Alryad POV
Kami berdelapan berangkat menuju ke Hutan Lorien. Di sana ada Rumah musim semi kerajaan Alzerion yang selalu kami tempati setiap tahunnya. Tenpat itu sudah lengkap dengan berbagai persiapan kami untuk berburu, berbagai acara petualangan seperti kano, kuda-kuda terbaik, alat-alat berburu, dan para pelayan untuk setiap kebutuhan kami.
Dulu sekali Alzerion memiliki banyak gedung tinggi. Kalau di dimensi kaum Jodart; mereka begitu bangga dengan gedung pencakar langitnya. Jika mereka melihat gedung-gedung Alzerion, mereka akan ciut. Gedung kami begitu tinggi, bahkan berada di antara awan-awan. Itu ratusan tahun yang lalu. Gedung-gedung tinggi dan tempat-tempat mewah memiliki konsekuensi lahan yang berbanding lurus. Seberapa pun tingginya gedung yang dibangun, tetap saja setiap saat ada lahan baru yang dibuka untuk gedung baru. Hingga akhirnya lingkungan menjadi rawan. Kami banyak belajar dari kesalahan itu. Alzerion pernah terkena bencana besar karena ekosistem yang rusak. Kami bangkit dan memperbaiki pola hidup kami. Jumlah penduduk Alzerion tidak banyak, hanya sekitar 5 juta jiwa saja. Oleh karena itu, saat ini hampir tidak ada gedung lagi di seantero LivingRealm. Kami hidup berdampingan dengan alam. Rumah-rumah di Alzerion bisa disesuaikan dengan musim. Terkesan etnik di musim panas, minimalis di musim hujan, penuh warna di musim semi, dan bergaya rumah pohon saat musim gugur.
Kami turun dari tabung transportasi di tengah-tengah rumput hijau yang menjadi latar halaman rumah yang akan kami tempati malam ini. Para pria membantu para wanita dengan bawaan mereka yang begitu banyak. Aku heran mengapa setiap wanita jika bepergian harus membawa banyak barang seakan pergi seminggu setara dengan pergi sebulan. Gosh.
"Lenara, kemarikan tasmu. Akan kubantu membawanya." Tawarku.
"Tidak apa-apa pangeran. Aku bisa membawanya." Ia menjawab dengan senyum ceria. Jelas ia menikmati perhatianku.
"Tentu saja kau bisa. Tapi aku berkeras." Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung meraih tas yang ia bawa.
"Ayo semua, kita bergegas masuk. Sebentar lagi malam akan tiba. Kita harus menyiapkan perapian agar malam ini kita bisa berbincang dan bersenang-senang di ruang tengah tanpa menjadi beku." Ujar Zarion.
Kami semua pun mengikutinya. Dari ekor mataku kulihat Naya yang hanya membawa tas punggung berukuran sedang. Sementara Lori, dari Morien, mengekor di sebelahnya. Gadis itu sama sekali tidak menatapku. Entah kenapa aku merasa tidak nyaman.
***
Author's POV
Rombongan tersebut memasuki sebuah rumah bernuansa etnik dengan interior kayu dan suasana musim semi yang khas. Di depan rumah tersebut terhampar danau yang indah dan dikelilingi hijaunya pepohonan.
Area tersebut dijaga dengan ketat oleh para pengawal Alzerion menggunakan berbagai kamera pengawas yang tersebar dihutan. Sudah menjadi kebiasaan Alryad dan teman-temannya untuk menghabiskan waktu musim semi di tempat tersebut dan meminta secara khusus agar jumlah pengawal serta pelayan seminimal mungkin. Lagi pula, hampir tidak pernah terjadi tindakan kriminal apapun di dalam wilayah Alzerion. Jadi mereka sepenuhnya aman.
Malam telah bergulir dari peraduannya ketika mereka akhirnya telah menempati kamar masing-masing. Naya bersama Lori, Lenara bersama Taeynari, Zarion bersama Radgast, Zayn bersama Lanor, dan tentu saja seorang pangeran tidak boleh berbagi tempat tidur, sehingga Alryad tidur sendiri. Mereka merapikan barang masing-masing di kamarnya, untuk kemudian berkumpul bersama di ruang tengah, di depan perapian yang makin menguarkan kesan khas musim semi.
Zarion dan Lanor sudah lebih dulu asik bermain catur di dekat perapian. Keduanya terlihat serius. Sementara Radgast dan Zayn sedang sibuk membuat rute perjalanan dan perburuan mereka besok pagi, sekaligus mengecek perlengkapan. Alryad terlihat sibuk dengan tugas kenegaraannya, atau bisa diasumsikan demikian. Dengan PC berupa dua batang silinder yang menampilkan layar data hologram, Alryad mengakses berbagai macam laporan Alzerion yang harus ia periksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into The Rain
RomanceCinta itu serupa angin, kadang ia bertiup lembut dan membuai. Kadang ia laksana badai yang meluluhlantakkan. Bertemu denganmu serupa mimpi bagiku. Hanya saja, hingga kini aku belum yakin itu mimpi yang seharusnya kusebut indah atau kusesali. Naya Th...