10:

38 0 0
                                    

17 Desember, 2016

"Kemana aja? Susah banget sekarang kalau mau ngehubungin kamu?"

"Aku kerja."

"Kerja? Masa kerja ngga ada istirahatnya? Ngangkat telepon kan cuma sepuluh menit bisa, Ram?"

"Iya, sori. Akhir-akhir ini sibuk."

"Ah, terserah. Pokoknya, hari ini aku tunggu di rumah. Bawa martabak seperti biasa. Kita perlu bicara."

Barram menghela napas panjang mendengar suara gerutu di seberang telepon sana.

"Iya..."

"Ya sudah. Bye."

Barram menyandarkan dirinya di kursi kerjanya. Setelah terus-terusan menghindar, akhirnya ia terpaksa harus mengangkat panggilan dari orang yang sudah berkali-kali menghubunginya sejak beberapa hari lalu.

Sejujurnya, setelah mengenal dan jalan bersama Kara beberapa minggu terakhir ini, semua perhatian Barram terpusat kepada Kara. Termasuk, saat ia bekerja. Membayangkan hal-hal indah yang akan dilaluinya bersama Kara kelak, selalu mampu membuat Barram semangat. Ia seperti menemukan kehidupan baru. Itu juga yang membuatnya semakin rajin memperbaiki diri, termasuk ibadah hariannya.

Hingga akhirnya, panggilan tadi mengacaukan semuanya. Sebuah rahasia di balik bagian depannya yang amat sempurna. Cepat atau lambat, mau tak mau, Barram harus menyelesaikan masalah rahasia ini dan juga menceritakannya pada Kara. Namun ia bingung, bagaimana caranya?

"Ngelamun aja, lo!"

Barram kaget saat seseorang tiba-tiba menepuknya sambil berteriak. Ternyata Vania.

"Ah, bikin kaget aja lo, Van."

"Hahaha... ngelamunin apa sih? Ngelamunin sambil mikirin Kara ya?" selidik Vania.

Barram terkejut. "Heh? Kok kamu tahu soal Kara?"

"Hehehe... kaget ya, lo?" Vania lantas duduk di depan Barram.

"Lo kok bisa tahu Kara?" Barram kembali bertanya, penasaran bagaimana bisa Vania tahu soal ia dan Kara.

"Hahaha... Ya iyalah, gue tahu. Kita dulu satu kampus, meskipun beda jurusan dan nggak akrab-akrab amat. Gue kaget, kemarin dia nelpon gue." jawab Kara.

"Sekampus? Jadi... Kara teman lo?"

"Bukan teman akrab, sih."

Barram masih tak percaya dengan semua ini.

"Muka lo nggak usah kaget gitu, deh. Lo nggak penasaran apa kenapa dia telepon gue? Padahal kita berdua nggak pernah ngobrol lama-lama. Gue aja nggak nyimpen nomor dia. Kaget juga begitu tahu dia masih nyimpen nomor gue." Vania berbicara cepat, coba menyadarkan keterkejutan Barram.

"Ngapain dia nelpon? Dia tanya-tanya tentang gue, ya? Lo jawab apa?"

Vania tertawa puas melihat Barram yang sangat ingin tahu percakapannya dengan Kara semalam.

"Hahaha... Iya, dia nelpon gue, tanya-tanya soal lo. Gue jawab, gue suka sama lo."

Barram kaget dan hampir lepas kendali kalau saja tidak ingat Vania adalah seorang wanita. "Heh? Serius lo? Jangan macam-macam!"

Satu kantor lantas menengok ke arah mereka berdua saat mendengar teriakan Barram.

"Sori, sori." Barram jadi salah tingkah karena kelepasan bicara. "Lanjut lagi kerjanya. Nggak ada yang aneh-aneh."

Beruntung, para karyawan tak tertarik untuk menelisik lebih jauh apa yang sedang terjadi.

"Lo ribut sih."

"Lo juga, Van. Bisa-bisanya ngomong gitu sama Kara."

"Lah, pada kenyataannya, bener gue suka sama lo. Gue kan udah ngomong berkali-kali."

"Tapi, ya nggak gitu juga kali, Van. Gue kan udah jawab berkali-kali juga. Gue lebih suka lo jadi partner kerja gue." Barram mulai tak sabaran. Ia mengira pasti Kara akan salah paham, mengira ada sesuatu antara ia dan Vania.

"Santai aja, Ram. Gue emang bilang kalau gue suka sama lo. Tapi, gue juga udah bilang kalau gue udah punya cowok!"

Barram sekali lagi kaget. Vania punya pacar?

"Sejak kapan lo punya cowok?"

Vania tertawa. "Baru sebulan. Gue males ceritain ke lo. Lagian lo sibuk juga."

Barram diam sejenak, sebelum ia ingat bahwa ingin tahu apa saja yang ditanyakan Kara dan apa yang dijawab Vania.

"Oke. Lo belum jawab pertanyaan gue, Van. Kara nanya apa aja? Lo nggak jawab yang macam-macam, kan?"

Vania memasang senyum jahil yang membuat Barram mulai curiga.

"Banyak. Kalau gue jelasin, habis waktu istirahat gue. Salah satunya, gue sempat jawab kalo lo... banyak yang deketin... terus sering jalan berduaan sama cewek..."

Barram lantas melemparkan pulpennya, namun Vania masih bisa menghindar dan tertawa melihat wajah Barram yang kesal.

"Hahaha... santai aja, Ram. Tapi, beneran gue ngomong kaya gitu, kok."

"Lo, ya... bener-bener, dah!"

"Tapi, sepertinya itu nggak akan merubah perasaan Kara sama lo."

Ucapan terakhir itu membuat perasaan Barram langsung berubah.

"Gue sempat bikin psywar dengan dia. Tapi, kayaknya dia nggak takut. Kara benar-benar cinta sama lo."

Barram terdiam. Meskipun ia bingung, psywar apa yang dimaksud Vania.

"Kalau kemarin dia takut atau pura-pura berani, gue masih bisa jadiin lo pacar kedua gue. Tapi, sepertinya sekarang gue nggak akan bisa."

"Lo sebenarnya ngomong apa aja sih sama dia?" tanya Barram penasaran.

Vania malah kembali tertawa. "Kan udah gue bilang. Panjang. Ini waktu istirahat kita udah mau habis. Yang penting, lo sekarang udah tahu kalau Kara beneran cinta sama lo."

Barram masih belum puas, tapi ia tahu bahwa Vania takkan memberikan jawaban lebih dari itu.

"Ya udah deh, terserah lo. Tapi, kalau gue nanya yang lain boleh?"

Vania merengut heran. "Mau nanya apa, lo? Masih soal Kara?"

Barram mengangguk.

Vania menggeleng. "Terus terang aja, lo mau tanya apapun tentang Kara, gue nggak akan bisa jawab banyak. Gue nggak dekat dengan dia. Kita dulu cuma temenan. Selain dia cantik, manis dan mandiri, gue nggak tahu lagi." jawab Vania pendek.

"Kalau mau..." Vania lantas mengambil ponselnya, lalu mencari sesuatu. "Lo bisa tanya Nisa, sahabatnya. Kebetulan, gue masih punya kontak dia. Kita dulu pernah satu organisasi waktu di kampus. Dulu emang gue sempat kontak sama Kara pas mau beli suvenir, tapi sebenarnya nggak pernah gue save." Vania menunjukkan layar ponselnya kepada Barram.

Tanpa pikir panjang, Barram langsung menyimpan kontak Nisa. Ia baru menyadari, kenapa ia baru mencari nomor sahabat gadisnya itu sekarang.

"Thanks, Van. Meskipun gue masih kesel gara-gara mulut lo yang gacor nggak karuan itu."

Vania tertawa saat mengetahui Barram rupanya masih kesal.

☂☂☂

Apakah Hujan Ini Benar Membunuhku?Where stories live. Discover now