biasa, Kara menatap derai hujan yang mulai semakin deras.

"Kenapa kamu selalu melihat ke luar setiap hujan turun?"

Kara tersentak. Mendengar pertanyaan itu, membuat Kara terpaksa menggali memori yang sama sekali ingin dilupakannya.

"Ah, itu karena... aku dulu sangat menyukai hujan. Tapi, kali ini... entahlah. Ada sesuatu hal yang membuatku tidak lagi suka kepada hujan."

Barram masih menatap gadis itu. Kara pun menjelaskan semuanya. Mengapa ia dulu menyukai hujan. Hingga saat suatu hari, saat di bawah hujan deras, seorang laki-laki yang sangat ia harapkan, yang ia kira menjadi tempat terakhirnya, pergi begitu saja dengan alasan yang sama sekali tak pernah ia duga. Hujan selalu mengingatkannya pada hal tersebut. Itu pula yang membuatnya sulit menerima pria baru lagi, setidaknya sampai saat ini.

Setelah mendengar jawaban Kara, Barram terlihat lebih diam. Kara sejujurnya tak mengerti tak mengerti apa yang dirasakan lelaki di hadapannya ini. Dirinya mengira, bahwa Barram menjadi ikut terbebani dengan perkataannya barusan. Lantas, Kara pun segera mengalihkan pembicaraan.

"E, eh... Es krimnya udah cair, nih!"

Mata Barram lantas beralih dan baru menyadari es krim di hadapannya nyaris habis mencair. Ia pun segera menyantapnya.

Siang itu, tanpa ada yang mengucap kata cinta, mereka telah sepakat untuk menjalani hubungan. Kara merasa Barram memiliki tujuan yang sama dengannya: tidak ingin hanya pacaran biasa. Itu yang membuat Kara tak ragu membuka hatinya pada Barram, meski lagi-lagi, ia belum tahu banyak tentang lelaki tersebut, selain nama lengkapnya: Barram Adhirajasa.

Mengingat semua itu, membuat wajah Kara yang sekarang sedang memeluk guling di atas kasurnya bersemu merona. Ia juga tersenyum kecil saat Barram menyebut dirinya lelaki yang 'polos' serta tak romantis. Justru bagi Kara, karena semua 'kepolosannya' itu yang membuat Barram terlihat romantis, melebihi laki-laki manapun di drama-drama Korea.

Kara tiba-tiba teringat sesuatu. Saran dari Nisa saat di toko. Benar, mungkin siang tadi Barram sudah menceritakan banyak hal tentang dirinya. Namun, Kara merasa perlu memastikannya ke orang lain agar bisa lebih meyakinkan hatinya. Bukan karena Kara tak yakin pada Barram, ia hanya tak ingin kejadian Edo terulang lagi.

☂☂☂

Apakah Hujan Ini Benar Membunuhku?Where stories live. Discover now