02:

65 0 0
                                    

11 Oktober, 2016

"Mbak, saya pulang duluan, ya."

"Ah, iya. Hati-hati, Linda."

Setelah Linda, salah seorang pekerjanya pulang, praktis hanya tinggal Kara dan Nisa yang masih ada di toko.

"Mas Fajar nggak bakal jemput lo?"

Nisa merengut. "Ya jemput lah. Dia tadi bilang lagi kena macet. Paling lima sepuluh menit lagi. Emang gue kayak lo, yang pulang nggak di jemput?"

Kali ini Kara yang merengut. Ia memukul bahu sahabatnya itu. Nisa tertawa dibuatnya.

Nisa adalah sahabat dekat Kara sejak kuliah. Dulu, sama seperti Kara, Nisa tak memakai jilbab. Semua berubah saat menjelang semester akhir. Nisa tiba-tiba memutuskan untuk memakai jilbab. Kara sempat menanyakan alasannya, tetapi Nisa hanya menjawab dengan senyum penuh rahasia.

Rupanya, kurang lebih setahun setelah itu, Nisa dilamar oleh Fajar, seorang pengusaha tekstil. Ternyata, alasan Nisa memakai jilbab adalah karena Fajar. Melihat Fajar tipe lelaki yang alim dan baik, Nisa juga ingin menjadi lebih baik. Selain juga karena permintaan Fajar sendiri saat masa pendekatan dulu. Saat ini, sudah hampir setahun Nisa dan Fajar menikah.

Nisa sejatinya dianugerahi wajah yang juga tak kalah cantik dengan Kara. Matanya yang sedikit besar dengan hidung mancung adalah salah satu daya tarik fisiknya. Selain itu, Nisa juga sangat ramah dan supel, serta mampu bersikap sesuai tempatnya. Di depan umum, Nisa laiknya seorang yang anggun dan disegani. Wajar karena ia dulu sempat ikut berbagai organisasi di kampusnya, tidak seperti Kara. Namun, di kesehariannya terutama saat berdua bersama Kara, Nisa bersikap terbuka, tak jaim dan sangat ramah.

"Gue juga lagi nunggu jemputan kali."

Nisa tercengang mendengar ucapan Kara barusan.

"Heh? Siapa yang mau jemput, lo? Edo?"

Kara mengangguk.

"Edo di Jakarta?"

Kara mengangguk lagi.

Nisa kali ini mengernyitkan dahi. "Serius, lo masih sama Edo?"

Kara terdiam sebentar sebelum mengangguk pelan. Terdengar hembusan napas Nisa setelahnya.

"Yah... kalau itu memang pilihan lo, gue sih cuma bisa mendoakan yang terbaik."

Kara teringat pendapat Nisa bulan lalu. Saat itu, Edo harus pergi lama karena tugas luar kota.

☂☂☂

Siang itu, 16 September 2016

"Saran gue, tinggalin dia, Kar. Dia udah nggak seperti dulu lagi."

"Tapi... semua orang bisa berubah, bukan? Dia... dia sudah menunjukkan semua yang aku inginkan...."

Nisa kemudian menggenggam lembut bahu Kara.

"Benar, semua orang bisa berubah, Kar.... Tapi jangan lupa, perubahan itu tidak selalu menjadi lebih baik."

Kara menimbang-nimbang perkataan Nisa barusan. Sejujurnya, ia pun mulai ragu kepada lelaki yang kini menjadi kekasihnya, Edo. Seorang pria tajir dengan usaha kelapa sawitnya dan romantis dengan segala kejutannya. Dulu, Edo begitu penuh perhatian dan amat romantis. Meskipun mereka berdua tidak sering bertemu karena Edo sibuk dengan pekerjaannya, tetapi lelaki itu selalu menyempatkan waktu setidaknya setiap satu atau dua minggu sekali untuk bertemu. Edo juga menunjukkan keseriusannya dengan berkunjung ke rumah Kara, bertemu dengan dua orangtuanya. Edo berhasil memberikan kesan baik kepada Kara dan keluarganya. Tak ayal, Kara berharap banyak kepadanya.

Tapi, itu dulu. Setelah hampir enam bulan menjalin hubungan, satu per satu sifat Edo yang dulu tak terlihat mulai muncul. Salah satunya, hasratnya yang begitu tinggi. Berkali-kali tangan Edo sengaja menyentuh dan bermain-main di jengkal-jengkal tubuh Kara, memaksa Kara untuk memenuhi nafsunya. Kara yang memegang prinsip tak berhubungan intim sebelum menikah, jelas menolak mati-matian. Berkali-kali, mereka bertengkar karena masalah ini. Bagi Kara, kini Edo lebih terlihat seperti lelaki yang menjadikan wanita hanya sebagai pelampian hasrat nafsu. Kara paling membenci tipikal pria seperti itu, yang justru ia temukan di lelakinya.

Itulah alasan mengapa Nisa meminta Kara untuk meninggalkan Edo. Tapi, hati Kara masih percaya kalau Edo masih bisa kembali seperti dulu. Tetapi, keyakinannya mulai memudar seiring Edo yang lebih sering berada di luar Jakarta sehingga mereka semakin jarang bertemu. Edo pun hanya menghubunginya sesekali. Meskipun perbincangan mereka masih mesra, tetapi Kara merasa semua ini tidak sama seperti dulu. Bahkan, pertemuan terakhirnya dengan Edo berakhir dengan pertengkaran karena alasan yang sama: Kara menolak ajakan Edo untuk bercinta bersamanya.

☂☂☂

"Kar, Kara?"

Kara terhenyak dari lamunannya tentang obrolannya dengan Nisa bulan lalu itu.

"E, eh? Kenapa?"

"Lo ngelamun, ya? Aduh..." Nisa mengacak-acak rambut sahabatnya itu.

Kara hanya tersenyum tipis menanggapinya. Tak lama, Fajar datang menjemput Nisa. Ia ikut mengantarkan Nisa, menyapa Fajar hingga menunggunya pergi. Setelah itu, Kara mengunci pintu toko dan lebih memilih menunggu di teras toko, meskipun saat itu hujan sedang turun deras.

Itu karena ia sangat suka memandang hujan seperti ini. Saat kecil dahulu, Kara sangat senang berlarian di bawah hujan. Harmoni suara tetesan, kesejukan serta wewangian basah itu selalu mampu membuatnya tenang, melupakan semua masalah apapun. Hingga saat ini, Kara masih merasakan semua itu. Ia pun selalu tersenyum setiap hujan turun. Jika saja tidak ingat bahwa usianya kini sudah 25 tahun, mungkin saja ia akan mengulangi kebiasaannya saat kecil itu. Bersenang-senang di bawah guyuran air langit.

Hampir lima belas menit berlalu, sepertinya tak ada tanda-tanda Edo akan hadir menjemputnya. Kara mulai mendesah, takut bila Edo tak datang.

☂☂☂

Apakah Hujan Ini Benar Membunuhku?Where stories live. Discover now