08:

36 0 0
                                    

Sesaat muncul rasa ragu di hati Kara saat hendak menghubungi Vania. Ia dan Vania memang saling kenal. Tetapi, mereka tidak akrab. Ia hanya kenal bahwa Vania adalah orang yang sangat supel, fashionable dan merupakan jenis wanita sosialita. Senang hangout dan tak segan berjalan dengan banyak laki-laki. Pacarnya pun berganti-ganti. Ia selalu tampil menawan dengan pakaian yang menarik perhatian kaum adam. Berbeda sekali dengannya yang lebih senang menyendiri, berpakaian biasa saja, yang penting rapi, dan lebih memilih mengurusi usahanya daripada nongkrong atau shopping yang menurutnya menghabiskan uang.

Mungkin juga Barram sempat jalan bareng dengan dia, dan Vania tertarik dengannya.... Siapa yang tak tertarik dengan pria seperti Barram? Pasti juga ia akan bertanya macam-macam kalau tiba-tiba aku meneleponnya, hanya untuk menanyakan tentang Barram.

Tapi, pikiran itu dienyahkannya jauh-jauh. Ia tak punya kenalan siapapun yang dekat atau setidaknya mengenali Barram selain Vania. Maka, Kara tak punya pilihan banyak.

Ia memutuskan menghubungi Vania.

"Halo, Selamat malam. Siapa ini?" Terdengar suara wanita di seberang sana. Sudah pasti itu Vania.

"Malam, Van. Ini Kara. Masih ingat?"

"Kara? Kara Dilara? Anak seni rupa?" tanya Vania memastikan.

"Iya, betul. Masih ingat sama gue?"

"Waahh... Masih, lah. Primadonanya seni rupa, kan?"

"Ah, bisa aja, Van."

Apa yang dikatakan Vania memang betul. Kara terkenal sebagai 'primadona' karena kesuksesannya mendirikan Kinara, selain karena memang karena kecantikannya yang natural, yang membuat tanpa memerlukan pakaian yang mencolok pun, para lelaki menganggapnya seperti 'primadona'.

Terdengar suara kecil tawa Vania di seberang. "Maaf, Kar. Nomor lo belum gue save. Baru ganti hape gue."

"Iya, santai aja." balas Kara.

"Gimana sama Edo?"

Pertanyaan barusan tanpa sengaja membuat Kara menjadi kesal, karena ia terpaksa mengingat lagi kejadian menyakitkan itu. Edo adalah teman satu jurusan Vania. Itu pula yang membuat Kara mengenal Vania. Tapi, mengingat teman bicaranya ini bukan Nisa yang bisa ia tegur semaunya, Kara mencoba memendam kekesalannya.

"Ah, udah putus, Van." jawab Kara setenang mungkin.

"Oalah, sori. Hehehe... Gue kira masih."

"Nggak apa-apa, Van. Santai aja" Kara menjawab enteng.

"Eh, by the way, ada apa nih nelpon, Kar? Tumben." tanya Vania.

"Oh iya, Van. Lo masih kerja di Telkom kan?" tanya Kara langsung tanpa basa-basi.

"Yoi. Kenapa?"

"Emm... gini... duh gue bingung nih tanyanya. Hehe..." rupanya, Kara masih sedikit enggan membuka 'rahasia' barunya.

"Loh? Mau nanya apaan sih? Gue jadi tambah penasaran." tanya Vania penuh selidik.

"Err... Lo kenal sama Bram?" akhirnya Kara berhasil menanyakannya.

"Bram? Bram siapa?" tanya Vania heran.

"Eh, sori. Maksud gue Barram. Barram Adhirajasa."

"Oalah, si Barram "Ramram" maksud lo. Temen se-tim gue itu. Di sini anak-anak lebih sering manggil dia Ramram atau Rama."

"Iya, itu dia maksud gue. Hehehe.."

"Oh. Iya kenal, dong. Cowok terganteng dan nomor satu di kantor gue. Kenapa dengan Ramram? Eh, by the way, kok lo bisa kenal sama dia?" tanya Vania heran.

Apakah Hujan Ini Benar Membunuhku?Where stories live. Discover now