06:

34 0 0
                                    

Mendengar pertanyaan Barram barusan, tak ayal membuat perasaan Kara menjadi tak menentu, dag dig dug. Namun, Kara mencoba tetap bersikap tenang. Tak ingin Barram menangkap kegelisahannya, ataupun mengetahui ia menyimpan sebuah harapan lain atas pertanyaannya barusan.

"Boleh. Mau nanya apa?" Kara menghentikan makannya, lalu menatap Barram lekat-lekat sambil tersenyum.

Ditatap seperti itu, membuat Barram menjadi gugup. Ia mencoba menghela napas untuk meredakan kegugupannya.

"Kamu... punya cowok ngga ya, Kar?"

Bukan tanpa alasan Barram tiba-tiba nekat bertanya seperti itu, meskipun baru seminggu berkenalan dan ini kencan pertamanya, Barram merasa sudah benar-benar cinta kepada Kara. Hatinya berkata ia memerlukan gadis itu untuk membantu dan menemani hidupnya. Memandang gerak-geriknya selama tiga bulan, bagi Barram sudah cukup untuk meyakinkan hatinya sendiri. Meskipun, ia mengakui banyak yang belum diketahuinya tentang Kara. Tapi itu tak masalah. Setidaknya esok lusa ia bisa bertanya pada Nisa. Juga ia bisa sering-sering berkunjung ke rumahnya.

Kali ini, rasa gugup beralih menyelubungi Kara. Tentu ia tak menyangka, Barram akan bertanya to the point seperti itu. Lagi-lagi, Kara coba menyembunyikan semua itu karena Barram menanti jawabannya.

"Punya..."

Barram terkejut bukan main. Tentu saja itu bukan jawaban yang diinginkannya. Sepengetahuan Barram, sejak kejadian itu Kara tak pernah terlihat bersama laki-laki lain. Atau jangan-jangan, sudah ada yang mendekati Kara sebelum aku? Mendadak, perasaan kalah melingkupi hatinya.

"... tapi bohoonngg!!" tambah Kara sambil tersenyum lucu.

Bohong? Jadi maksudnya?

"Ih, wajahmu kok jadi kaku gitu, sih?" ujar Kara gemas.

"Bentar, bentar..." Barram tampak sedikit gelisah karena belum mengerti maksud Kara. "Aku bingung nih. Maksudnya bohong, berarti... kamu masih... single?" tanya Barram memastikan.

Kara mengangguk sambil tersenyum.

"Fuhh... Aku kira beneran punya cowok." gumam Barram pelan sambil menghela napas, lantas tersenyum kecil karena ternyata harapannya belumlah pudar.

"Memangnya kenapa kalau belum punya?" tanya Kara lagi. Sebenarnya Kara sudah tahu apa maksud Barram, sehingga dapat menerka jawaban Barram atas pertanyaannya barusan. Namun, ia tergelitik ingin menggoda lelaki itu.

"Ya... emm..." Barram salah tingkah ditanya seperti itu. Ia mencoba meneruskan jawabannya.

"... Jadi kalau aku deketin kamu... aku ngga perlu takut ada yang marah. So, emm.... aku bisa... serius denganmu." lanjut Barram to the point, meski terbata-bata.

Mendengar ucapan Barram barusan, wajah Kara jadi memerah. Wajar, karena ia sendiri mengagumi lelaki itu. Tapi, sisi pikiran Kara yang lain menyadarkannya agar jangan mudah terbuai kata-kata Barram barusan. Ia harus menguji apakah Barram benar bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Kamu beneran mau serius denganku?"

Barram menelan ludah sejenak mendengar pertanyaan Kara. Ia mengangguk pelan. "Ya, aku serius."

Kara diam sejenak.

"Ngareeppp!!!"

Barram terkejut mendengar tanggapan Kara barusan. Apalagi wajah Kara terkesan ketus.

Kara pun mendekatkan wajahnya, menatap laki-laki di hadapannya itu.

"Kamu harus nunjukkin dulu dong kalau beneran mau serius. Kata-kata saja ngga penting buat aku. Apalagi kita belum lama saling mengenal." Kara mengucapkan semua itu dengan nada ketus yang dibuat-buat agar Barram merasa bahwa yang dikatannya barusan itu benar- benar serius.

Barram diam sejenak. Rencana Kara berhasil. Lelaki itu sepertinya menanggapi permintaannya dengan sungguh-sungguh.

"Gitu ya? Jadi aku harus ngapain kalau mau serius denganmu?" tanyanya balik sambil menatap Kara dengan raut wajah sedikit kebingungan. Kara sedikit banyak dapat merasakan keseriusan Barram. Sejujurnya, ia sempat ragu untuk mengatakan semua ini. Terutama karena mereka baru sekitar satu minggu ini saling berkenalan. Tapi, hati Kara berkata bahwa sudah waktunya ia coba membuka diri.

Gadis itu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Barram. Semoga aku tak salah memilih kali ini.

"Bram harus bisa meyakinkan Kara dulu, dong. Kita baru bertemu satu minggu, loh! Terus, setelah itu Bram juga harus datang ke rumah Kara, ketemu ibu dan bapak Kara. Kenalan sama mereka berdua. Ya, pokoknya Kara pengen lihat kesungguhan Bram. Tapi, Kara minta ngga ada yang dibuat-buat dan ngga ada yang ditutup-tutupin. Kara paling ngga suka laki-laki yang suka bohong, bermuka dua, atau apalah itu. Kara ngga mau hubungan kita cuma cinta-cintaan sesaat, karena di usia yang sekarang, Kara ngga butuh itu. Kalau Bram mau serius, maka Bram harus memenuhi semua permintaan Kara barusan. Kalau Bram ngga sanggup, lebih baik sekarang kita pulang dan berpisah saja."

Barram terdiam cukup lama mencerna semua perkataan Kara barusan. Sementara, Kara menunggu apakah Barram benar-benar berani memenuhi semua permintaannya. Tentu dalam harapannya, Barram bersedia melakukannya.

"Baiklah..." Barram akhirnya angkat bicara.

"Kalau begitu, mulai sekarang aku akan bekerja sungguh-sungguh. Aku akan sungguh-sungguh memperhatikanmu. Setelah itu, nanti juga aku akan datang bertemu orangtuamu... Dan.... aku juga akan..." Barram berhenti sejenak. Ada sesuatu dalam pikirannya yang mengganggu. Sebuah rasa bersalah.

Tak ingin Kara menangkap kegelisahannya, ia menghela napas dan memilih mengabaikannya. Aku tak boleh ragu. Aku tak mau melepaskannya. Aku membutuhkannya. Barram kemudian menggerakkan tangannya, lalu menggenggam tangan gadis di hadapannya itu.

Merasakan genggaman Barram di tangannya yang tiba-tiba itu membuat Kara terkejut. Genggaman itu terasa hangat, menelisik pelan ke ruang dalam hatinya. Kara sempat mencoba mengenyahkan perasaan itu, takut bahwa itu hanyalah perasaannya sendiri.

Namun, keheningan yang menggantung seperti berbisik padanya, mengatakan bahwa itu tak hanya perasaannya belaka. Rasa hangat itu dikirimkan Barram, dari segenap rasa kesungguhan pria itu. Bukan hanya bunga hatinya saja. Hingga akhirnya, saat Barram menuntaskan perkataannya, Kara mampu merasakan benar bahwa pria dihadapannya itu sedang tidak main-main.

".... berusaha jujur padamu, Kar."

Melihat semua itu, memandang bola mata pria di depannya yang menyiratkan kesungguhan, merasakan tangannya yang digenggam begitu hangat dan erat, hati Kara mutlak tersentuh. Air mata haru perlahan menyeruak di kelopaknya. Mau tak mau, harus ia akui bahwa dirinya telah terpikat pada pria satu ini, meskipun mereka baru sebentar berkenalan. Semoga aku tak terpikat dengan ketampanannya. Semoga hatinya benar-benar sungguh mencintaiku.

Kara segera menyeka matanya, mengangguk pelan, lalu memberikan senyuman terindah pada Barram.

Melihat ucapnya berbalas senyuman, Barram menarik napas lega. Senyum balasan pun tergambar di wajahnya. Meskipun jauh dalam hatinya ada sedikit rasa bersalah menghantui.

☂☂☂

Apakah Hujan Ini Benar Membunuhku?Where stories live. Discover now