Heart to Heart #2

1.5K 46 7
                                    

Afkar tak habis pikir apa yang membuat putri kesayangannya bisa menangis tersedu-sedu seperti sekarang ini, tidak mungkin ia tiba-tiba menangis padahal dari tadi Ola sedang asyik bermain bersama pengasuhnya sambil menunggunya hanya untuk mengambil beberapa berkas bahan seminarnya minggu depan.

“Ola kenapa sih ? Jangan bikin Papa khawatir sayang!”

Sekilas ia melirik gadis yang bersama anaknya tadi. Gadis itu masih terus memandangnya atau memandang Ola yang jelas mata gadis itu tak berpaling darinya dan putrinya. Terbersit pikiran curiga dikepala Afkar, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi pikirnya. Jangan-jangan gadis itu menyakiti atau mungkin membentak anaknya, karena merasa terganggu dengan kehadiran anak kecil di area kampus, itu mungkin saja.

“Ola sayang kamu kenapa?, memangnya Ola diapa-apain ya sama cewek itu?…ayo ngomong ke Papa sayang kamu jangan nangis terus!”

Afkar sengaja mengucapkan kata-kata tersebut sedikit lebih keras. Dan akibat pertanyaannya tersebut bukan cuma Eliza saja yang terkesiap, beberapa orang yang berada di area tersebut sama herannya dengan Eliza dan memandangnya dengan tatapan aneh seperti menyalahkannya. Apa yang salah? , batin Afkar bertanya ia hanya seorang ayah yang khawatir karena tiba-tiba mendapati putrinya dalam keadaan menangis tersedu-sedu dalam dekapan seorang gadis yang mungkin adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada putrinya itu.

“Ehheem…permisi”. dengan dehemannya, Eliza mencoba mencela percakapan Bapak dan anak tersebut. Rupanya tidak butuh waktu lama bagi Eliza berfikir untuk meluruskan apa yang menjadi kesalahpahaman antara dirinya dengan laki-laki tersebut. Kalau di ibaratkan sebuah kasus dia juga korban disini bukan putri lelaki itu saja-kan. “Harusnya lelaki itu mengkonfirmasi dulu kepadanya dan tidak asal menuduh seenaknya saja”, geram Eliza dalam hati. 

“maaf saya tidak sopan karena menguping percakapan anda dengan putri anda. Saya rasa anda perlu mendengarkan penjelasan saya dulu sebelum membuat kesimpulan seenaknya seperti tadi. Anda pasti tau kalau itu bukan contoh yang baik untuk putri anda”.

Afkar sudah dalam posisi berdiri menghadap Eliza, dan Ola berada dalam gendongannya. Mendengar apa yang disampaikan gadis itu padanya, membuatnya mengurungkan niatnya untuk menyapa terlebih dahulu sebelum bertanya mengapa anaknya menangis seperti tadi. Sebagai seorang dosen ia tak perlu diajari seperti apa itu ‘contoh yang baik’ terlebih oleh anak ingusan dihadapannya saat ini.

“saya rasa anda tidak perlu panjang lebar menjelaskan kepada saya seperti apa itu contoh yang baik untuk anak saya. Dan sekarang tolong anda jelaskan apa yang terjadi pada anak saya”. Tanya afkar tegas. Tentunya ia tidak mau terintimidasi oleh sikap percaya diri gadis didepannya ini. Walaupun ia akui secara tidak langsung pertanyaannya memang seperti sebuah tuduhan, namun bagi Afkar itu hanyalah refleks kekhawatiran seorang Ayah pada anaknya.

“se-be-narnya…” Eliza sungguh geram mengapa ia jadi tergagap seperti itu. Apa yang seharusnya dia takuti, dia hanya perlu menjelaskan kalau putri laki-laki itulah yang tiba-tiba saja menangis tanpa alasan yang jelas, ia pun sebenarnya bingung, baru saja ingin bertanya laki-laki itu tiba-tiba datang. “tapi apa penjelasannya ini cukup masuk akal?”. Cukup tuduhan tadi yang ia terima. Eliza tak mau lagi menerima tuduhan atau bahkan penghinaan lain dari ayah gadis cilik itu.

“kenapa diam?” Afkar terlalu lama menunggu untuk mendengar apa yang ingin gadis itu jelaskan. Bukankan gadis itu tadi cukup percaya diri saat menghampirinya, mengapa rasa percaya dirinya tiba-tiba menghilang? Afkar bertanya-tanya dalam hati.

“sudahlah!, anggap saja masalah ini selesai sampai disini. Saya tidak punya banyak waktu menunggu penjelasan anda. Toh anak saya sudah tidak menangis lagi. Silahkan lanjutkan kegiatan anda. Permisi”

Tanpa menunggu balasan atas perkataannya tadi. Afkar buru-buru pergi meninggalkan Eliza yang terpaku memandang punggung laki-laki yang entah siapa namanya, menjauh dari hadapannya. Sekilas Eliza begitu kagum dan terpesona akan sosok laki-laki tersebut. Punggungnya yang lebar, jalannya yang tegap dengan Putrinya yang masih bergelayut manja dalam gendongannya seolah memancarkan perasaan yang hangat dimata Eliza. Tiba-tiba saja Eliza sadar. Ia seperti bangun dari sebuah hipnotis. Seharusnya saat ini ia marah, “sombong skali sih, memangnya dia doang yang sibuk?, gue juga kali, anak siapa coba yang tiba-tiba datang nangis-nangis gak jelas didepan gue. Manggil-manggil ‘mama’ lagi emang gue emak-emak apa. Bukannya minta maaf. Awas aja kalau sampe ketemu lagi eeerrrhhgg”. Guman Eliza bercampur dengan geraman yang dapat didengar oleh orang-orang yang sedari tadi menyaksikan apa yang terjadi antara ia dan laki-laki tersebut. Beberapa dari mereka menatapnya dengan wajah mengasihani sambil menggeleng-gelengkan kepala. Eliza tak mau ambil pusing, ia segera beranjak kembali ketempat duduknya semula sebelum gadis kecil tadi mengusiknya.

~~~

Pagi ini selain dipusingkan dengan jadwal seminar  tentang ‘Robotika’ yang harus ia hadari sebagai pembicara, Afkar juga dipusingkan oleh sikap putrinya Ola yang entah ada angin apa, bersikeras ingin ikut dengannya kekampus. Ola termasuk anak yang cerdas, cenderung jenius malah. Diusianya yang menginjak 5 tahun, Ola sudah dengan fasih membaca dan berhitung yang biasanya dikuasai oleh anak yang telah duduk di Sekolah Dasar. Gen yang Afkar dan istrinya Nungki turunkan pada anaknya ternyata mengalir deras dalam darah putrinya tersebut. Sudah cukup Ola yang saat dua hari kematian Ibunya tiba –tiba ingin ke Taman bermain yang jaraknya sekitar 1 Km dari kediamannya, namun tidak diamini oleh Rini pengasuhnya, justru mendapat sebuah kejutan berupa tindakan nekat dari Ola yang berjalan sendiri keluar rumah tanpa sepengetahuan Rini menuju Taman Bermain tersebut. Disaat Rini sadar ketidakberadaan Ola disampingnya saat itu, Rini langsung menghubunginya dan beruntung ia dalam perjalanan pulang sehingga berpapasan dengan putrinya yang berjalan dengan peluh yang mengucur deras didahinya, terlihat begitu bersemangat menuju tempat ia tuju. Entah apa alasan Ola saat itu ketika ia menanyakannya tak ada sepatah kata-pun yang keluar dari bibir mungil putrinya. Sama halnya seminggu yang lalu saat Ola tiba-tiba menangis dalam pelukan seorang gadis di koridor kampus tempatnya mengajar, Ola hanya diam tak mau menjelaskan setelah Afkar berusaha berkali-kali menanyakannya. Dan Afkar sendiri tidak mau memaksa anaknya untuk bercerita perihal kejadian itu. Hampir 3 bulan sejak kematian istrinya akibat kanker otak yang istrinya derita setahun terakhir, suatu mujizat bagi keluarganya karena Ola yang masih sangat kecil sangat mengerti dan tau apa yang terjadi pada mamanya, tanpa perlu Afkar menyusun kata-kata sederhana untuk dirangkai agar Ola tidak terguncang atas kematian Nungki istrinya.

“Ola, Papa hari ini ada seminar sayang…Ola dirumah aja ya sama mbak Rini!. Atau kerumah Oma, biar Papa anterin…mau?”

“trus papa kekampusnya kapan?...memangnya seminarnya seharian ya pa?, Papa gak mampir kekampus lagi?”

Berondongan pertanyaan Ola padanya, tanda bahwa Ola tiap hari mengamati kesehariannya dan apa yang ia kerjakan. “anaknya memang sungguh cerdas”, dalam hati Afkar tersenyum.

“Ola-kan sekarang liburan sekolah, sama, kampus juga lagi libur sayang. Jadinya papa libur juga ngajarnya.”

“Liburannya Ola kan seminggu lagi selesai, berarti sama dong sama kampusnya Papa juga, tinggal seminggu lagi kan Pa?, kalau udah selesai liburannya, Ola ikut ya Pa ke kampusnya Papa, janji deh Ola gak nakal, gak akan gangguin Papa ngajar.”

Kenekatan putrinya yang tak dapat ia perkirakan jelas membuatnya takut, kalau-kalau terjadi lagi hal-hal yang tidak ia inginkan.  Selain itu diberi tatapan memohon seperti sekarang membuat Afkar tak mampu memberi alasan untuk menolak permintaan putrinya itu.

“oke sayang kalau kampusnya sudah selesai liburannya, trus Papa sudah ngajar lagi, boleh deh Ola datang kekampus Papa. Asalkan…datangnya sama mbak Rini pas Ola pulang sekolah ya!”

“ya Papa…gimana Ola bisa ketemu kalau sebentar aja di kampus trus pulang lagi!” sahut Ola memasang wajah merengut atas persyaratan yang Papanya ajukan kepadanya.

“Maksudnya Ola apaan sayang…Ola mau ketemu siapa?”

“iya deh pulang sekolah juga gak papa…asal Ola bisa main kekampus Papa”

Mendengar apa yang putrinya katakan, membuat rasa penasaran timbul dalam diri Afkar tentang apa yang di cari Ola dikampusnya. Apakah ada hubungannya dengan gadis yang memeluk anaknya waktu itu. Belum sempat ia ingin mencari tahu dari Putrinya. Buru-buru Ola berlari menuju dapur dan meneriakkan nama Rini dan bergumam meminta kue Brownis kesukaanya.

TBC

Heart to HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang