15:

57 0 0
                                    

Barram pernah mengatakan bahwa rumah bukan 'tempat kembali' untuknya.

Dan dalam benaknya, pernyataan itu semakin tertanam dalam.

Semua kesenangan yang dibawanya dalam surat pernyataan lulus wawancara kerja menguap dan tergantikan rasa marah yang membara. Begitu membuka pintu rumahnya, Barram menemukan ayah sedang bercumbu dengan wanita lain di rumahnya sendiri!

Mendengar suara pintu terbuka, ayah kaget bukan main. Apalagi saat mengetahui Bram telah menangkap basah dirinya sedang bercumbu panas bersama seorang wanita di ruang tamu. Mata Barram menyala-nyala. Hatinya benar-benar perih, melihat ayahnya sudah amat keterlaluan memperlakukan dirinya, apalagi pada Bundanya.

"Kau... kau sungguh keterlaluan! Bangsaaatt!"

Mendengar ada suara ribut, Bunda yang tadi tertidur lantas keluar dari kamar. Matanya terbelalak saat menemukan suaminya sedang bersama wanita lain.

"A... ayah?" Bunda seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan.

Tertangkap basah, ayah sempat panik. Sebelum tiba-tiba raut wajahnya berubah, tergambar sebuah senyum bengis.

"Kenapa?! Kalian mau apa?!"

Barram masih menahan amarahnya. Ia ingin menghajar habis ayahnya itu, tapi diurungkan saat melihat Bunda yang berlinang air mata. Barram lantas menghampiri dan merangkul Bunda.

"Marah? Silakan!! Aku juga tak pernah puas dengan kalian! Kau, Manda... Hah, kau terlalu lemah sebagai seorang wanita! Tak pernah bisa memuaskanku di atas ranjang! Sedangkan kau, anak bajingan... Tak tahu diuntung! Kalau bukan karena aku, kau takkan bisa seperti sekarang!"

Darah Barram semakin mendidih mendengar perkataan ayahnya barusan.

"Ayo, sayang... kita pergi dari rumah ini. Aku bosan melihat mereka."

"Ah, iya Mas Levi." wanita itu tersenyum senang mengikuti ajakan ayah, kemudian mereka berdua pergi meninggalkan rumah.

Barram tak pelak merasakan kekecewaan mendalam kepada ayahnya. Selain karena sikap buruknya itu, juga karena ia tak bisa memberikan pelajaran pada lelaki tersebut. Sementara itu, dalam dekapan Barram, Bundanya terus menangis. Barram melihat lengan Bunda yang semakin penuh memar. Ayah pasti sudah menyiksanya habis-habisan lagi saat dirinya tak ada di rumah. Barram semakin heran atas tingkah laku Bunda. Mengapa Bunda harus menangisi lelaki seperti dia?

"Bunda, kenapa Bunda menangis?"

Dalam isaknya, Bunda menjawab pertanyaan Barram.

"Karena dia... dia ayahmu, Ram...."

Barram tak habis pikir. Setelah melihat apa yang barusan terjadi, Bunda masih menganggap lelaki itu adalah kepala keluarga ini.

"Bunda?! Dia itu tak pantas disebut ayah! Kenapa Bunda tidak ikut denganku saja?! Kita pergi jauh, tinggalkan lelaki itu!"

Bunda menggeleng pelan.

"Tidak, Ram. Dia itu ayahmu. Ayah yang telah membesarkanmu, hingga kau sukses seperti ini. Kau pulang untuk memberitahukan kau diterima kerja, bukan?"

Barram masih tak mengerti, mengapa Bunda masih saja bersikap baik kepada ayah. Terlalu letih memikirkannya, ia pun hanya diam dan membiarkan Bunda terus menangis dalam pelukannya.

☂☂☂

"Aku sudah tak sanggup lagi, Qy."

Reqy yang saat itu tertidur di atas pangkuan Barram, mendengarkan semua keluhan 'teman'-nya itu. Barram saat itu baru saja sampai di kos. Hatinya kalut dan tak tenang harus meninggalkan Bunda sendirian. Seandainya sedang tidak sibuk penelitian, ia lebih memilih menemani Bunda di rumah.

"Ayah gue brengsek! Dia bajingan!"

Reqy kemudian berdiri, lalu pindah ke belakang Barram kemudian memeluknya dengan lembut.

"Apa dia tidak pernah merasakan sakitnya jadi gue dan Bunda?! Laki-laki itu benar bajingan!"

Reqy tak menjawab apapun. Tangannya perlahan membelai badan Barram, lantas beralih ke wajah lelaki itu. Seperti biasa, sentuhan Reqy seperti 'candu' bagi Barram. Pikirannya yang sudah 'kering' karena berbagai tekanan, seperti menemukan 'mata air' yang segar. Ia lantas memandangi lelaki yang sedang berusaha membangkitkan hasratnya itu.

"Reqy...."

Mereka saling bertatapan. Nyala mata Barram seperti menyiratkan sebuah keputusasaan.

"... bisakah kau memberikan ketenangan untukku?" tanya Barram lirih.

Reqy tersenyum lebar.

"Apapun akan kuberikan untukmu, Ram."

Kemudian, entah siapa yang memulai, bibir mereka berdua mulai saling berpagutan. Hingga akhirnya mereka terbaring di atas kasur dan hanya mereka berdua yang tahu apa yang kemudian terjadi.

☂☂☂

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 30, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Apakah Hujan Ini Benar Membunuhku?Where stories live. Discover now