jilid 10

8K 75 1
                                    

  Tahulah dia bahwa kedua kulit tengannya telah terkena hawa beracun!

"Ha-ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa.

"Hi-hik, tua bangka, bersiaplah untuk mampus!" Kim In juga mengejek dan wanita ini sudah menerjang maju bersama suaminya.

"Haiiitit... hehhh!!" Thian-ong Lo-mo cepat mengelak ke sana ke mari, dan membalas dengan pukulan-pukulan maut. Namun dia segera terdesak hebat karena kakek ini merasa ragu-ragu untuk menangkis pukulan-pukulan lawan, hanya mengelak ke sana-sini sehingga tentu saja hal ini tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, tidak seperti kalau dia menangkis lalu membalas langsung. Kadang-kadang secara terpaksa, Thian-ong Lo-mo menangkis juga, namun jika hal ini dilakukan, dia mengisi lengannya dengan hawa sin-kang sepenuhnya untuk menolak hawa beracun dari lengan lawan. Betapapun juga, tetap saja kulit lengan yang terbentur lengan lawan terasa gatal-gatal, tanda bahwa biarpun hawa beracun itu tidak meresap ke daging dan tulang, namun tetap saja meracuni kulitnya. Makin banyak dia menangkis, makin hebat rasa gatal yang menyiksa kedua lengannya.

Di antara perasaan yang biarpun tidak berapa nyeri namun sukar dipertahankan manusia adalah rasa gatal. Mungkin kalau kedua lengan Thian-ong Lo-mo itu terasa nyeri betapa hebat pun, kakek ini masih dapat mempertahankan. Akan tetapi diserang rasa gatal yang membuat seluruh bulu di tubuhnya bangkit meremang, sukar untuk dipertahankan tanpa digaruk, maka hal ini tentu saja amat menyiksanya dan membuat gerakan ilmu silatnya menjadi kacau balau tidak karuan. Dia sudah terkena pukulan sampai tiga kali, dua kali oleh Ouwyang Bouw dan sekali oleh Kim In. Namun, berkat ilmunya I-kiong-hoat-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) yang sempurna, Thian-ong Lo-mo dapat membuat tubuhnya kebal dan jalan darahnya tidak terluka oleh pukulan pukulan itu hanya bagian kulitnya saja yang terkena pukulan menjadi merah kehitaman dan terasa gatal bukan main.

"Hyaaahhhh... robohlah...!" Tiba-tiba Thian-ong Lo-mo membentak dan kedua tangannya bergerak ke depan.

Ouwyang Bouw dan Kim In cepat mengelak ketika melihat berkelebatnya sinar dari kedua tangan kakek itu dan mendengar suara bercuitan, namun karena jaraknya amat dekat, biarpun mereka mengelak, tetap saja pangkal lengan kiri Ouwyang Bouw keserempet dan betis kanan Kim In ketika meloncat terkena senjata rahasia yang dilepas oleh kakek itu. Kiranya senjata rahasia itu hanyalah kancing-kancing baju kakek itu sendiri. Karena tadi terdesak hebat, terutama sekali disiksa rasa gatal-gatal, Thian-ong Lo-mo memperoleh akal. Tanpa diketahui kedua lawannya, diam-diam dia mencabuti kancing-kancing bajunya dan menanti kesempatan baik secara tiba-tiba menyerang kedua lawan dengan kancing-kancing itu. Sayang baginya, kedua lawannya terlampau gesit sehingga hanya terluka ringan saja dan celakanya, menyerang kedua orang suami isteri ini dengan senjata rahasia tidak ada bedanya dengan menantang ikan berlumba renang!

Penggunaan kancing baju sebagai senjata rahasia oleh Thian-ong Lo-mo itu sama saja dengan menantang Ouwyang Bouw dan Kim In, padahal sepasang suami isteri ini adalah ahli-ahli senjata rahasia jarum merah beracun! Mereka berdua sudah menggerakkan kedua lengan bergantian dan sinar-sinar merah menyambar ke arah tubuh Thian-ong Lo-mo. Kakek ini masih berusaha mengelak, namun terlalu banyak jarum-jarum kecil halus itu menyambar, dan terlalu dekat jaraknya sehingga akhirnya dia berteriak keras dan roboh bergulingan di atas tanah. Ouwyang Bouw tertawa dan dua kali tangannya bergerak. Seketika tubuh itu tak dapat bergerak lagi, telentang di atas tanah karena pada sambungan lutut dan paha, masing-masing telah dimasuki sebatang jarum merah yang amat beracun, membuat kaki tangan kakek itu menjadi lumpuh tak mampu digerakkan lagi!

"Ha-ha-ha, isteriku sayang. Dia sudah tak berdaya, lakukanlah apa yang kau ingin lakukan!" kata Ouwyang Bouw sambil mencari tempat duduk di atas sebuah batu untuk mengaso dan menonton isterinya membalas dendam.

Lauw Kim In memang merasa sakit hati sekali kepada Thian-ong Lo-mo. Kakek inilah yang dianggapnya menjadi biangkeladi perubahan hidupnya. Betapa dia tidak akan menyesal. Sampai saat itu pun, kalau diingat, dia menjadi berduka dan penasaran sekali. Dia seorang murid Go-bi Sin-kouw, seorang wanita yang tergolong gagah perkasa dan cantik, terpaksa harus menyerahkan dirinya menjadi isteri seorang berotak miring seperti Ouwyang Bouw, dan semua itu adalah gara-gara kakek Thian-ong Lo-mo ini! Kalau tunangannya tidak dibunuh dahulu, tentu dia telah menjadi isteri tunangannya itu dan hidup bahagia! Dengan dendam membara di dada wanita ini mengambil pedangnya yang tinggal sepotong, menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang itu. Melihat Lauw Kim In datang membawa pedang buntung, Thian-ong Lo-mo maklum bahwa dia tentu akan dibunuh, maka dia berkata, "Aku sudah kalah oleh kecurangan kalian menggunakan racun. Nah, mau bunuh lekas bunuh, aku sudah tua, tidak kaubunuh pun tak lama lagi tentu mati!" Ucapan ini dikeluarkan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya.

Petualang AsmaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang