Jepretan Kamera

1.7K 344 7
                                    




Untuk Felix, Arin selalu mau menunggu.

Buktinya sekarang Arin masih setia menunggui Felix yang duduk di meja kantin meski tahu betul konsekuensinya nanti ia bakal kena marah guru tematik karena telat masuk kelas.

Kata Jeongin, akhir-akhir ini Felix memang agak susah diberitahu. Bahkan sampai 10 menit sejak dering bel masuk kelas, si pemilik rambut cokelat halus berjaket biru itu masih kerasan duduk di kantin, malah sesekali Felix tampak mengamati, memiringkan, memutar-mutar kamera di tangan.

"Kubilang nggak usah menungguku, sana masuk kelas, ngapain juga disini" tuturnya sangat khas Felix. Dingin tapi nggak kasar. "Stop sok kasih perhatian, Aku lebih suka diberi wafer atau momogi. Serius."

"Mengaku saja kalau kamu mau bolos pelajaran." Arin mendudukkan diri tepat di pinggir bangku panjang di depan Felix. Bukan mau mengolok Felix atau apa tapi faktanya belakangan ini membolos pelajaran sudah menjadi 'keseharian' Felix di sekolah.

"Bolos?" Yang ditanya menggeleng judes, "Mana mungkin aku bolos, aku ada rapat osis, sudah sana masuk kelas, kepalaku pusing!"

Ada keryit kecil di antara mata Arin, jelas nggak bisa menghapus raut kecurigaan dari wajahnya. Arin memandang Felix dari ujung kepala hingga turun ke kameranya lalu berhenti ketika mereka bersitatap yang lantas dibalas Felix dengan air muka yang sungguh masa-bodoh amat.

Arin membalas lugas, "Bohong kamu."

"Kok tahu?" alis Felix berjungkit naik. Ia tipe yang nggak terlalu jaim, kalau ketahuan ya ngaku aja.

"Kalau emang benar, kamu pasti sudah di ruang osis, bukannya di sini."

Felix mengeluh malas, lalu memutar tubuhnya yang semula berhadapan dengan Arin untuk membelakangi cewek itu, namun tak lama berbalik lagi untuk memerintah, "Daripada ngomong terus, mending belikan aku minuman deh." katanya sambil mengarahkan kamera ke wajah Arin, entah apa maksudnya.

"Mau kau apakan kameranya?"

"Memang menurutmu fungsi kamera untuk apa?" Felix menyipit, mengintip dari lubang lensa, "Hei Arin, bisa sedikit geseran ke kiri?"

Awalnya Arin agak bingung namun beberapa sekon berikutnya dia menurut, Fungsi kamera untuk mengambil gambar kan?

Berarti-- Arin menguak senyum cerah yang juga dibarengi dengan kepercayaan tinggi memasang pose dua jari

"Begini?" tanya Arin siap dengan posenya, pipinya bersemu.

Felix menggeram, "Astaga! Kok banyak banget orang kumpul di sana, menghalangi pandangan aja."

Hah? Kepala Arin berputar, lekas-lekas menengok ke belakang.

Atensi Arin serta-merta terpusat pada satu hal. Karina. Cewek yang duduk sendiri di bangku paling pojok. Ketua osis yang cantik dan tidak terlalu ramah, dengan rambut panjang yang dibiarkan begitu saja jatuh hingga ke punggung lalu melewati bahunya.

Pelan, senyum Arin melesat turun.

Jadi Felix mau ambil foto Karina?

Si objek kekaguman Felix itu sendiri kini sibuk memperhatikan layar gadgetnya tanpa tau menahu eksistensinya tengah dijadikan fokus sasaran bidikan.

"Kalau begini kan susah..aku nggak bisa ambil gambarnya. Hei Arin, kau menghalangi pandanganku. Minggir sana! Ngapain sih disitu!"

"Kamu suka sama ketua?"

Felix merengut lantas menukas, "Sama cewek luar biasa sombong dan berambisi selangit itu?"

Arin penasaran, meski begitu ada perasaan lega mendengar olokan Felix untuk Karina barusan. Apa tadi? Cewek luar biasa sombong dan berambisi selangit? 

Sudut bibir Arin tertarik lebih tinggi. Dirunut dari kata-katanya, nggak mungkin kalau Felix naksir Karina kan, pikir Arin lega.

"Ya. Aku suka, kenapa? nggak boleh?"

Eh?

Halo, Karina - Lee FelixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang