Bagian 2

2.4K 126 6
                                    

Shin Hye menunduk, menatap ujung sepatunya. Iya, dari mendengarnya saja tempat itu jauh lebih menggiurkan. Bagaimana pun restoran Jepang pasti lebih mahal....

"Tidak apa-apa kan, aku dengan Yong Hwa tidak ikut pestamu, Shin?" dengan tatap penyesalan Seo Hyun meminta pengertian Shin Hye.

"Nde, gwenchana Seo Hyun-ah. Bukan acara penting kok." Shin Hye memaksa tersenyum, meski hanya senyum getir.

"Ok, thank's. Sekali lagi selamat ulang tahun ya! Kita duluan, selamat bersenang-senang!" Seo Hyun memeluknya sekilas sambil berpamitan. "Sorry sekali lagi, karena acaranya bentrok."

Shin Hye tidak menyahut tapi matanya terus menatap gadis berparas menawan itu duduk digoncengan motor tinggi Yong Hwa berlalu dari hadapan mereka. Seo Hyun dengan Yong Hwa hanya berdua, di tempat makan yang mahal. Seperti pasangan kekasih. Semestinya dirinya yang pergi kesana berdua dengan Yong Hwa bukan Seo Hyun, karena dia yang tengah berulang tahun ke-17 saat ini. Tapi rupanya semua itu hanya mimpi saja baginya. Karena jelas si 'tetangga sebelah' lebih memilih gadis lain di hari ulang tahunnya ke-17.

"Sudah, jangan sedih! Kita kan masih ada buatmu." So Sa merengkuh pundaknya, Shin Hye tercekat. Buru-buru diurainya seulas senyum, mencoba tegar. So Ra tentu tahu kekecewaan di hatinya. "Jong Suk nungguin tu..." So Ra menunjuk dengan dagunya. "Kelihatannya dia punya kado istimewa untukmu, Shin."

"Jangan menghiburku, So Ra-ya."

"Bukan menghibur, tapi kita semua nunggu kapan kita berangkat."

"Baiklah. Ayo kita berangkat, Kang So Ra-ssi!" senyumnya lalu memaling kepada semua orang seraya berteriak. "Let's go yeorubun!"

Jung Yong Hwa, nama itu sudah memikatnya jauh sebelum ia mengenal orangnya. Lewat cerita So Ra sejak SMP, nama itu telah begitu akrab dikupingnya. Ia tidak menduga jika kini ia bukan saja menjadi tahu, namun kenal bahkan dengan keluarganya.

Bermula dari putusan Appa untuk berpindah rumah saat ia memasuki tahun kedua bangku SMA, dan siapa menyangka bila rumah barunya itu berdampingan dengan rumah pujaan hati So Ra tersebut. Dan semakin menegaskan keberadaan dia di hati Shin Hye saat kelas mereka pun sama. Pelan-pelan Shin Hye mulai mengenal pribadinya. Kesehariannya, kebiasan-kebiasaannya di rumah, kebaikan dan kejelekannya, sampai kepada sikapnya yang terkadang kekanakan atau tampak begitu dewasa.... semuanya. Semuanya tentang Jung Yong Hwa.

Secara keseluruhan tidak ada yang benar-benar istimewa pada dia. Segalanya terlihat wajar dan biasa-biasa sebagai anak manusia dan mahkluk ciptaan Tuhan. Namun kewajaran itulah yang memposisikan Yong Hwa pada tempat terdalam di hati Shin Hye. Kewajaran yang oleh mata hatinya terlihat sebagai kesempurnaan. Yang pada akhirnya menciptakan benih kasih bersemi di dalam sanubarinya. Seperti juga yang pernah dialami So Ra sebelumnya barangkali.

Tapi sungguh sayang, benih itu hanya tumbuh subur di taman hatinya saja. Tumbuh oleh angan yang terus bermain-main di alam khayalnya, tidak di benak dan hati Yong Hwa. Cowok itu sama sekali tidak melihatnya kendati mereka bertetangga dan berada di kelas yang sama.

Shin Hye menghela napas. Menyeka mulutnya dengan tissue, lalu tanpa semangat membereskan piring dan gelas kotor dari atas meja. Makan malamnya berlalu tanpa selera. Ia teramat sedih. Usianya 17 tahun kini, tetapi tidak ada yang dapat dibanggakan. Tujuh belas tahun baginya tak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Adalah sendiri tanpa tambatan hati. Malah lebih menyedihkan dengan fakta dirinya bertepuk sebelah tangan.

"Ada kado dari Sol Mi immo, Shin. Eomma letakan di kamarmu." Wanita itu, yang telah melahirkannya 17 tahun lalu mempertegas dugaannya akan bungkusan yang tersimpan di atas meja di dalam kamarnya.

"Aku sudah lihat, Eomma." tukasnya tak acuh.

"Apa isinya?"

"Belum dibuka. Mungkin besok."

"Kenapa harus menunggu besok? Eomma yakin sebentar lagi Sol Mi Immo telepon, bertanya apa kamu suka kadonya."

"Akan kubilang saja suka, Eomma. Paling isinya seperti yang lalu-lalu. Boneka. Kalau bukan buat teman tidur, buat dipajang di lemari." Shin Hye mencibir. "Teman Eomma itu kan masih menganggap aku ini tetep anak kecil. Bukan remaja yang sudah berusia 17 tahun." sungutnya.

"Hust! Tidak baik bicara begitu. Bagus Immo masih ingat ulang tahunmu dan mau memberimu kado." Eomma memelototinya. "Sol Mi Immo tadi bilang, tidak sempat mengajakmu makan-makan. Ada tugas keluar kota, baru tadi pagi berangkat."

Shin Hye tersenyum kecut. Iya, seperti Appa. Tugas luar kota melulu. "Aku naik dulu, Eomma. Ada tugas untuk besok." langkahnya lurus menuju kamar.

Suasana kamarnya terasa dingin dan sepi. Suara televisi di ruang keluarga dapat tertangkap jelas. Shin Hye melebarkan daun jendela. Pandangan matanya lurus ke salah satu kamar di rumah sebelah. Entah mengapa, ia masih mengharapkan ada sesuatu yang akan dilakukan Yong Hwa pada ulang tahunnya selain apa yang disaksikan oleh mata kepalanya sendiri siang tadi kala dirinya hendak merayakan pesta kecilnya. Cowok itu memilih pergi menemani Seo Hyun di saat seluruh kelas pergi bersamanya.

Ia masih mengharapkan Yong Hwa akan mengucapkan selamat ulang tahun yang tadi tidak didengarnya padahal seluruh kelas mengucapkannya. Bukan mengharapkan hal spesial dari cowok itu, hanya ucapan selamat sebab ulang tahunnya itu yang ke 17. Hanya itu saja tidak banyak. Dan hatinya akan sangat bahagia, berasa jika ulang tahunnya tersebut betul-betul sweet seventeen. Hingga detik itu dia satu-satunya yang tidak mengucapkan selamat terhadapnya, padahal itu ulang tahun ke-17.

Shin Hye menghela napas. Hingga angin malam yang dingin menerpa wajahnya, dan hingga satu-satu lampu di rumah sebelah dimatikan, harapannya hanya tinggal angan hampa belaka. Tangannya merapatkan daun jendela pelan. Sekali lagi Tuhan abai dengan permohonannya. Agaknya Tuhan masih ingin menguji kesabarannya hingga sebatas mana? Atau lupakan saja si tetangga sebelah itu? Shin Hye menggeleng. Tidak mudah. Amat sangat sulit.

Usia 17 yang fenomenal. Betapa tidak, Dong Gun Samchun yang sedang tugas di Chun Chuen mempercepat kepulangannya hanya untuk mentraktirnya.

"Tinggal bilang, ingin merayakan party-nya dimana!" pandang Samchun bahkan sampai menjemputnya ke sekolah. Shin Hye tidak menjawab, malah tidak sedikitpun rona ceria tergambar di wajahnya atas tawaran yang menggoda itu.

Kalau mau jujur, Shin Hye kurang menyukai kawan ibunya yang satu ini. Entah mengpa? Padahal dia selalu baik. Sangat baik. Layaknya seorang ayah saja. Tapi bila melihat tatap matanya pada Eomma, serta sedikit kisah yang pernah dituturkan oleh Sol Mi Immo padanya, Shin Hye selalu curiga kebaikan Ajhussi itu bukan kebaikan yang tulus dari dasar nuraninya. Melainkan karena ada udang di balik batu.

"Kau tinggal sebut saja, Shin. Dan Samchun akan pinjami kau kartu ini untuk kau pergunakan sesukamu." dia mengacungkan kartu bank.

Shin Hye menarik ujung bibirnya kecut. "Gomasmidha, Samchun. Tapi tidak usah, aku sudah cukup bahagia dengan sup rumput laut yang dibuat Eomma." tolaknya tegas.

"Yakk... ini sweet seventeen-mu! Kau tidak ingin merayakannya? Mengundang teman-temanmu? Come on! Buatlah yang meriah. Ingat, sweet seventeen hanya terjadi sekali seumur hidup."

Bola mata lelaki itu memutar-mutar menggodanya. Kuduk Shinhye meruap, membayangkan sesuatu di benaknya.

"Sekali lagi terima kasih tapi aku tidak menginginkannya. Dan lagi seperti yang Samchun ketahui, Appa sedang tidak di rumah. Aku tidak mungkin membuat pesta tanpa Appa."

"Tidak ada Appa-mu bukankah ada Samchun yang menggantikannya. Apa bedanya?"

Shin Hye sampai mendelik, apa bedanya? Sudah jelas berbeda. Sangat berbeda.

"Atau anggaplah ini sebagai hadiah sweet seventeen-mu dari Samchun, otte?"

Shin Hye malas menyahut. Hanya menggeleng dengan keras. Moga-moga Ajhussi ini faham.

TBC...

Usia 17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang