03:

55 0 1
                                    

Namun, saat keputusasaan hampir habis menerkamnya, Jaguar putih datang merapat ke tokonya. Itu mobil Edo.

Lelaki itu kemudian keluar dari mobil, sambil membawa payung. Kara tersenyum menyambutnya. Mereka kemudian berpelukan.

"Lama?" tanya Edo.

Kara menggeleng. "Nggak apa-apa."

Edo tersenyum. "Bagaimana kabarmu?"

"Aku? Ya... seperti yang kamu lihat. Baik-baik saja." jawab Kara.

Edo melonggarkan pelukannya. Namun matanya masih tetap memandang gadisnya itu.

"Kamu.... jadi lebih cantik."

Kara menunduk tersipu. Mau tak mau, harus ia akui bahwa Edo masih memiliki ruang di hatinya. Seorang lelaki yang sangat romantis.

Tapi tanpa disadari Kara, mata Edo tak berhenti menatapnya. Tatapan Edo kini bukan lagi tatapan rindu seorang lelaki yang ingin bertemu kekasihnya, tetapi tatapan mata jalang, yang menangkap perubahan fisik Kara tiap sudut demi sudut.

"Kamu... jadi lebih sempurna... lebih seksi...."

Kara yang tadi merunduk, tiba-tiba mengangkat kepalanya. Dahinya berkerut. Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

"A-apa katamu?"

Edo tersenyum lagi. Namun kali ini senyumannya berbeda. Sebuah senyuman nakal yang 'membunuh'.

"Kamu lebih seksi, membuatku sangat menginginkanmu saat ini juga."

Suara Edo yang terdengar berat itu mampu membelah orkestra derai air hujan yang bertumbukan keras. Kara benar-benar jelas mendengarnya.

"E-Edo?"

Edo meletakkan payungnya, lalu perlahan melangkah mendekati Kara. Firasat Kara menangkap sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia melangkah mundur, namun terhenti saat punggungnya bertemu tembok toko. Melihat itu, Edo lantas mempercepat langkahnya agar dapat membatasi gerak Kara.

Kini, mereka saling berhadapan. Sangat dekat. Mata Edo memandang tajam mata Kara. Lantas beralih ke hidung, mulut, leher, hingga menyapu setiap bagian tubuh Kara yang terlihat olehnya. Hidung lelaki itu mampu mencium wangi tubuh Kara, yang membuatnya semakin gelap mata. Kara menelan ludah. Kini, ia ketakutan. Dirinya berharap Edo takkan berbuat macam-macam di sini.

Tapi, harapannya tak berbalas. Sejurus kemudian, Edo langsung mendekap tubuh Kara. Tangannya bermain-main di atas tubuh gadis itu. Bibirnya dengan agresif menyerang leher Kara. Berusaha memaksa agar kali ini Kara takluk di tangannya.

Kara kaget, tak mengira bahwa Edo akan berbuat senekat ini di depan umum.

"Apa-apaan sih kamu! Berhenti!"

"Ah, sebentar saja, sayang... Aku ini sudah kangen banget sama kamu..."

Tangan Edo tak berhenti menggerayangi Kara. Ia terus mencium leher Kara, seakan-akan ingin melumatnya.

"Aku bilang berhenti!" Kara berteriak semakin keras.

Namun, tangan Edo tak berhenti. Lelaki itu benar-benar gelap mata. Benaknya hanya memikirkan, bagaimana bisa menikmati gadisnya itu sekarang juga setelah berbagai penolakan yang dihadapinya. Tak peduli bahwa mereka berdua sedang di luar toko, yang tepat berada di pinggir jalan raya. Edo berpikir, hujan deras ini takkan membuat orang-orang memperhatikan apa yang mereka lakukan.

"Aku rindu kamu, sayang... Aku ingin kamu...." bisik Edo lembut di telinga Kara.

Sejujurnya bisikan, ciuman, ucapan serta sentuhan Edo membuat Kara hampir kehilangan kendali. Apalagi, bukan sekali dua kali Edo seperti ini. Beruntung, akal waras Kara masih mampu memenangkan pertarungan di hatinya.

Kara berusaha mengusir jari jemari Edo yang semakin liar merayapi tubuh bagian atasnya. Risih, ia pun meluapkan emosinya.

"Berhenti!!" saat berhasil meloloskan tangannya, Kara segera mendaratkannya tepat di pipi Edo. Sebuah tamparan keras.

Spontan, Edo menghentikan serangan dan melonggarkan pelukannya. Ia memegangi pipinya yang terasa perih. Mata Edo mendelik tajam menatap Kara dengan menyala-nyala.

"Sial! Apa kamu sudah tak sayang aku, Kar?!"

Kara tak menjawab. Ia sejujurnya masih sayang dengan Edo, apalagi bila mengingat masa awal mereka berpacaran. Tetapi, perangai Edo yang seperti ini, membuat dirinya menjadi ragu. Edo sudah tak mampu bersabar lagi. Ia menggenggam bahu Kara dengan kasar lalu mendorongnya ke luar teras toko. Sekujur badan mereka pun basah akibat guyuran hujan yang deras.

Melihat lekukan tubuh Kara yang semakin jelas karena pakaiannya basah, membuat hasrat Edo semakin memuncak. Kali ini, lelaki itu benar-benar lepas kendali. Ia kembali mendekap erat Kara, tak peduli dengan dinginnya hujan dan kenyataan bahwa mereka sedang di depan umum. Selain suara hujan deras ini yang akan menenggelamkan sekeras apapun teriakan Kara, tak banyak orang yang akan mampu melihat jelas apa yang terjadi di depan toko. Itu yang membuat Edo berani melakukan ini semua. Ia pun bermaksud membawa Kara masuk ke dalam mobilnya setelah Kara tak mampu lagi melawan, lalu menyetubuhinya di sana.

Kara memekik kencang. Tetapi, serangan Edo semakin brutal. Bibirnya semakin agresif memberikan kecupan di sekitar leher dan wajah Kara. Tak ingin dirinya dipermalukan di pinggir jalan seperti ini, Kara berusaha sekuat tenaga melepaskan dirinya. Ia mendorong balik Edo, bahkan menendang kaki lelaki itu.

Edo lantas meringis kesakitan. Gerakannya pun terhenti. Wajahnya memerah karena kesal dan marah. Tak ingin mangsanya lepas begitu saja, lelaki itu bersiap menyerang lagi hingga memaksa hingga Kara bertekuk lutut padanya. Namun, tepat saat itu, ponselnya berbunyi. Saat mengetahui siapa yang menghubunginya, tiba-tiba senyum tergambar begitu saja di wajahnya.

"Halo, sayang..."

Di bawah guyuran hujan deras itu, Kara terkesiap. Sayang? Ia yakin, bahwa ia tidak salah mendengar ucapan Edo barusan.

"Ah, iya. Ini aku ke sana sekarang... Iya... Aku juga udah kangen banget sama kamu. Nanti di rumah aja, ya... Love you, too." Setelah itu, Edo mengakhiri percakapannya dengan sebuah kecupan.

Kara benar-benar terkejut melihat Edo yang amat mesra saat menjawab panggilan barusan. Siapa yang barusan menelepon Edo? Pikirannya serba kacau. Ia tak mengira Edo menduakannya. Atau jangan-jangan ini hanya mimpi?

Melihat wajah Kara yang gusar, tak ada sedikitpun rasa iba dari Edo. Ia malah mengeluarkan kata-kata yang amat membuat gadis itu terluka.

"Kaget? Tak usah kaget!! Mulai sekarang, kita udahan! Putus! Aku muak denganmu! Punya cewek tapi nggak bisa dipakai. Buat apa?"

Kara diam mematung mendengar ucapan Edo barusan. Tak percaya bahwa ia benar-benar mendengar ucapan seperti itu dari laki-laki yang ia cintai.

Edo melengos pergi dan membuka pintu mobil.

"Pulang saja sendiri! Dasar wanita sok jual mahal! Kamu sebenarnya senang kan dipegang-pegang? Dasar pendusta! Hahaha..."

Kara masih diam saja. Sesungguhnya, dalam hati Kara gejolak amarah terdengar begitu menggema. Tapi, hatinya masih amat terguncang, tak percaya bahwa Edo akan berbuat seperti ini.

"Mending aku cari cewek lain yang bisa diajak 'main'. Bye." Edo pun lantas memacu mobilnya, pergi meninggalkan toko itu. Juga meninggalkan Kara, yang akhirnya tak kuasa lagi membendung tangisnya di bawah hujan itu. Hal itu yang membuatnya membenci hujan. Hujan mengingatkannya pada pengkhianatan, sakit hati yang tak terperi.

Tanpa sepengetahuannya di seberang jalan sana, Barram di bawah payung birunya menyaksikan segenap peristiwa itu. Setiap detiknya, setiap kejadiannya. Tapi, saat itu, Barram ragu dan enggan melangkahkan kaki karena Kara tentu tak mengenal siapa dirinya. Sehingga, janggal bila ia tiba-tiba datang dan menemani gadis itu.

Hingga akhirnya, tiga bulan berselang, Barram memutus segala keraguannya dan memayungi wanita itu dengan payung birunya. Lalu mencoba memulai hubungannya dengan Kara.

☂☂☂

Apakah Hujan Ini Benar Membunuhku?Where stories live. Discover now