Jilid 4

9.9K 85 2
                                    

Arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong tiba, dan pemuda ini segera mulai makan tanpa mempedulikan tiga orang tamu itu. Orang ke tiga di antara tamu itu sudah tua, kurus dan lucu sekali karena kelihatan selalu mengantuk. Biarpun kadang-kadang dia mengangkat cawan araknya, akan tetapi matanya seperti terus tidur melenggut dan tidak pernah ikut bicara dengan kedua orang temannya, bahkan sama sekali tidak mempedulikan Kun Liong.

"Benarkah bahwa setiap ada anak murid yang melanggar, Siauw?lim?si bertindak keras sekali dengan hukumannya?" tanya pula Si Muka Pucat yang disebut Kui?suheng oleh Si Jenggot Pendek tadi.

"Kabarnya demikian. Bahkan seorang murid tidak akan diijinkan keluar sebelum lulus dari ujian yang diadakan. Apakah Suheng tidak mendengar betapa ketuanya yang lama, Tiang Pek Hosiang yang terkenal di seluruh dunia kang?ouw itu, terpaksa harus mengundurkan diri karena pelanggaran?"

"Ya, kabarnya begitu. Bahkan murid Siauw-lim?pai yang paling lihai, Yap Cong San yang kabarnya mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu, terpaksa pula harus meninggalkan keanggautaannya dari Siauw?lim?pai karena pelanggaran."

"Urusan apakah?"

"Entahlah, Sute. Aku sendiri pun tidak tahu jelas. Tentu Tio?taihiap (Pendekar Besar Tio) yang lebih tahu," jawab Si Muka Pucat sambil memandang kepada teman yang sejak tadi seperti orang mengantuk itu. Kedua orang itu kini memandang kepadanya dan diam?diam Kun Liong juga memperhatikan dengan kerling matanya kepada Si Pengantuk yang disebut Pendekar Besar Tio itu.

"Sudahlah, perlu apa bicara tentang urusan orang lain? Yang penting malam ini kita mengaso di losmen dan baru besok pagi kita naik ke Siauw-lim?si. Mudah?mudahan saja perjalanan jauh kita akan berhasil."

Mendengar ini, timbul kecurigaan di dalam hati Kun Liong. Tiga orang ini sikapnya mencurigakan dan mereka ini besok mau nalk ke Siauw?lim?si! Mau apakah mereka? Apakah ada hubungan mereka dengan Kwi?eng?pai yang telah mencuri pusaka Siauw-lim?si?

"Ucapan Tio?taihiap benar," kata Si Jenggot Pendek. "Kita harus menghormati para pendeta Siauw?lim?pai yang terhormat, akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat menghormat pendeta munafik yang terang?terangan melanggar pantangan di depan umum?" Setelah berkata demikian, Si Muka Merah yang berjenggot pendek ini mengangkat cawan araknya melirik ke kiri ke arah Kun Liong sambil mengerahkan tenaga sinkang di tubuh bagian bawah.

Kun Liong terkejut bukan main ketika tiba?tiba bangku yang didudukinya itu bergetar dan bergerak terangkat naik! Maklumlah dia bahwa Si Muka Merah ini sengaja main gila hendak mempermainkan dia yang tentu dianggap seorang hwesio yang melanggar pantangan makan daging dan minum arak. Perutnya terasa panas, akan tetapi dia bersikap tenang saja seolah?olah tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan sin?kang sehingga ujung bangku yang didudukinya itu, yang tadinya sudah terangkat sampai sejengkal lebih dari lantai, kini turun kembali! Si Muka Merah terbelalak dan heran, lalu menjadi penasaran. Sin?kangnya dikerahkan dengan sekuatnya, dan andaikata Kun Liong bukan seorang yang telah memiliki sin?kang kuat, tentu dia akan terlempar jauh oleh getaran ujung bangku yang didudukinya! Akan tetapi, tubuh pemuda ini sama sekali tidak berguncang, bahkan ketika dia mengerahkan tenaganya, terdengar suara "krakkk!" bangku itu patah pada tengahnya dan tubuh Si Muka Merah itu terlempar ke atas seperti dilontarkan oleh tenaga raksasa yang tidak tampak! Cawan araknya terlepas dari tangannya dan tentu akan terbanting tumpah di atas meja kalau saja Si Pengantuk yang disebut Tio?taihiap itu tidak mengulur tangan menyambar cawan itu dan aneh sekali... arak yang tumpah itu seakan-akan tersedot dan melayang kembali ke dalam cawan itu! Sedangkan Si Muka Merah sudah berjungkir?balik dan tidak sampai terbanting. Dia sudah mengepal tinju dan memandang kepada Kun Liong dengan mata mendelik, melihat pemuda gundul itu tetap enak?enak duduk di ujung bangku yang sudah patah tengahnya, menghabiskan sisa arak dalam cawannya!

Petualang AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang