Bagian 5

1.2K 98 3
                                    

Di dalam ruangan seluas 4x4 meter itu ternyata matanya sulit untuk dipejamkan. Bagaimana pun ia belum bertemu ayahnya setelah kepergok 2 kali jalan berdua dengan teman kerjanya. Belum ada kejelasan mengenai hubungan mereka, pula dirinya tidak bisa bertanya secara langsung kepada ayahnya sebab hingga malam melarut ayahnya belum juga kunjung pulang. Hal itu jelas membuatnya tidak tenang.

Jika kecurigaannya benar, sungguh kelakuan Appa itu sangat tengik dan tidak berperasaan. Kenapa Appa tega melakukan semuanya itu? Menyakiti Eomma dan melukai hatinya. Lebih kejam lagi karena ia mengenali wanita yang ada dalam gandengannya saat mereka jalan berdua. Park Sol Mi Immo? Ya Tuhan, apa sesungguhnya yang sedang terjadi?

Malam terus bergulir, mengikis waktu merapat kepenggalan hari yang semakin larut. Shin Hye masih terjaga, masih gelisah. Bel jam berdentang 1 kali. Jika biasanya ia akan terlambat tidur lantaran mengawasi salah satu kamar di rumah sebelah hingga lampunya mati, maka malam itu ia merapatkan jendela dan gorden kamarnya rapat-rapat. Tidak terasa air matanya mengalir membasahi pipi, firasatnya mengatakan ayahnya dengan teman kantornya itu menjalin hubungan terlarang. Dan itu membuat hatinya sakit.

Ketika bangun pagi itu kepalanya terasa pening, nyaris ia memutuskan untuk bolos tapi hari ini ada ujian Matematika. Dengan tubuh lemas terpaksa ia pergi. Appa juga kesiangan bangun, namun wajahnya tetap penuh semangat seperti biasanya bila hendak berangkat kerja. Di sepanjang jalan pun kala mengantar ke sekolah, mulutnya tak henti berceloteh. Padahal semestinya Appa merasa heran anak semata wayangnya itu terlihat begitu murung, tapi Appa tidak merasa. Appa sekarang memang telah berubah.

"Mau kemana kita?" Shin Hye terhenyak ketika Appa membelokan setir bukan ke arah sekolahnya.

"Kau tidak mendengar Appa ngomong? Kita mau jemput Sol Mi Immo dulu..." tukasnya santai.

"Mwo?" Shin Hye melotot pada ayahnya.

"Kenapa harus melotot?"

"Kenapa Appa harus jemput Immo segala?"

"Jangan berteriak pada ayahmu!" Appa balas membentak. Shin Hye langsung diam. "Bukan baru sekarang Appa jemput Immo, kenapa sekarang kau harus panik?" lanjutnya.

Iya, memang Appa sering melakukan ini, menjemput Sol Mi Immo sebelum mengantarnya ke sekolah. Tapi kenapa ia baru panik sekarang. Karena dulu ia selalu menganggap Sol Mi Immo teman baik Eomma, kawan sekantor Appa. Sol Mi Immo kawan baik keluarganya, kenapa heran bila Appa menjemputnya sekalian jalan. Padahal Eomma juga merestui. Lagi pula kebiasaan ini sudah berlangsung lama.

"Kau cemberut?" Appa meliriknya lagi.

"Ani." ia menukas ketus.

"Pagi-pagi jangan mengawali hari dengan cemberut, keberuntungan malas datang nanti." nasehatnya. Ia tak menyahut.

Rumah Sol Mi Immo memasuki jalan kecil, sekarang ia tinggal bersama ibunya, sebab suaminya bekerja di luar negeri yang pulangnya tidak tentu. Karena tinggalnya yang berjauhan itu barangkali, sampai kini Immo tidak juga dikaruniai anak. Itu alasannya terhadap Shin Hye dia begitu sayang, Shin Hye juga merasakan hal yang sama kepadanya. Sudah seperti terhadap keluarga sendiri saja. Namun bila ketakutannya akan hubungan Immo dengan Appa jadi nyata, Shin Hye tidak akan mengampuninya. Tidak!

Turun di gerbang sekolah seperti diantar oleh kedua orang tuanya, dan mungkin begitu teman-teman yang tidak mengenali ibunya akan mengira. Selanjutnya Immo mengambil tempat di sebelah Appa bekasnya duduk saat ia turun, dan itu membuatnya muak. Seketika saja ia menjadi tidak respek kepada kawan baik Eomma ini. Sekarang baru tempat duduk Eomma di dalam roda empat itu yang diambilnya, jangan sampai tempat Eomma di sisi Appa juga diambilnya. Jika itu terjadi Shin Hye tidak akan memaafkan wanita itu.

Lesu ketika melangkah menuju kelas, dan masgul hatinya saat mendapati tatapan Yong Hwa penuh curiga kepadanya. Iya, karena Jung Yong Hwa tetangganya, terang tahu yang mana ibunya. Lalu wanita tadi itu siapa? Mungkin itu yang ditanyakan cowok itu lewat sorot matanya. Shin Hye duduk di bangkunya tanpa semangat, tas Kang So Ra sudah ada tapi orangnya tidak nampak. Dirogohnya buku dari dalam tas, tapi batal untuk membukanya. Ia merasa Yong Hwa masih memperhatikannya, dan memang iya, mata hitam itu masih juga lekat ke arahnya.

Untuk kali ini ia merasa benar-benar kesal dengan tatapan itu. Hatinya merasa Yong Hwa tengah mencemoohnya. Sebab memergoki Appa duduk bersebelahan dengan wanita yang bukan istrinya di dalam roda empatnya. Jika tidak mau disebut cowok itu menuduhnya bersekongkol, membiarkan ayahnya membawa wanita lain dalam mobilnya?
Shiiittt! Shin Hye tiba-tiba membanting bukunya. Ia kesal bukan main.

"Ommo... Ommo... Whe geudae? Kenapa kau ini?" So Ra yang baru tiba di bangku mereka kaget mendapatinya uring-uringan.

"Menyebalkan!" umpatnya marah.

"Menyebalkan kenapa?"

"Ikut campur urusan orang."

"Siapa dan urusan orang apa?" So Ra mengerutkan dahi.

"Ada orang di kelas ini yang menyebalkan... karena ikut campur dengan hidup orang lain." omelnya seraya meneleng Yong Hwa dengan ujung mata.

"Nugu?"

Shin Hye memungut bukunya dari lantai tapi lalu melemparnya lagi ke atas meja sambil kali ini matanya menukik tajam pada mata Yong Hwa. Mendapati tatapan setajam itu Yong Hwa buru-buru memalingkan wajah.

Ada apa dengan gadis itu? Kenapa jadi marah-marah kepadanya? Yong Hwa membatin. Tapi hatinya menerka apa yang membuat Shin Hye kesal padanya. Pasti lantaran dirinya memergoki ada wanita lain di dalam mobil ayahnya yang bukan ibunya mengantar ke sekolah. Apa iya hal demikian harus membuat marah? Ah, dasar! Dasar pemarah. Menyebalkan saja.

Demikian Shin Hye setelah berusia 17 tahun, pemurung, sensitif serta gemar melamun. Dan ngerinya kedua orangtuanya seperti tidak menyadari akan perubahan drastis yang terjadi pada anaknya itu. Mungkin karena mereka sama-sama sibuk, hingga tak punya waktu lagi untuk memperhatikan anak semata wayangnya.

Masing-masing seperti sengaja saling menghindar dengan mencari-cari kesibukan sendiri-sendiri. Appa pergi pagi pulang larut malam, Eomma tidak betah tinggal di rumah sepulang kerja. Shin Hye sering merasa kesepian di rumah itu sendirian sementara ia tidak tahu harus bertanya kepada siapa akan apa yang terjadi dengan kedua orangtuanya tersebut. Di dalam kamarnya ia lebih suka mengurung diri, tidak ada lagi membuka jendela lebar-lebar lalu mencuri pandang ke rumah sebelah. Sekarang daun jendela itu selalu tertutup rapat dan tetap begitu kendati Yong Hwa sengaja menampakan diri di sana, berlama-lama berdiri diambang jendela berharap gadis itu akan mengintip seperti biasa dari balik jendela kamarnya. Lalu dengan gugup cepat sembunyi ketika Yong Hwa memergoki kelakuan tengilnya itu.

Pemuda itu merasa kesal sekali, diintip saat tubuhnya telanjang dada. Berdiri diambang jendela tujuannya untuk mengusir keringat sebelum pergi mandi. Tapi rupanya jadi tontonan gratis gadis tetangga sebelah yang pastinya sudah sejak menempati rumah itu hal demikian terjadi. Ia tidak menyadarinya. Baru mengetahuinya beberapa bulan terakhir ini, saat tidak sengaja matanya tiba-tiba menemukan sepasang mata dari balik jendela rumah sebelah yang tengah asyik menatapnya sambil senyum-senyum nakal. Ia terkejut luar biasa, begitupun gadis di kamar sebrang tampak terkaget.

Segera ia menyembunyikan diri ke belakang tembok tapi tak lama wajahnya melongok lagi pelan-pelan memastikan Yong Hwa sudah pergi dari ambang jendela, namun Yong Hwa yang marah tidak lekas beranjak, malainkan berkacak pinggang sambil mata melotot ke arahnya. Seketika itu juga ia ngumpet lagi ke belakang tembok sambil meraba dadanya yang berdebar kencang. Ia kira tidak akan kepergok seperti biasa bila ia diam-diam mengintip pemuda itu dari jendela kamarnya. Ia suka menatap tubuh atletisnya kala telanjang dada seperti itu, sesuatu yang tidak akan didapatkan oleh teman-teman ceweknya di sekolah. Bahkan oleh cewek yang notabene paling dekat dengannya yaitu Seo Hyun. Ia sangat beruntung, seperti yang dikatakan Kang So Ra.

Dan saking gembira sahabatnya itu pun pernah dibawanya mengintip. Seusai latihan basket suatu sore So Ra melihat Yong Hwa melepas kaosnya di ambang jendela, macho sekali, sampai menahan napas ia dibuatnya. Lalu keduanya sepakat jika pengalamannya mengintip tubuh atletis cowok cool teman sekelas mereka itu adalah pengalaman paling menyenangkan. Dan hingga detik ini hanya menjadi rahasia mereka berdua.

TBC

Usia 17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang