Jilid 11 (Tamat)

9K 182 4
                                    

Ayahnya menggeleng kepala. "Janji lebih penting daripada segalanya, Anakku. Kau tinggallah di sini, sebagai keluarga terhormat dan lebih dari itu lagi, setiap hari engkau dapat menjengukku di penjara dan aku akan mewariskan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu!"

Hong Ing merasa kecewa dan berduka sekali sehingga air matanya mengalir lagi. Akan tetapi Kok Beng Lama mengira bahwa anaknya menangis saking senangnya, maka dia tertawa-tawa lagi.

"Kok Beng Lama, sudah cukup kiranya pertemuan dengan puterimu. Setiap hari engkau masih akan dapat bertemu. Sekarang, marilah kami antar engkau memasuki tempat hukumanmu!"

Karena hatinya merasa gembira, Kok beng Lama mengangguk dan sambil tertawa-tawa dia diantar ke tempat hukuman, di mana dahulu dia mendekam selama sepuluh tahun. Kalau dulu dia menghabiskan waktu hukuman dengan memperdalam ilmu-ilmunya, sekarang dia hendak menghabiskan waktu hukuman dan sisa hidupnya untuk mewariskan ilmu-ilmunya itu kepada anak tunggalnya, Pek Hong Ing.

Susiok, aku tidak bicara main-main. Aku ingin menebus dosa ibuku!"

Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama saling pandang mendengar ucapan Hong Ing yang pagi hari itu datang menghadap mereka di ruangan dalam setelah mereka selesai melakukan upacara sembahyang dan membaca doa pagi.

"Mengapa, Hong Ing? Bukankah kau hidup cukup terhormat dan senang di sini? Bukankah kami memperlakukan engkau dengan baik seperti janji kami dan semua anggauta bersikap hormat kepadamu?" tanya Sin Beng Lama.

"Benar Susiok, akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku melakukannya untuk menebus dosa ibuku. Ibu telah melakukan dosa kepada agama kita dan untuk dosa itu sekarang Ayah yang menanggung derita dan hukumannya. Semua ini terjadi karena kutukan Dewa, sehingga aku pun hidup sengsara dan disakiti hati orang. Maka, aku hendak menebus dosa dengan mengorbankan diri kepada Dewa sebagai pengganti ibuku. Karena ibuku melarikan diri dari tangan Dewa, maka Dewa telah mengutuknya dan aku sebagai puterinya tentu akan mereka kutuk pula."

"Omitohud... engkau hebat sekali, Pek Hong Ing. Engkau seorang dara yang suci dan bersih hatimu, dan engkau memang pantas sekali menjadi kekasih Dewa." kata Sin Beng Lama dengan pandang mata penuh kagum.

"Aku memang sudah ditakdirkan menjadi kekasih Dewa, Susiok. Hampir setiap malam aku telah bermimpi dan selalu bertemu dan dicumbu rayu oleh Dewa yang bertangan enam bermuka tiga..."

"Siancai...!"

"Omitohud...!"

Tiga orang pendeta Lama itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada dan mulut mereka berkemak-kemik membaca doa. Ketika mereka memandang lagi kepada Hong Ing, pandang mata mereka berubah, amat kagum dan menghormat sekali!

"Keponakanku yang baik, Pek Hong Ing. Semua itu adalah tanda-tanda dari Dewa dan sudah semestinya kalau kita semua mentaatinya. Akan tetapi, kami tidak berani karena ayahmu pasti akan mengamuk kalau mendengar engkau akan mengorbankan dirimu kepada Dewa."

"Ayah sudah berjanji tidak akan memberontak lagi, Susiok. Dan urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ayah. Sesungguhnya, perbuatan Ayah itulah yang membuat aku mengambil keputusan ini. Ibu telah berdosa kepada Dewa, juga Ayah telah berdosa, maka terlahir aku yang harus menebus dosa mereka itu dengan mengorbankan diri kepada Dewa."

"Bagus, bagus! Pinceng yakin bahwa seorang perawan seperti engkau ini tentu dapat menjadi kekasih Dewa, Hong Ing."

"Akan kuusahakan agar Dewa mencintaku, Susiok, sehingga aku dapat membujuknya mengampuni ayah-ibuku, juga agar Dewa memberkahi para Susiok dan agama kita ini..."

"Omitohud...!" Tiga orang itu berseru dengan girang sekali.

"Akan tetapi," Sin Beng Lama berkata lagi, meragu. "Kami telah berjanji kepada ayahmu untuk memperlakukanmu dengan baik, tidak akan mengganggumu..."

Petualang AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang