Dia.
Apa yang dia lakukan di sini?
Apa dia sejak tadi memperhatikan kami dari balkon itu?Naya merasa jengah mengetahui bahwa orang yang sedang ia pikirkan saat menari tadi, saat ini betul-betul ada di hadapannya. Well, meski jaraknya cukup jauh. Koreksi yah. Bukan sejenis "memikirkan" dengan penekanan perasaan-perasaan yang romantis, jenis "memikirkan" antara Naya dan Alryad adalah jenis yang menguras emosi dan lebih kepada amarah, kejengkelan, dan bingung.
Yup. Naya teramat bingung harus bersikap apa terhadap Alryad. Jujur ia tidak ingin bermusuhan dengannya. Naya harus mengakui, Alryad begitu tampan dan menarik.
Bahkan dari jarak seperti ini, Naya harus menahan nafas agar tidak bergetar oleh tatapan tajam manik berwarna biru itu."Naya, bisakah kau ikut denganku sebentar?"
Radlig, guruku, yang tertinggi dari para Oldwise, Sang Ëld, tanpa kusadari sebelumnya telah berdiri beberapa langkah di hadapanku. Mengajakku ikut masuk kembali ke kastil.
"Baik, guru."
Aku mengikuti langkah kakinya yang hening. Mengingatkanku akan langkah kaki pengendali udara pada tayangan kartun animasi yang sering kutonton di dimensiku saat aku kecil.
Sang Ëld, begitu tenang, wajahnya senantiasa menyiratkan cahaya, cerah.Kami sampai pada sebuah ruangan dengan pintu hitam besar berukiran rumit. Entah karena begitu asik melamun, aku tidak memperhatikan ruangan ini berada di bagian kastil sebelah mana. Aku merutuki diriku. Seharusnya aku memperhatikan jalurnya dengan baik. Sebagai orang baru, bukankah aku harus sebanyak mungkin menyerap dan menyimpan informasi tentang tempat ini di kepalaku kan? Bodoh.
Sang Ëld, mendorong pintu besar tersebut. Ruangan itu serupa perpustakaan besar. Namun versi lebih canggihnya. Dari yang kulihat, ada begitu banyak layar komputer raksasa yang entah menunjukkan apa. Sang Ëld menuntunku berjalan lebih dalam menyusuri ruangan tersebut. Aku mengikutinya sambil mengamati. Buku-buku di rak-rak yang berada berseberangan dengan layar-layar besar tersebut, bukan secara fisik ada di sana. Melainkan hanya tampilan digital saja. Seperti semacam daftar dan kolom pencarian. Ada beberapa orang di dalam ruangan ini, namun sang Ëld mengacuhkan mereka dan tetap berjalan menuju ke ujung ruangan ini. Kami tiba di depan pintu yang lebih kecil. Tapi daun pintunya menyatu dan tidak nampak ada kenopnya atau belnya.
Radlig kemudian menempelkan tangannya ke tengah pintu. Seketika muncul garis cahaya yang meniru bentuk telapak tangannya. Tidak lama muncul pula garis cahaya yang membentuk model pintu dan pintu tersebut membuka dengan bunyi ciss serupa desisan panci dengan air mendidih.
Aku sukses melongo melihat hal tersebut. Aku sontak menoleh ke arah Alryad untuk mencari kesamaan rasa (maksudnya yah siapa tau dia juga terkejut, kan bisa ada adegan ngangguk-ngangguk memahami gitu), sebagai balasannya dia hanya mengernyit, melirikku bosan. Mungkin dia berpikir betapa payahnya aku terlongo hanya karena hal yang demikian biasa baginya. Tapi kan di dimensiku mana ada yang begituan mister, eh pangeran.
Aku mendengus.
Sepertinya aku memang tidak ada kecocokan dengannya.
"Mari pangeran, Naya." Radlig melangkah masuk setelah si Pangeran Angkuh masuk duluan. Aku mengekor di belakangnya."Kalian mungkin penasaran mengapa bisa Naya berada di dimensi kita dan mengapa ia harus menjadi jodohmu Pangeran." Radlig menghadap ke sebuah lukisan besar.
"Sekarang saatnya kalian mengetahui sejarah panjang bangsa kita dan awal mula dari semua ini."
Radlig meletakkan telapak tangannya ke sudut kiri lukisan tersebut. Dan permukaan lukisan yang semula menampilkan pemandangan lembah yang indah, perlahan mengabur menjadi sebuah layar komputer raksasa.
Duh adakah sesuatu di dimensi ini yang sedikit normal. Oke, mungkin sedikit lebih "sederhana" bagiku yang awam ini, keluhku.
Layar besar itu kemudian menampilkan pria dan wanita yang terasa familiar.
Aku memperhatikan dengan rasa penasaran, garis-garis wajah keduanya, entah kenapa terasa begitu akrab. Wanita itu sedang tersenyum, dan aku merasa seperti sedang bercermin.
"Radlig, siapa mereka?" Tanyaku, suaraku bergetar tanpa kusadari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into The Rain
RomanceCinta itu serupa angin, kadang ia bertiup lembut dan membuai. Kadang ia laksana badai yang meluluhlantakkan. Bertemu denganmu serupa mimpi bagiku. Hanya saja, hingga kini aku belum yakin itu mimpi yang seharusnya kusebut indah atau kusesali. Naya Th...