Anak laki-laki itu tidak akan lebih dari sepuluh tahun usianya. Tubuhnya tinggi dan tegap bagi anak setua itu. Baju dan celananya terbuat dari sutera, bentuknya sederhana. Bajunya kuning polos dengan pinggiran merah tua, membuat warna kuning baju itu tampak menyala bersih. Pada pinggangnya membelit tali sutera dan celananya berwarna biru muda. Sepatunya yang coklat itu masih baru namun penuh debu.
Wajah anak itu terang dan tampan, berbentuk bulat dengan sepasang telinga lebar menjulang di kanan kiri karena rambutnya disatukan di atas kepala membentuk sanggul dan dibungkus dengan kain kepala dari sutera hijau. Sepasang matanya lebar dan bersinar terang, dilindungi sepasang alis yang hitam dan sudah dapat diduga bahwa kelak alis itu akan menjadi tebal dan berbentuk golok. Hidung dan mulutnya kecil membayangkan kehalusan budi, namun tarikan syaraf pada dagunya membayangkan kemauan yang membaja.
Dengan lenggangnya yang bebas lepas anak itu melangkah di dalam hutan yang sedang menyambut munculnya matahari pagi. Wajahnya gembira sekali, sepasang matanya bersinar-sinar memandangi segala yang tampak di depannya, yang jauh maupun yang dekat. Mulutnya tersenyum dan tiba-tiba dia berhenti, matanya terbelalak penuh kegembiraan memandang ke kiri, melihat seekor kelinci yang tiba-tiba keluar dari semak-semak, agaknya kelinci itupun terkejut, berhenti, menengok ke kanan kiri, hidungnya bergerak-gerak kembang kempis membuat cambangnya yang hanya beberapa helai itu ikut bergerak-gerak naik turun matanya yang jernih lebar bergerak-gerak liar, sepasang daun telinganya yang panjang menjungat ke atas, bergerak-gerak ke atas ke bawah menangkap segala suara yang datang dari sekelilingnya.
"Hi-hik...!"
Anak itu tak dapat menahan geli hatinya melihat binatang yang lucu itu dan si kelinci terperanjat, berloncatan lenyap ke dalam semak-semak kembali.
Anak laki-laki itupun melanjutkan langkahnya. Hanya mata seorang yang pikirannya tidak dibebani sepenuhnya dengan segala macam persoalan hidup seperti mata anak itulah yang akan dapat menikmati keindahan dalam hutan di pagi hari itu, dan sesungguhnyalah bahwa hanya anak-anak saja yang dapat menikmati hidup ini, karena manusia dewasa, kecuali mereka yang sudah sadar dan bebas, hidupnya penuh dengan persoalan yang timbul dari pertentangan-pertentangan batin dan lahir.
Betapa indahnya rumput-rumput menghijau di hutan itu. Ada yang rebah, ada yang berdiri, ada yang panjang ada yang pendek, semua begitu bebas dan segar, begitu wajar namun lebih rapi daripada kalau diatur tangan manusia, nampak gembira dengan batang membasah bermandikan cahaya matahari pagi, berkilauan seolah-olah dari setiap batang rumput mengeluarkan cahaya kesucian.
Daun-daun pohon menari-nari perlahan dihembus angin pagi, mengangguk-angguk membawa butiran-butiran lembut yang gemilang seperti mutiara. Burung-burung kecil yang beraneka warna bulunya, lincah bergembira dan berkejaran sambil mencuit bersiul saling sahut, berloncatan dari dahan ke dahan.
Sinar matahari yang menyerbu pohon, menembus di antara celah-celah daun membentuk garis-garis putih di antara cahaya kuning kemerahan, cahaya keemasan. Adakah lukisan yang seindah kenyataan? Adakah rangkain kata-kata yang mampu menceritakan keindahan yang wajar, mulus asli dan ajaib ini?
Beberapa helai daun pohon menguning lepas dari tangkainya, melayang-layang ke bawah, menari-nari ke kanan kiri seperti gerak pinggul seorang penari yang lincah dan lemas, seolah-olah merasa sayang meninggalkan tangkainya namun tidak dapat menahan daya tarik bumi. Betapa mata tidak akan menjadi sehat dan segar menyaksikan semua keindahan ini? Sayang bahwa jarang ada manusia seperti anak laki-laki itu yang dapat memandang dengan mata terbuka, terang dari jernih, tidak terselubung tirai persoalan hidup yang keruh.
Makin terang cahaya matahari, makin ramai suara memenuhi hutan. Ramai akan tetapi sedap didengar bagi mereka yang mampu mempergunakan telinganya untuk mendengar, seperti anak itu, sehingga dia mampu menangkap keindahan hidup dalam pendengarannya.
Suara burung beraneka macam, dengan keindahan masing-masing, ada yang tinggi melengking, ada yang menciap-ciap pendek, ada yang rendah parau, namun sukar membedakan mana yang lebih indah bagi telinga yang mendengarkan tanpa perbandingan sehingga tidak ada lagi istilah baik dan buruk! Di antara lomba suara burung ini, kadang-kadang terdengar kokok ayam hutan, dan sayup-sayup terdengar suara gemerciknya air dari anak sungai yang mengalir di dalam hutan, suara air bermain dengan batu-batu hitam, seperti suara gelak tawa dan kekeh manja sekumpulan anak perawan yang sedang bersendau gurau.
Kegembiraan memenuhi hati anak itu, membuat dia merasa menjadi sebagian dari alam dan keindahan itu sendiri, dan anak itu, dengan wajah tampak berseri-seri, membuka mulut dan bernyanyi! Nyanyian aneh dinyanyikan dengan wajah berseri dan suara gembira, akan tetapi kata-kata dalam nyanyian itu sendiri adalah kata-kata keluhan yang menyedihkan!
Agaknya, nyanyian itulah yang dihafal olehnya, dan jelas bahwa dia bernyanyi sekedar melepaskan kegembiraan yang berkumpul di dalam hatinya, sekedar mengeluarkan suara mengikuti contoh burung-burung di dalam hutan, tanpa mempedulikan isi nyanyian yang dihafalnya di luar kepala. Dia tidak peduli akan kata-kata dalam nyanyian, karena dalam keadaan seperti dirinya di saat itu, kata-kata merupakan benda usang yang sama sekali tidak ada artinya! Baginya, yang penting bukan kata-katanya, melainkan suaranya yang menggetar nyaring penuh daya hidup!
Berbahagialah anak itu yang memiliki seni memandang dan mendengar sewajarnya. Dengan pandangan dan pendengaran wajar, penuh perhatian, penuh kasih sayang, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa pamrih, tanpa prasangka, maka tampak dan terdengarlah olehnya segala keindahan yang tak ternilai. Lukisan-lukisan terindah di dunia ini hanya akan tampak sebagai benda lapuk saja dibandingkan dengan kenyataannya, nyanyian sajak-sajak yang paling terkenal di dunia ini hanya akan terdengar sebagai kata-kata hampa dibandingkan dengan suara alam itu sendiri jika didengarkan dengan pikiran bebas.
Suara anak itu masih lembut dan ringan seperti suara wanita. Suaranya belum pecah dan parau, menunjukkan bahwa dia belum dewasa. Namun suaranya nyaring sekali, karena dia bernyanyi dengan bebas lepas, dari dalam dadanya!
"Langit di atas bumi di bawah
mengapit ketidakadilan
perut lapar minta makan
minta kepada siapa?
ayah bunda pun belum makan
semua kelaparan!
minta kepada si bangsawan
digigit anjing penjaga
minta kepada Si kaya
diberi maki dan pukulan!
Hayaaaa...!"
Anak itu mengulang-ulang dengan suara gembira, akan tetapi pada ulangan ke empat kalinya, dia berhenti di tengah-tengah karena mendengar suara teguran,
"Haiiii...!"
Anak itu menghentikan langkahnya, membalikkan tubuh.
Seorang laki-laki setengah tua, memikul kayu bakar, datang dengan langkahnya yang pendek-pendek namun cepat, mengimbangi ayunan pikulannya. Setibanya di depan anak itu, dia menurunkan pikulan, menghapus keringat dari muka dan leher, meludah ke kiri, kemudian memandang lagi kepada anak itu dengan mulut menyeringai. Agaknya sudah menjadi kebiasaan orang ini menyeringai seperti itu dengan mulut menyerong ke kanan, mata kanan agak disipitkan sehingga tampak garis-garis tertentu pada bagian kulit muka yang berlipat.
"Wah, engkau bukan pengemis!" serunya dengan nada heran setelah menyapu pakaian anak itu dengan pandang matanya.
"Memang aku bukan pengemis," jawab anak itu. "Dan engkau seorang tukang pencari kayu agaknya, lopek (paman tua)?"
"Memang aku mencari kayu. Setiap pagi aku mencari kayu di hutan ini, lalu kubawa ke kota kujual sebagai penukar bahan pengisi perut kami bertiga."
"Bertiga?"
"Ya, aku sendiri, anakku dan ibunya."
"Ohhhh..."
"Hemm, dan selama bertahun-tahun aku mencari kayu, baru pagi ini aku melihat hal-hal aneh, di antaranya melihat seorang anak kecil berkeliaran seorang diri di dalam hutan, menyanyikan lagu pengemis padahal engkau bukan pengemis."
"Anehkah itu?"
"Tentu saja aneh. Pakaianmu dari sutera halus, sepatumu baru. Engkau bukan pengemis dan biasanya, hanya para pengemis dan orang miskin saja yang suka menyanyikan lagu itu. Dan engkau pasti bukan pengemis."
"Sudah kukatakan aku bukan pengemis."
"Dan bukan orang miskin pula."
Anak itu mengerutkan alisnya, meragu lalu menggeleng kepala.
"Entah, aku tidak tahu apakah orang tuaku kaya ataukah miskin. Bagaimanakah untuk membedakan yang kaya dengan yang miskin?"
Tukang mencari kayu itu juga mengerutkan alisnya, menggaruk-garuk kepala kemudian meludah lagi ke kiri. Agaknya meludah ke kiri inipun menjadi kebiasaannya, seperti kebiasaan menyeringai dengan mulut menyerong ke kanan.
"Yang hidup serba kecukupan itu orang kaya, yang serba kekurangan itu orang miskin."
Anak itu kembali termenung, kedua alis berkerut hampir bertemu di atas batas hidung, kemudian dia memandang kakek itu sambil bertanya lagi,
"Lopek, yang dikatakan serba cukup itu bagaimana, dan yang serba kekurangan itu bagaimana?"
Agaknya kakek itu sudah lelah. Pagi ini dia mengumpulkan kayu hampir dua kali lebih dari biasanya karena dia membutuhkan uang kelebihan, untuk membeli sepatu anaknya yang rewel minta dibelikan sepatu baru. Bukan baru benar melainkan bekas akan tetapi yang masih baik dan belum usang.
"Yang serba kecukupan itu adalah... hemm, yang dapat menutup kebutuhannya, sedang yang serba kekurangan itu tentu saja yang tak pernah terpenuhi segala kebutuhannya."
"Ohh, jadi tergantung dari kebutuhannya, ya? Kalau kebutuhannya hanya sedikit tentu cukup dengan sedikit pula sedangkan yang kebutuhannya banyak sekali melebihi apa yang dimilikinya, mana bisa mencukupi?"
"Wah, sulit juga kalau begitu. Yang cukup adalah yang dapat makan setiap hari..." kata Si Kakek agak bingung karena persoalan yang dianggapnya remeh itu kini menjadi sulit.
"Lopek. apakah lopek dapat makan setiap hari?"
"Hemm... ya, biarpun hanya dengan sayur sederhana."
"Kalau begitu, lopek adalah seorang kaya!" Anak itu berkata gembira seolah-olah dia dapat memecahkan teka-teki yang sulit.
"Hahh...?" Pencari kayu itu terbelalak.
"Menurut lopek, orang kaya adalah yang kecukupan, yang kecukupan adalah yang setiap hari dapat makan. Lopek setiap hari dapat makan, berarti kecukupan, dan karena kecukupan berarti kaya!" Anak itu gembira sekali lalu membungkuk membalikkan tubuh dan berkata, "Selamat pagi, lopek!"
Kakek itu masih berdiri terpukau di tempatnya, matanya memandang kosong karena pikirannya bekerja keras mengingat ucapan anak itu.
"Aku... kaya..? Heiii! Nanti dulu! Tunggu dulu...!" ia memanggil.
Anak itu menoleh, membalikkan tubuh dan tersenyum. Senyum bebas lepas dan wajar.
"Ada apakah, lopek?"
"Tentang kaya miskin, aku menarik semua pendapatku. Aku bukan orang kaya, tapi apakah aku miskin... hemm, entah. Tapi engkau yang berpakaian mahal, mengapa menyanyikan lagu pengemis kelaparan?"
"Lagu adalah lagu, lopek. Siapa saja beleh melagukannya!"
"Tapi isi kata-katanya itu! Tentang kelaparan! Apakah engkau pernah kelaparan?"
Kini si anak tercengang. Baru sekarang dia sadar bahwa nyanyiannya itu bercerita tentang anak kelaparan. Dia menggeleng kepala dan berkata lambat-lambat,
"Aku belum pernah kelaparan, lopek. Akan tetapi... apa bedanya? Melihat anak-anak pengemispun sama sengsaranya terasa dalam hati. Ada nyanyiannya tentu ada kenyataannya, bukan? Eh, lopek. Katakanlah, mengapa di dunia ini ada anak-anak yang kelaparan? Mengapa ada bangsawan yang berkuasa amat tinggi, ada hartawan yang memiliki kekayaan berlebihan dan berlimpahan, akan tetapi sebaliknya ada pekerja yang paling rendah kedudukannya, dan ada pengemis-pengemis yang kelaparan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Petualang Asmara
Historical FictionLanjutan Pedang Kayu Harum. Tokoh Utama: Yap Kun Liong, keponakan murid dari Cia Keng Hong, tetapi mewarisi ilmu Thi-Khi-i-Beng darinya. Sangat beruntung karena menjadi murid dari tokoh sakti mantan ketua Hoa-san-pai, Bun Hwat Tosu (mendapat ilmu ya...