6. DUNIA SEMPIT

448 66 19
                                    

—sempiternal

"Tuh, kan. Aku bilang juga apa? Mbak Swas tuh ada di Jakarta, Mas. Nggak mungkin lah orang ngerantau betah banget di kota orang, pasti balik ke kota asal meski sebentar. Mas Re, sih, susah dibilangin." Bolpoin yang dipegang Giya berputar-putar di depan muka Raesaka. Remaja perempuan ini membangunkan kakak laki-lakinya—yang seharusnya bangun siang karena tidak tidur semalaman—untuk membantunya sedikit menjelaskan beberapa sub-bab mata pelajaran Ujian Nasional yang tidak ia mengerti. "Kejer lagi, lah, Mas. Ajak ketemu sama Mas Duta. Joget-joget dah tuh kalian berdua macam anak-anak klasik," cerocosnya.

"Heh, nggak segampang itu, ya, anak kecil!" Raesaka menyentil pelan jidat adik kecilnya, membuat Giya mendelik dan mengasuh kesakitan. "Situasinya udah beda. Mas sama Swas udah nggak satu visi-misi lagi. Nggak akan nyambung kalau ngomongin yang dulu-dulu." Lalu, Raesaka menengguk susu jahe hangat yang baru saja datang ke mejanya.

Jam 12 siang kedai susu jahe dekat sekolah Giya cukup ramai. Selain karena situasi kedai yang strategis, harga murah dan sedang waktu makan siang adalah pemicu kenapa kedai ini jadi pilihan orang-orang untuk rehat sejenak dari penat.

Giya berdecak sambil mengaduk-aduk minuman yang ia pesan. "Emangnya Mas udah coba ngobrol sama Mbak Swas?" Raesaka menggeleng, membuat Giya gemas dan meremas pundak kakaknya. "Ihhh, kok Mas Re bego banget, sih? Ya, ajak ngobrol dong. Ngomong baik-baik, ketemuan baik-baik. Gimana, sih, katanya masih cinta, masih sayang, tapi giliran orangnya ada, malah buang-buang kesempatan," omel Giya dengan tangan yang mengepal ke udara.

Sejak Raesaka dijebak-dipaksa untuk pergi ke kantor salah satu radio dan melakukan wawancara oleh Geni dan Semesta, yang ternyata salah satu penyiarnya adalah Swas, ia jadi selalu melihat ke arah gedung pencakar langit tersebut. Pikirannya menebak-nebak sedang apa Swas, pakaian seperti apa yang ia pakai, gaya rambutnya sepeti apa yang ia tampilkan, atau lagu apa yang perempuan itu tengah dengarkan. Pernah suatu kali mata Raesaka menangkap Swas yang berlari kecil dengan sepatu hak yang tingginya kurang lebih lima sentimeter. Ia terlihat buru-buru memasuki gedung sambil membawa satu buah tablet di genggamannya. Sangat-sangat tipikal manusia metropolitan saat ketahuan telat masuk kerjaan.

Seminggu setelah Raesaka diwawancarai oleh Swas dan Prahadi, ia melihat keduanya tengah bercengkrama, tertawa dengan puasnya di warung sop samping kantor. Prahadi benar-benar membuat perempuan itu tertawa terbahak-bahak, lalu tersedak es teh manis yang ia minum, membuat Praha lekas mengambil tisu gulung dan menyerahkannya ke perempuan itu.

Giya mendadak terkejut sambil menepuk-nepuk meja kedai, membikin Raesaka mengangkat alis dan bertanya, "Kamu kenapa?"

"Mas, Mas, itu Mbak Swas!" Telunjuk Giya mengarah ke dua orang yang baru saja memasuki kedai susu jahe. Si laki-laki mendorong pintu kaca dan membiarkan si perempuan masuk lebih dulu. Keduanya lantas berjalan ke arah kasir guna memesan minuman.

Raesaka mengumpat pelan saat tahu Swas di depan sana memakai setelan kemeja lengan pendek yang dibalut kardigan, serta celana kulot selutut dan sepatu Converse butut. "Ngapain Swas di sini?" cicitnya.

Giya menyambar, "Ya, jajan susu jahe lah, Mas."

Swas dan Praha selesai membayar minuman, keduanya mengitari ruangan untuk melihat tempat yang setidaknya muat untuk dua orang. Giya mendadak mengangkat tangannya ke udara, melambai ke arah Swas sambil berseru, "Mbak Swas, siniiii!" yang membuat Swas memutar kepala dan menghampiri meja yang dipesan anak tersebut.

SEMPITERNALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang