04:

37 0 0
                                    

16 Desember 2016

Tanpa disadari, perasaan ragu dan risih Kara terhadap Barram mulai menguap. Lelaki itu rupanya sangat supel dan sangat nyaman diajak mengobrol. Kara bisa merasakan kehangatan dan keramahan Barram saat mereka saling berbincang. Sehingga ia merasa seperti bertemu teman sendiri, padahal mereka baru saja berkenalan hari ini.

Sebelum Kara meninggalkan bus, Barram meminta nomor ponselnya dengan tujuan agar mereka tidak lost contact setelah pertemuan ini. Tanpa pikir panjang, Kara setuju. Sejak saat itu, mereka saling mengirimkan pesan, juga sesekali menelepon. Perlahan tapi pasti, hubungan mereka semakin dekat. Meskipun baru beberapa hari mereka bertemu.

Hari ini, Barram terpikir untuk mengajak Kara makan bersama. Apalagi, mereka belum bertemu lagi semenjak pertemuan pertama itu. Ia berharap, ada waktu berdua dengan Kara agar mereka berdua bisa saling mengenal satu sama lain.

☂☂☂

Pagi itu, ponsel Kara berdering. Tanda pesan masuk. Dari Barram.

Bisa ditebak, saat membaca pesan Barram, sudah tentu hati Kara senang dibuatnya.

Kar, siang ini kosong? Atau sorean ngga apa-apa deh kalau lagi sibuk. Mau makan bareng?-Bram-

Ya, Kara memanggil Barram dengan nama 'Bram'. Baginya, lebih simpel dan mudah diingat. Barram sendiri tak masalah dengan hal tersebut. Ia malah senang, karena hanya Kara yang memanggilnya dengan nama tersebut. Kara pun segera membalas pesannya.

Emm... aku sebenarnya udah makan sih tadi. Kalau sore habis kerja aja gimana? Jam empatan. Biar laper lagi. Hehehe...-Kara-

Tak lama, balasan Barram pun muncul.

Fine. Aku sih terserah aja. Jam 4 ya. Nanti aku jemput di toko. See you.-BramOkay. See you too.-Kara-

Balas membalas SMS itu membuat Kara mendadak jadi senyum-senyum sendiri di meja kantornya, hingga melupakan kenyataan bahwa ia tidak sendirian di kantor.

"Hei, ngapain lo senyum-senyum sendiri?"

Kara terkejut mendengar suara Nisa, sahabat sekaligus partner kerjanya dalam bisnis toko suvenir dan asesorisnya ini

"Ayo cerita. Ada apa dengan seorang Kara Dilara, yang sudah berbulan-bulan bermuram durjana, tiba-tiba akhir-akhir ini jadi senyum-senyum sendiri?" tanya Nisa yang kemudian berpindah duduk di depan Kara. "Lo masih waras, kan?"

"Sialan. Masih, lah." Kara tertawa kecil menanggapi gurauan sahabatnya itu.

"Ahaha... syukur deh. Gue sih senang banget, akhirnya Kara bisa kembali kaya gini lagi. Pusing gue menghadapi lo yang uring-uringan terus. Tapi, gue juga kesel... Masa' sahabatnya sendiri ngga dikasihtahu ada apa yang terjadi?"

Kara tersenyum simpul. Ia memang belum memberitahu apa-apa soal Barram kepada Nisa.

"Menurut lo, kenapa gue jadi senang seperti ini?"

"Ya elah, malah nanya balik nih bocah. Kok jadi main tebak-tebakan? Harus banget dijawab nih?" sungut Nisa.

Kara mengangguk mantap.

"Menurut gue sih, emmm..." Nisa pun diam sejenak dan memikirkan jawaban yang tepat. "Lo habis kenalan sama cowo baru dan lo tertarik dengan dia, dia pun kayaknya tertarik dengan lo. Tapi, kayaknya gue ngga begitu yakin karena..."

"Ting-tong! Anda tepat sekali!" Kara langsung memotong tebakan Nisa.

Nisa kaget mengetahui bahwa tebakannya tepat.

"Heh? Serius lo lagi dekat sama cowo lagi?"

Kara mengangguk.

"Setelah... setelah kejadian tiga bulan yang lalu itu, lo sudah bisa move on?"

"Nisa... please deh, berhenti..."

"Eh, sori. Tapi, lo sendiri yang bilang udah ngga mau lagi main-main soal cinta." Nisa memotong ucapan Kara.

"Iya sih. Tapi kalo ini, kayaknya sih gue yakin kalau dia cowok baik-baik." Kata Kara.

Nisa kemudian meluruskan pandangannya, mencondongkan badannya ke arah Kara.

"Lo serius, Kar? Memangnya dia seperti apa sih, sampai lo memutuskan membuka hati lagi?"

"Ya dia baik. Ganteng. Ramah... Ya... gue baru tahu segitu aja. Baru semingguan ini kenal dengan dia."

"Hah? Baru seminggu?" Nisa kaget. "Ckckck... Edo juga dulu kaya gitu, keleus..."

"Nisa. Please. Berhenti nyebut nama itu di depan gue." suara Kara memberat. Tampak ia sedikit tersinggung.

"Eh, sorry. Bukan maksud gue untuk ungkit itu. Sorry..." Nisa menangkupkan kedua tangannya.

Kara mengangguk maklum. "It's okay. But, don't do it again."

Nisa tersenyum dan mengacungkan jempolnya.

"Ini cuma saran gue sih. Mending lo cari tahu lagi deh tentang... by the way, namanya siapa?" tanyanya.

"Barram."

"Hmm... Barram. Kerjaannya apa?"

"Dia jadi staf HRD di Telkom."

"Wah. Lumayan juga tuh cowok. Eh, seingat gue, bukannya lo punya teman di sana juga? Siapa itu... si Vania?"

"Ah, iya."

"Nah, lo bisa tanya banyak tuh sama si Vania soal Barram. Setidaknya, bisa menjadi pertimbangan lo untuk memutuskan apakah Barram benar-benar baik buat lo." saran Nisa.

Kara mengangguk. Usul Nisa terdengar cukup masuk akal. Dia tidak ingin lagi hatinya disakiti oleh laki-laki. Cukup sudah Edo sebagai pelajaran terakhir untuknya.

"Bener juga. Thanks ya Nis."

"Ah. Gue cuma mau lo ngga salah milih lagi. Siapa yang paling peduli sama lo kalo bukan gue sama keluarga lo." Nisa tersenyum sambil mengacungkan jempolnya lagi.

☂☂☂

Apakah Hujan Ini Benar Membunuhku?Where stories live. Discover now