7. MANIS, HANGAT, DAN MENDEBARKAN.

369 56 15
                                    

—sempiternal

Swas ingat bagaimana sosok laki-laki yang saat ini ada di hadapannya. Laki-laki yang seringkali menceritakan obsesinya untuk menjadi penyanyi terkenal dan pemain drum handal, tapi cuma bisa berani bernyanyi di kamar mandi dan hanya mampu untuk jadi pemain drum udara. Swas juga tahu betul bagaimana sikap laki-laki tersebut. Kesukaannya terhadap musik adalah yang selalu mampir di hari-hari Swas saat laki-laki itu menceritakan perkembangan tentang grup band yang ia ikuti. Raesaka pernah mencoba bernyanyi dan merekam dirinya sendiri lalu mengirimkan hasil rekaman tersebut kepada Swas lewat Facebook karena waktu itu ponsel yang mereka pakai belum menunjang aplikasi semacam WhatsApp seperti sekarang. Rekaman tersebut Swas download lewat jaringan wifi di warnet dekat rumahnya, yang membutuhkan waktu yang sangat lama karena koneksinya buruk sekali.

Raesaka juga yang pernah mengajak Swas kucing-kucingan dengan Abah dan Ibu saat ada festival musik di pusat kota. Dengan berbekal uang sangu yang digunakan hanya untuk naik bus, mereka berangkat dan masuk secara sembunyi-sembunyi di balik punggung orang-orang dewasa karena yang diperbolehkan masuk ke acara itu adalah orang-orang yang sudah mempunyai kartu penduduk, sedangkan Swas dan Raesaka belum membuat KTP.

Dari semua yang pernah Raesaka lakukan untuk dirinya, yang paling tidak Swas lupa adalah cara laki-laki itu mencintainya. Banyak ide gila yang mampir di pikiran Raesaka. Ia norak, sok romantis, melankolis, dan lainnya. Raesaka suka sekali tiba-tiba datang ke rumah dan basa-basi membantu Ibu mencuci piring atau ikut Abah memberi makan ikan di akuarium. Tapi kalau dilihat dari dirinya yang sekarang, semua itu sepertinya perlahan menghilang, karena dari yang Swas tengok Raesaka benar-benar berubah setidaknya tiga puluh derajat. Ya, meskipun hanya segitu tapi tetap saja buat Swas adalah hal yang baru.

"Selamat datang, Swas."

Pikirannya tentang Raesaka harus tertunda saat Pak Rabu, pimpinan dari kantor penerbitan itu menyapanya. Swas buru-buru membungkuk dan memberi salam. "Terima kasih, Pak." Kemudian, Swas duduk dengan kepala yang menunduk ke bawah. Ia tahu Raesaka di depannya sedari tadi terus-menerus menatap ke arahnya.

Sial, situasi seperti ini sangat mirip ketika pertama kali mereka bertemu di lapangan sekolah, saat Raesaka tidak sengaja melemparkan baju seragam sekolahnya ke arah Swas ketika ia siap untuk bergabung dengan teman-temannya bermain sepak bola.

Swas mendengar suara kecil dari sampingnya. Sentuhan kecil juga ia rasakan di bahunya. Ketika Swas menoleh, ia mendapati Geni yang cengar-cengir dan melambaikan tangan kepadanya.

"Halo, Swas! Seneng deh akhirnya bisa ketemu sama lo lagi," kata Geni sambil matanya mencuri-curi pandang ke Raesaka yang kini melotot kepadanya. "Abis rapat kita makan, yuk! Udah lama gue nggak gila bareng lo." Geni melanjutkan sambil cekikikan.

Swas membalas kaku, "Oh? Oke."

Kepalanya memutar ke arah depan, tepat di mana Raesaka duduk. Kedua mata kopi itu saling bertubrukan. Raesaka di sana menyunggingkan senyum tipis, dan berkat itu pula Swas buru-buru mengalihkan pandangan. Suasana tiba-tiba panas. Rongga dadanya tiba-tiba meledak. Rona pipinya berubah. Ada perasaan hangat yang menyeruak, membuat Swas harus menahan hingga rapat selesai. Swas ingin teriak. Kedua kakinya ingin menghentak. Ia ingin mengigit bibirnya sendiri. Swas ingin memberitahukan dunia kalau Raesaka dengan mudahnya mampu kembali membuat benang merah di antara keduanya nampak lagi.

Namun, semua itu gagal ditahannya. Praha menangkap Swas yang senyam-senyum sendiri sambil menggigit bibir bagian bawah.

Praha menepuk pundak Swas, menyadarkan perempuan itu. "Swas? Sehat?" tanyanya dengan suara yang kecil, takut kalau Mbak Prima tiba-tiba menoleh dan menyuruhnya untuk diam.

SEMPITERNALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang