Apakah menulis esai memang sulit?
ARIES memandangi Winona yang sedang menikmati es krim cokelat di ruang tengah. Dengan laptop di pangkuan dan earphone tersumpal di telinga, sudah bisa dipastikan kalau gadis itu tidak bisa diganggu dalam satu atau dua jam ke depan. Sambil menunggu, Aries biasanya menghabiskan waktu di dapur untuk menyiapkan makan malam.
Namun, tidak sekarang. Aries membutuhkan Winona. Bantuan dari Winona.
Masalahnya, Winona akan memperpanjang sesi menonton film atau serial favoritnya kalau Aries nekat menginterupsi. Itu berarti banyak hal, mulai dari terpangkasnya jatah mengobrol sampai-
"Argh, dasar laptop tua." Winona melepas earphone, lalu menaruh laptop-nya di atas meja. Saat pandangan mereka bertemu, Aries dengan cepat memanfaatkan kesempatan tersebut.
"Mati lagi?"
"Iya, kayaknya aku harus ganti. Mana enggak bawa charger." Dengan langkah gontai, Winona membawa wadah es krim ke wastafel. Menyadari dapur yang masih bersih, gadis itu menoleh ke arah Aries. "Kamu belum masak?"
Aries menggeleng. "Sebenarnya aku sedang memikirkan sesuatu dan... membutuhkan bantuan darimu untuk menyelesaikannya."
"Ada apa? Urgen?"
Kemudian, Aries mengambil sebuah majalah dari atas lemari pendingin, membuka halaman yang sudah ditandai, dan menunjukkannya kepada Winona. "Beberapa hari lalu, editor majalah ini mengirim surel. Isinya cukup panjang, tapi intinya dia memintaku menulis esai untuk dimuat di rubrik ini."
Winona meraih majalah tersebut dan terbelalak begitu menyadari namanya. "Oh. Ya ampun. Kamu tahu enggak ini majalah apa?"
"Majalah yang dapat penghargaan terbaik di bidang kuliner? Aku masih ingat karena kamu diundang bulan lalu ke acaranya." Aries menunjuk tulisan dari seorang chef kenamaan di rubrik yang akan dia isi. "Reputasi majalah ini saja sudah membuatku tertekan, lalu saat membaca esai si chef, aku makin kebingungan. Apa yang harus aku tulis dan bagikan? This is why I need your help. You're good at it."
Alih-alih menunjukkan ekspresi senang, Winona malah sama bingungnya dengan Aries. "Kamu bikin aku tertekan juga, tahu. Emangnya kamu enggak pernah bikin esai atau tulisan panjang waktu sekolah?"
"Pernah, hanya saja.... Winona, baca esainya. Mereka tidak memilih sembarang orang untuk mengisi rubrik itu. Esaiku juga nantinya disunting, tapi aku tidak bisa memberi mereka tulisan mentah dan tidak berbobot."
"Kalau menurutmu begitu, berarti mereka memilih kamu setelah melewati pertimbangan panjang." Winona membaca sekilas esai si chef, lalu menaruh majalah tersebut di atas kitchen island. "Hmm, aku juga udah lama absen nulis esai. Aku bantu sebisanya, oke? Tapi berhubung laptop-ku mati, kita pakai punyamu."
Aries nyaris memeluk gadis di hadapannya saat mendengar tanggapan tersebut. "Kita ke kamar. Laptop-ku ada di sana."
*
Nyatanya, menulis esai sepanjang 800 kata membutuhkan perjuangan yang lebih banyak.
Aries dan Winona memandangi layar laptop dalam diam. Satu paragraf yang tertera di laman Microsoft Word seakan-akan menantang mereka untuk terus dilanjutkan. Words count di pojok kiri bawah menunjukkan angka 110 dan itu berarti masih ada 690 kata yang harus dikejar.
Bagi Aries, ini lebih sulit dari mengolah fugu.
"Hei, hei, jangan dihapus lagi." Winona serta-merta menahan tangannya yang siap menekan CTRL+A+Delete. "Kamu yakin mau terus mengulangnya dari awal semalam suntuk?"
Aries menarik tangannya kembali, lalu melepas kacamatanya. "Okay, then, what will we do? Spell some magic?"
Keduanya bertukar pandang selama beberapa detik, sampai Winona melirik ke arah laptop dan menutupnya. "Kayaknya kita sama-sama terbebani sama esai si chef."
"Maaf." Aries lalu meraih lengan Winona dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya. "Kita ngobrol dulu sebentar."
"Kamu yakin mau sebentar?" gumam Winona.
Kalau mau jujur, Aries ingin menyingkirkan laptop dari atas tempat tidurnya dan menarik Winona ke bawah selimut. Namun, pesanan esai itu berhasil membuatnya semakin tidak tenang. "Ulasan dan esai mungkin berbeda, tapi pasti ada persamaannya, kan? Sama-sama ditulis."
"If you're trying to make some lame jokes, I'll sleep."
"Winona, serius." Aries melonggarkan pelukannya sampai dia berhasil menatap wajah Winona. "Apa yang membuat kamu nyaman saat menulis ulasan?"
Lawan bicaranya menggumamkan sesuatu, lalu menjawab, "Ini mungkin terdengar aneh, tapi saat menulis ulasan, aku menganggap calon tulisan itu adalah teman dekatku. Jadi aku bisa cerita panjang lebar tentang tampilan makanannya, rasanya, harganya, suasana tempatnya, musik latarnya. Semuanya, tanpa ada yang disembunyikan."
"Itu... menarik. Ada lagi?"
"Mungkin kamu bisa menambahkan beberapa hal personal? Biasanya pembaca cepat terikat dengan tulisan-tulisan seperti itu. Mereka merasa dekat sama penulisnya meski enggak saling kenal." Winona mengembangkan senyum samar. "Kayak tulisanku buat La Belle Luna dulu."
"Jangan mulai." Namun sekonyong-konyong, Aries teringat momen-momen saat sang ibu menemaninya di dapur. Bulan tidak pandai memasak, tetapi dia jadi satu-satunya orang yang menyadari bakat Aries. Sang ibu yang rutin mengajaknya ke pasar sampai membelikan buku-buku resep. Bulan bahkan terus melontarkan pujian meski masakannya terlalu matang atau kelebihan bumbu.
Sampai sekarang, Aries tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kalau ibunya tidak pernah memberinya dukungan tanpa batas.
"Hei. Dia malah ngelamun." Winona menusuk-nusuk hidungnya dengan jari. "Aries?"
Aries mengerjapkan mata, lalu tanpa aba-aba merengkuh wajah Winona untuk mengecup bibirnya sekilas.
"Thank you." Kemudian, Aries bangkit dan meraih laptop-nya. Meninggalkan Winona yang masih kebingungan di sampingnya.
*
"Oh my God, you made it!"
Aries hampir terjatuh saat Winona memberinya pelukan erat. Di atas meja, esai yang dia tulis satu bulan lalu tercetak bersama beberapa foto yang Winona ambil di No. 46. Jangankan sampai dipublikasikan, Aries sendiri belum percaya kalau dia berhasil menulis esai untuk sebuah media cetak besar.
"Ini harus dirayakan," Winona melanjutkan dengan penuh semangat. "Piza, piza, piza."
"No. Kita makan di luar. Aku sudah reservasi tempat."
"Is it candle light dinner? Kenapa kamu enggak bilang dulu? Jadi aku bisa pakai baju bagus," protes Winona sambil mematut sweatshirt-nya.
"Bukan. Ayo, kita pergi sekarang. Nanti keburu macet." Setelah menaruh majalah di bawah meja, Aries mengambil kunci mobilnya dan menyusul Winona yang sudah menunggunya di depan pintu. Kemudian, Aries memberi beberapa kecupan untuk Winona yang disambut gelak tawa dan pelukan hangat.
Aries tidak bisa membayangkan apa yang terjadi kalau dia tidak pernah bertemu Winona.
***
Tidak sulit, sebenarnya. Hanya butuh sedikit dorongan dan sentuhan.
Dari Pengarang:
Aku kuat. Aku kuat. ; ____ ;
Tambahan: fugu atau ikan buntal harus diolah hati-hati, karena kalau sampai ada yang salah, bisa-bisa orang yang makan malah mati keracunan. Jadi chef yang menangani juga harus berpengalaman dalam mengolah fugu demi menjaga keselamatan konsumen. Selengkapnya di: http://sidomi.com/356431/cara-mengolah-ikan-fugu-ala-miura-san-agar-tidak-lagi-beracun/
KAMU SEDANG MEMBACA
Nights with Aries
RomanceAries menyodorkan empat pak pembalut kepada kasir. "Buat istrinya, ya, Mas?" "Iya." Aries punya kehidupan normal dari pukul enam pagi sampai enam sore. Di luar jam itu, ada kisah-kisah tak terduga menantinya setiap malam. *** © 2016 Erlin Natawiria