Bagian 9

1K 102 1
                                    

Berkat tetangga sebelah, Shin Hye jauh lebih tenang saat kedua orang tuanya mengajak bicara malam itu. Kalimat-kalimat Yong Hwa mengiang di telinganya :

Kau egois bila hanya memikirkan kebahagiaanmu padahal jelas Eommonim menderita. Dan bila selama ini keharmonisan mereka hanya kamuflase, kau telah menyiksa mereka sangat lama. Jangan hanya memikirkan kebahagiaan sendiri, Shin Hye-ya! Kebahagiaan mereka pun sangat penting.

Ia akan menerima keputusan pahit itu dengan lapang. Seperti yang dikatakan Yong Hwa, dirinya harus turut memikirkan kebahagiaan kedua orangtuanya. Hal itu ditunjukannya dengan mendengarkan secara seksama penjelasan keduanya mengenai rencana perceraian tersebut. Tanpa sedikit pun protes. Appa sampai memeluknya erat selesai pertemuan itu menyampaikan terima kasih, begitu pula Eomma.

Meski masih murung tapi hari itu ia dapat mengikuti pelajaran dengan baik, Yong Hwa yang duduk di bangku belakang terus mengawasinya. Belum mendengar lagi kabar terbaru tentang rencana perceraian orang tuanya, tapi kondisinya jauh lebih baik dibandingkan kemarin.

Akibat kemarin Yong Hwa tidak masuk sekolah, berbarengan pula dengan Shin Hye. Seo Hyun meradang padanya.

"Kenapa bisa bersamaan dengan Shin Hye tidak masuk sekolah? Pergi kemana kalian?" interogasi gadis semampai itu galak.

"Dia yang tidak masuk nanya padaku, mana aku tahu...?" Yong Hwa mengelak dengan santai.

"Karena kalian mencurigakan, tidak masuk bareng-bareng padahal kalian juga bertetangga. Sama-sama tanpa ada pemberitahuan resmi... bagaimana aku tidak berpikir kalian bersama kemarin." raung Seo Hyun lagi.

"Aku sudah bilang pada Min Hyuk ada keperluan mendesak..."

"Lalu kenapa kau tidak memberitahuku?"

"Ponsel-ku mati."

"Bohong!" belalak mata kecil lucu itu.

"Ya sudah, kalau tidak percaya." Yong Hwa tak peduli.

"Benar dia telephon kau kemarin, Hyuk-ah?" merasa tidak percaya, ia menuding teman sebangku Yong Hwa.

"Eoh." angguk lelaki bermata sipit itu.

"Awas kalau kalian sekongkol!" ancam Seo Hyun dengan cantiknya. Kang Min Hyuk hanya mengedikan bahu, membuat gadis berdagu lancip itu menghentakan kaki pergi dari hadapan mereka. "Aisshhh...!" umpatnya keras.

Seketika mata-mata melirik ke arahnya. Kecuali Shin Hye, hanya diam melamun.

"Seperti pada suaminya saja, tidak bertemu sehari diomelin. Kalau memang Yong Hwa merasa dia penting, saat hendak tidak masuk kemarin pasti memberi-tahunya, ini ngabarin pun tidak. Jadi ketahuan siapa yang ngejar siapa." gerutu So Ra gemas.

Seperti tadi Shin Hye tidak bereaksi. Bahkan mungkin mendengarpun tidak apa yang diocehkan sahabatnya itu. Yang terngiang-ngiang di kupingnya masih saja pembicaraan kedua orangtuanya semalam, lalu hatinya terasa nyeri. Tapi tak bisa apa. Seperti yang dinasehatkan Yong Hwa semua itu adalah ketentuan Tuhan.

Meski menyakitkan, ada hal positif yang tidak boleh ia abaikan kata Yong Hwa kemarin, setidaknya penderitaan Eomma karena pengkhianatan Appa berakhir. Sangat betul analisa pemuda itu, demikian jugalah yang menjadi alasan Eomma kenapa meminta berpisah. Dan luar biasa, rupanya Eomma sudah cukup lama menahan penderitaan itu. Karena agaknya sudah dari lama pula Eomma mengetahui hubungan terlarang Appa dengan Sol Mi Immo. Betul-betul pagar makan tanaman kelakuan Sol Mi Immo. Bukankah Eomma itu adalah teman karibnya? Kenapa tega sekali. Pantas ia tenang-tenang saja ditinggalkan suaminya bekerja di luar negeri dalam waktu yang tidak menentu, karena ada Appa yang mengisi kehampaanya. Tiba-tiba Shin Hye merasa perutnya mual. Terburu-buru ia berlari ke toilet. Termuntah-muntah di sana. Membayangkan mereka berdua sungguh menjijikan.

Jika memang alasannya begitu, ya sudah ia pun tidak dapat berkeras dengan keinginannya sendiri. Kebahagiaan Eomma tak kalah penting dari kebahagiaannya sendiri. Jika perceraian adalah jalan untuk menuju kebahagiaan keduanya, Shin Hye setuju dengan keputusan menyakitkan itu.

Saat hendak pulang sekolah Yong Hwa mewanti-wanti So Ra supaya memastikan Shin Hye tiba di rumahnya dengan selamat, bagaimana saja caranya. Akan lebih baik diantarkan saja pesannya. Karuan Kang So Ra jadi belingsatan lalu memberondongnya dengan pertanyaan.

"Apa memang yang terjadi dengan Shin Hye? Apa yang kau ketahui yang aku tidak tahu tentangnya?" kening So Ra berkerut. "Mengapa kau lebih tahu dariku? Dan mengapa sekarang kau peduli pada Shin Hye? Tunggu... Jangan bilang, kemarin kalian bersama?" mata So Ra melotot.

"Kenapa kau jadi banyak tanya padaku? Yang punya masalah itu sahabatmu, kenapa tidak kau tanyakan saja padanya?" Yong Hwa balas melotot gemas.

"Ommo... coba katakan sekali lagi! Bahkan sekarang kau tahu Shin Hye punya masalah! Malhae! Katakan padaku cepat, Jung Yong Hwa! Ada apa dengan Shin Hye?" So Ra sampai menghalangi Yong Hwa yang akan melangkah.

"Sudah kubilang, kalau mau tahu tanyakan sendiri! Makanya antarkan dia pulang sambil kau tanya dia punya masalah apa? Tolong minggir!"

"Yakk... kenapa bukan kau saja yang pulang bareng dengannya? Rumah kalian berdampingan. Kenapa malah menyuruhku?"

"Aku pasti ajak pulang bareng kalau dianya mau. Tapi dia tidak mau, arra?"

"Sudah pasti, karena biasanya pun kau tidak peduli."

Yong Hwa akan mengonter, tapi Shin Hye terlihat keluar dari pintu kelas, berjalan ke arah gerbang. Tanpa lirik kiri kanan.

"Lihat dia sudah akan pulang, kau tidak akan mengantarnya?" Yong Hwa menunjuk dengan dagunya.

"Ishh... kalian berdua menjengkelkan. Kau berhutang penjelasan padaku." gerutu So Ra seraya balik badan, tidak ada pilihan selain harus mengejar sahabatnya yang sudah melangkah jauh. "Shin Hye-ya... Park Shin Hye, gat-i ga!" teriaknya sambil berlari.

Yong Hwa pun segera menuju motor trail-nya. Tidak jelas apa yang membuat hatinya demikian gelisah memikirkan tetangganya itu? Terlintas di benaknya apa yang ia lihat kemarin, Shin Hye berjalan linglung sepanjang jalan, ia khawatir kali ini pun akan begitu lagi. Selama di kelas tadi seperti dapat mengikuti pelajaran, tapi tampak tidak fokus kala menjawab pertanyaan. Jelas sekali jika dia masih melamun seperti kemarin. Itu sebabnya Yong Hwa merasa khawatir Shin Hye tidak akan sampai di rumah bila dibiarkan pulang sendiri.

Harusnya ia pergi latihan Taekwondo sore itu, tapi batal memarkir motornya di pelataran parkir gelanggang. Ia memilih pulang saja untuk memastikan gadis tetangga sebelah sampai di rumah dengan selamat. Tiba-tiba hal buruk melintas di benaknya. Bagaimana bila di program berita televisi nasional besok, menjadi headline, mayat seorang gadis mengambang di permukaan sungai Han. Atau diberitakan seorang gadis menerjang Korea Train eXpress (KTX) yang sedang melaju. Atau juga seorang gadis lompat dari atap gedung lantai 12... Yong Hwa benar-benar cemas.

Shin Hye anak semata wayang, kedua orangtuanya sedang fokus pada urusan masing-masing, orang-orang terdekatnya justru yang terlibat masalah. Jika rasa putus asanya sudah diubun-ubun, maka hal buruk tersebut bisa saja terjadi. Yong Hwa tidak mau mendengar kabar buruk demikian terjadi pada tetangga sebelahnya itu. Terlebih dirinya satu-satunya orang luar yang mengetahui masalah yang menimpa gadis itu. Tak kan berujung rasa sesalnya bila apa yang ditakutnya terjadi. Maka tanpa pikir panjang lagi dirinya melarikan trail-nya seperti kesetanan menembus ramainya lalu lintas. Ia berpacu dengan rasa cemasnya yang mengepung kepala.

Tanpa membutuhkan waktu lama dirinya tiba di rumah. Hal pertama yang dilakukannya memburu ke kamarnya. Dibuka daun jendela kamarnya lebar-lebar, matanya berusaha keras menemukan sosok Shin Hye di dalam kamar sana. Tapi jendela kamar itu rapat seperti beberapa hari terakhir ini, dan tidak tampak apa pun terlihat dari kamarnya. Mungkin karena jarak serta ukuran jendela yang diterobosnya tidak lebih dari 2x3 meter, dihalangi tirai, sehingga matanya sulit untuk menjangkaunya.

Harusnya dirinya pun memiliki teropong seperti yang dimiliki Shin Hye untuk mengintip kamarnya. Bila Yong Hwa tidak juga membuka jendela kamarnya, gadis itu mengintip aktifitas di kamarnya melalui teropong jarak jauh. Nakal sekali. Tanpa sadar bibir Yong Hwa menguak kecil. Gadis itu berasa aman mengintip dengan mempergunakan teropong. Padahal Yong Hwa sangat tahu yang dilakukannya itu.

TBC..

Usia 17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang