Bagian 1

6.1K 149 8
                                    

Dering telepon di sebuah rumah terdengar di tengah malam buta itu, satu kali, dua kali... tidak ada yang bergerak untuk mengambilnya. Jarum jam yang berdiri di pojokan rumah menunjuk pada pukul 00.06 menit. Waktu dimana semua orang tengah tertidur lelap. Begitu pun penghuni kedua kamar di rumah itu. Sama-sama lelap.

Tapi tanpa menyerah suara telepon itu terdengar lagi, kian keras rasanya. Gadis yang berbaring di salah satu kamar, malah tambah erat memeluk guling. Inikan masih dini hari, belum lagi subuh... Sebentar lagi saja, ini mata masih berat. Benaknya berceracau, menolak untuk menerima panggilan telepon yang seharusnya lekas ia sahuti meski sedang enak tidur. Sebab nyata telinganya mendengar dan tidurnya terjaga. Hingga akhirnya seseorang keluar dari kamar lain, lalu menyahuti panggilan itu. Berbicara sebentar di telepon, lantas menyeret langkah menuju kamar yang bukan kamarnya.

"Shinhye-ya.... Tall, bangun! Appa telepon..."

Jelas panggilan telepon itu untuk sang putri, bukan untuknya. Ya, meski ngantuk luar biasa, tak urung si gadis membuka mata. Seorang wanita berusia diambang 45 tahun berdiri di samping tempat tidur seraya menyodorkan pesawat telepon wireless. Gagal menghubunginya lewat telepon seluler, rupanya Appa mengganggu tidur Eomma.

"Appa?" tanyanya sambil mengumpulkan kesadaran.

"Eoh. Cepat terima!"

Diambilnya benda melengkung serupa pisang itu dari tangan ibunya, lalu ia letakan di telinga.

"Yobseyo, Appa..." Ia membuka percakapan.

"Yobseyo, tall! Saeng-il Chukha hae, Urri aga-ya!" suara ayahnya ceria disebrang sana.

"Annyong, Appa ! Gomawo. Terima kasih sudah telepon, tapi aku ngantuk sekali. Boleh ngobrolnya kita lanjutkan besok?" Shin Hye tidak bisa menahan matanya.

"Astaga.... anak ini! Appa sampai tidak tidur supaya tidak terlambat mengucapkan selamat padamu, tepat tengah malam. Tapi lihat jawabanmu.... Aigo!" lelaki paruh baya disebrang sana pura-pura kesal.

"Mianhe-yo! Tapi aku betul-betul ngantuk... tadi siang jadwalku sangat padat. Terima kasih sekali lagi Appa orang pertama yang mengingat ulang tahunku."

"Ya sudah, maaf Appa sudah mengganggu tidurmu. Tidur yang nyenyak. Selamat ulang tahun, Sayang!"

"Terima kasih. Selamat tidur juga, Appa. Cepat pulang!"

Sambil masih terpejam ia menyerahkan kembali pesawat telepon kepada ibunya, lalu menarik selimut dan tidur lagi.

"Aigo.... Park Shin Hye..." ibunya geleng kepala. Tapi sambil tak urung meniru apa yang suaminya lakukan. "Selamat ulang tahun, Sayang!" bisiknya sebelum beranjak seraya mengecup rambut anak gadisnya yang pula tidak menanggapi selain oleh lenguhan kecil.

"Mmh."

Seventeen! Itu dia usianya sekarang. Sudah gede. Orang menyebutnya mulai dewasa.

"Siapa pacarmu sekarang?" tanya Appa saat ditelepon tadi. Ia hanya senyum. "Jadi dengan tetangga sebelah?" Yak... Appa! Malu kalau ada yang dengar. Tapi tidak perlu malu kalau sama Appa. "Appa juga pernah muda, pernah mengalami hal-hal yang kini kamu alami, tal!" cerita ayahnya. Shin Hye mesem.

Sebenarnya ia malu Appa sampai mengetahui hal beginian tentang dirinya, tapi itulah ayahnya. Selalu harus tahu urusannya hingga ia tidak dapat lagi menyimpan rahasia hatinya dari lelaki penuh kasih itu. Dan Appa pandai sekali mengoreknya. Makanya jangan heran, jika mengenai perasaannya terhadap tetangga sebelah pun Appa sampai mengetahuinya.

Usia 17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang