"Ayo Pa, tangkep Ola!!...ke kanan dikit pa!-" . Suasana sore hari itu sangatlah ramai. Ramai karena suara Ola yang berusaha memberikan intruksi kepada Afkar yang matanya tertutupi kain selebar kurang lebih 10 centimeter sementara kedua tangan besarnya mencoba mencari-cari dan berusaha menggapai tubuh ringkih Ola saat suara beserta tepukan tangannya tiba-tiba terasa dekat dengannya. Beberapa kali tangannya terasa hampir menyentuh tubuh anaknya dan beberapa kali pula Ola dapat menghindar untuk kemudian memberi instruksi lagi sambil menepukkan tangannya lagi sambil tertawa-tawa.
"Happ-"
Hening.
Tiba-tiba tubuh Afkar berubah kaku tak mampu bergerak untuk lebih mempererat pelukannya agar tangkapannya tidak lagi menghindar atau sebaliknya melepaskannya. Tubuh kurus namun menjulang tinggi hampir sebahu Afkar jelas bukanlah Ola. Afkar tak tau , harusnya ia cukup bersikap biasa saja, karena toh matanya saat ini tertutup jadi Afkar seharusnya tidak perlu setegang itu. Dan sebenarnya sekejap ia mengetahui siapa yang ia tangkap, sekejap itu pula Afkar bisa saja langsung melepaskannya, namun tetap saja urung ia lakukan. Semua terasa pas bagi Afkar, tubuhnya seperti menemukan pasangannya. Dekapannya yang beberapa bulan ini terasa kosong, seperti kembali menemukan pasangannya. Pas dan tanpa cela.
Reaksi Eliza pun hampir sama dengan Afkar- tiba-tiba membeku, tanpa respon apapun. Ia tak pernah tau akan sehangat ini berada di dalam pelukan seorang pria, sama sekali ia tak pernah dekat dengan pria manapun bahkan sebuah cinta monyet khas anak remaja tidak pernah hadir dalam hidupnya akibat penyakit yang sempat ia derita. Jelas... ini jelas tak sama dengan pelukan hangat Ayah dan Ibunya. Rasa yang hadir kala dekapan Afkar yang tak lepas dari tubuhnya sungguh berbeda. Tubuhnya...bukan, bukan hanya tubuhnya saja yang merasakannya bahkan hatinya seolah-olah telah lama merindukan dekapan hangat pria ini. Jangankan menolak, mempunyai pikiran untuk keluar dari pelukan hangat ini saja, ia sama sekali tak ingin.
"Yah... papa, Ola tuh disini. Kok malah yang ditangkep kak Liza sih. Huh Papa gak dengerin Ola ya?"
Buru-buru Afkar melepaskan dekapannya dari tubuh Eliza kemudian melepaskan penutup matanya.
"Hmm sorry ya". Ujar Afkar yang ternyata mendapati wajah pucat serta tegang milik Eliza dari pandangannya yang samar karena masih berusaha menyesuaikan dengan cahaya saat ia melepaskan kain penutup perlengakapan permainannya dengan Ola.
Ternyata Eliza sudah sejak tadi berada dirumah mereka hanya Ola saja yang melihatnya. Namun karena asik bermain bersama Afkar ia pun mengabaikan kehadiran gadis itu.
"Oh, Gak papa" jawab Eliza cepat. Kemudian segera menghampiri Ola sekaligus menghilangkan kegugupannya.
"Udah ah, hampir gelap nih, Ola masuk terus mandi gih!. Ajak kak Elizanya masuk juga ya!" Seru Afkar pada Ola.
"Ola, Yuk masuk" ajak Eliza kemudian berjalan bersisian menggandeng tangan Ola. Dan tanpa ada yang memperhatikan, sambil berjalan masuk kerumah, rupanya Eliza tersenyum malu-malu mengingat apa yang baru saja terjadi antara ia dan Afkar.
Kehangatan serta kegembiraan ditengah-tengah keluarga tersebut tak dapat dipungkiri semakin berwarna karena kehadiran gadis cantik tersebut. Hanya saja mereka bertiga tak pernah tau, di masa depan apa yang akan mereka hadapi karena sepanjang sore itu, bukan hanya Eliza saja tamu rumah tersebut. Sebuah mobil mewah rupanya terparkir di seberang jalan depan rumah Afkar. Siapapun pengemudinya atau siapapun orang yang tadinya berniat untuk bertamu, jelaslah sangat marah, terlihat dari keengganannya untuk turun menyapa sang empunya rumah malah menyalakan mobilnya kemudian melaju meninggal kompleks rumah tersebut setelah melihat pemandangan yang menyesakkan dadanya.
***
"ehem..."
"Serius amat, lagi ngapain?" tanpa disadari oleh Eliza, rupanya sejak tadi Afkar berdiri memperhatikan apa yang dilakukan oleh gadis itu di ruang keluarga rumahnya seorang diri. Ola yang masih bersama Rini pengasuhnya untuk memandikannya, meninggalkan Eliza sendiri tanpa tau apa yang harus ia lakukan. Sedangkan Afkar, setelah bermain bersama Ola bergegas masuk dan memasuki rumahnya menuju ruang kerja miliknya, dimana handphone-nya sejak tadi berdering seperti ada panggilan penting.
Saat ini Eliza sedang asik mengamati album foto keluarga Afkar. Beberapa kali ia mendapati sosok Nungki yang tersenyum cantik di beberapa foto saat bersama Ola atau pun Afkar. Rasa iri yang tiba-tiba datang dalam hati Eliza tidak dapat ia bendung. Ia tak tau mengapa ia merasa seperti itu melihat pemandangan yang terpampang dihadapannya. Tak sempat ia mengendalikan perasaanya tersebut, tiba-tiba saja Afkar datang menganggetkannya atau mungkin ia saja sebenaranya yang tak menyadari kehadiran Afkar, hingga merasa kaget seperti itu, terlihat dari tangannya tanpa kontrol tergagap entah mau menutup atau membuka lembaran berikutnya, yang jelas ia merasa cukup malu terlihat seperti itu didepan Afkar.
"Kenapa, kok kaget?. Gak nyangka kan aslinya malah lebih ganteng daripada fotonya?" Afkar tidak tahu sejak kapan ia yang tidak pernah sedekat ini dengan perempuan semenjak pernikahannya dengan Nungki mulai berubah. Sejak bertemu Eliza dan melihat gadis itu salah tingkah seperti saat ini, menjadi salah satu pemandangan yang ia sukai. Dan menurutnya inilah salah satu cara untuk mencairkan kebekuan diantara mereka berdua.
"Narsis" memutar bola matanya dan disertai seringai kecil dari bibirnya, hanya satu kata itu saja yang mampu ia ucapkan setelah beberapa detik merasa cukup mampu mengendalikan gejolak dalam dadanya akibat ucapan Afkar yang jelas tidak dapat ia pungkiri kebenarannya.
"Mending saya narsis kan dari pada jadi orang yang gak pede. Lagian ada tuh yang pernah ngomong kalau saya ini ganteng. Berarti bener dong, kalau saya ngomong gitu".
"Ingat Nona satu kata aja kamu salah ngomong, saya bisa nyangka kamu tuh suka sama saya loh"
Dan Eliza pun hanya melongo kaget. Ia seperti tidak menyangka seorang Afkar bisa bersikap seperti itu kepadanya. Walaupun sesekali Eliza akui kalau ia berharap lebih dengan kedekatannya dengan Ola, Afkar pun bisa perlahan - lahan dekat dengannya, tapi tetap saja menurut Eliza ini tidak biasa, ini seperti bukan seorang Afkar.
"Masa sih, segitu jelasnya ya?" ujar Elizatanpa pikir panjang.
"Oh, jadi bener kamu suka sama saya?" Todong Afkar dengan garis bibir yang tertarik keatas.
Dan Eliza pun tersentak atas kecerobohannya. Kata-kata itu keluar tanpa proses penyaringan di otaknya dan itu memang kebiasaanya, bersikap cerobah bukan pada apa yang ia kerjakan lebih sering pada apa yang ia ucapkan.
"Tau ah..." Timpal Eliza dengan nada jengah namun samar. Apa yang susah payah ia tutup-tutupi akhirnya ketahuan oleh Lelaki itu. Tapi sebenarnya belum pasti juga menurutnya karena Afkar sendiri sepertinya hanya bercanda dan Eliza berharap lelaki itu tak sadar apa ia ucapkan tadi, dan menganggapnya pula hanya sebuah candaan. Namun tetap saja Eliza tak dapat lagi menyembunyikan rasa malu akibat ulah Afkar yang menggodanya. Eliza kemudian bangkit dari duduknya melangkah hendak menuju kamar Ola disertai hentakkan kakinya pada lantai marmer yang dingin. terdengar lebih keras dari biasanya tanpa ia sadari. Seperti ada ungkapan kemarahan dalam setiap langkahnya. Dan memang benar Eliza marah, ia sangat marah pada dirinya.
"hei..." Afkar meraih tangan Eliza yang melangkah melewatinya dengan raut wajah yang sulit untuk Afkar gambarkan.
"Ada apa?" tanya Afkar lagi. Senyum samarnya mendadak hilang. Entah kenapa melihat reaksi Eliza yang tak terbaca, tiba-tiba ia merasa cemas. Alih-alih menjawab pertanyaannya Eliza bahkan mengacuhkannya.
"Yuk!, Ola sudah siap tuh" .Pandangan Eliza sejenak terpaut pada genggaman Afkar pada tangan kirinya. Rasa hangat itu kembali ia rasakan. Walau sedikit, tapi rasanya masih sama saat ia berada dalam dekapan Afkar sore tadi. Kemudian pelan-pelan ia mencooba melepaskannya dan menghampiri Ola yang telah keluar dari kamarnya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart to Heart
RomanceDonor hati yang diterimanya, membuatnya mengalami pengalaman berbeda dari gadis seusianya. It was cold, but when you smile I feel the warmth inside of me