Jika saja jatuh cinta itu pilihan
Maka kurasa, tak akan ada penyesalan
Atau malah semakin banyak?
Jika saja jatuh cinta itu persoalan memilih
Kurasa jalan kita tidak akan serumit ini
Tidak ada titik temu
Karena aku sejak saat ini dan kurasa untuk waktu yang sangat lama, akan selalu berjalan ke arahmu
Sementara kau, saat ini dan sedari dulu, berjalan mengarah kepadanya
Langkah kalian tentu akan bertemu
Sementara langkahku, hanya akan menuju titik kosong
Semu
Pahit
Sakit
.Naya
Aku sedikit berlama-lama berbaring di rerumputan basah ini. Merasakan dinginnya embun yang meresap si pori-pori kulitku yang melekat di rumput dan hangatnya sinar matahari yang mulai terbit. Perasaan ini menyenangkan. Aku selalu suka menikmati matahari terbit karena itu melambangkan harapan dan memberikan kehangatan. Membuatku memahami bahwa segelap apapun jalan di depanku, pada suatu titik akan muncul cahaya. Sepekat apapun saat ini, pada waktunya hari yang baru akan muncul dengam cahaya baru. Mungkin aku sekaligus menjadikannya sebagai terapi kejiwaan. Aku bukan seorang bijak atau apa, namun aku merasa perlu untuk mensyukuri setiap apapun yang kumiliki saat ini dan tidak hanya menangisi yang tidak lagi kumiliki. Atau yang tidak akan pernah kumiliki.
Alryad.
Yang disebutkan akan menjadikanku miliknya, namun tidak akan pernah kumiliki. Adakah hal yang lebih menyakitkan dari menikahi orang yang jelas-jelas tidak akan mencintaimu?
Namun aku menolak memikirkan kemungkinan rasa sakitnya. Sudah kukatakan, aku akan move on. Kau tidak akan kehilangan sesuatu yang memang tidak pernah kau miliki sebelumnya kan?"Fiuyyuuhhhhhh..." aku bangkit dan menepuk-nepukkan tanganku. Membersihkan sisa embun dan rumput yang menempel di tangan dan pakaianku. Teika pat ketika aku hendak berbalik kembali ke dalam rumah, mataku menemukan tatapannya. Seseorang yang paling tidak ingin kutemui saat ini. Tidak saat aku masih gamang harus bagaimana menghadapinya. Harus bersikap apa di depannya.
Aku membalas tatapannya yang tidak terbaca.
Screw it.
Aku berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menyapanya sama sekali. Begini lebih baik.
***
Naya masuk ke dalam rumah ketika penghuni yang lainnya masih tertidur dengan lelap. Ia memilih melangkah ke dapur, ingin membuat sesuatu untuk mengisi perutnya. Energinya lumayan terkuras untuk aktivitasnya pagi ini. Tepat ketika Naya tengah mengisi gelasnya dengan susu, ia mendengar bunyi ayunan pintu depan. Untuk beberapa detik tangannya beku di udara, namun ia berhasil mengontrol kembali kegugupannya dan kembali bersikap biasa.
Abaikan ia, Naya. Abaikan ia. Jangan memulai sesuatu yang hanya akan menyakitimu.
Naya meraih gelasnya yang telah terisi susu, mengisi beberapa cemilan ke sebuah mangkuk keramik berornamen bunga teratai, dan berjalan menuju kamar yang ia tempati bersama Lori. Mengabaikan dengan sempurna Alryad yang berdiri di ruang tengah, menatapnya tak terbaca.
10 detik.
Beberapa langkah lagi Naya akan sampai di tempat Alryad berdiri. Apakah aku harus menyapanya? Atau berlalu begitu saja?
8 detik.
Semakin dekat. Kuabaikan saja seperti yang sudah kuputuskan sebelumnya. Jangan goyah Naya, jangan sekali-kali.
5 detik.
Baiklah, pandangan lurus ke arah pintu kamar. Anggap ia tidak ada.
1 detik.
Naya berhasil lewat dengan muka datar di hadapan Alryad, berlalu begitu saja. Santai menenteng paket sarapannya. Seperti tidak ada seorang pun yang sedang berdiri di hadapannya saat itu.
fiuhhh, akhirnya. Untuk saat ini aku selamat. Naya bernafas lega. Ia sudah berada di depan kamar. Berusaha membuka pintu kamar dengan mendorong pintu menggunakan bahunya. Hingga sebuah suara memecah belah perhatiannya.
"Apa-apaan itu, Naya?"
Emosional. Suara itu emosional. Bukan teriakan, namun sarat emosi.
"Maksudmu? Apanya yang apa-apaan?"
"Kau mengabaikanku."
"Dan?"
"Dan kau menganggap aku tidak ada?"
"Yah, kau sudah menyebutkannya sebelumnya dengan kalimat yang lebih pendek. Jadi apa masalahnya?"
"Ada apa dengan sikapmu itu?"
"Kenapa dengan sikapku?"
"Aku calon pasanganmu Naya. Kuharap kau masih ingat itu. Dan aku adalah seorang pangeran, dan karena kau ada di sini maka kau menjadi bagian dari kerajaan ini, dalam arti kau adalah bagian dari rakyatku. Menurutmu sikapmu itu adalah prilaku yang pantas untuk berhadapan dengan calon raja?"
Angkuh. Dengus Naya.
Bodoh, mengapa malah aku mengatakan hal-hal tidak penting seperti itu. Aku malah memperburuk segalanya. Rutuk Alryad.
"Selamat pagi Yang Mulia, Pangeran Alryad. Maafkan hamba yang hina ini karena melewatkan kesempatan mulia untuk menyapa Yang Mulia. Nah jika Yang Mulia tidak keberatan, hamba mohon pamit untuk sarapan di dalam kamar hamba" Kata Naya Sinis. Ia kemudian memutar badannya untuk segera berlalu dari hadapan Alryad.
"Tunggu". Sebuah cengkeraman di bahu Naya menghentikan langkahnya.
"Kenapa, Naya?"
"Kenapa?"
"Kau bersikap seperti ini, ada apa denganmu?" Alryad menatap langsung ke manik mata Naya. Berusaha menyelami apa yang dipikirkan gadis itu.
Naya melepaskan cengkeraman Alryad di bahunya.
"Pertanyaannya adalah ada apa denganmu Alryad? Kenapa kau begitu peduli dengan sikapku? Bukannya sebelum kita berangkat ke tempat ini kau bersikap begitu dingin padaku? Apa kau sudah lupa?" Naya menyerbu Alryad dengan kata-katanya. Menatap Alryad tajam dengan lapisan bening yang mulai melapisi manik matanya."Aku tidak bermaksud seperti itu Naya. Aku hanya sedang dalam situasi hati yang buruk. Aku jadi meracau." Alryad berusaha meraih lengan Naya. Namun Naya lebih sigap dan menangkap tangan Alryad. Naya menunduk.
"Tolong berhenti Alryad. Jangan teruskan lagi. Jangan berbuat baik padaku. Jangan berkata baik padaku. Jangan lakukan apapun yang bisa membuatku menyukaimu. Aku.... aku tidak bisa menerimamu sebagai seorang teman. Aku... aku harus membencimu. Dengan begitu, semuanya akan lebih baik." Naya mengungkapkan semuanya, masih dengan tertunduk. Kemudian tanpa berkata apapun lagi, ia berbalik dan membanting pintu kamarnya. Meninggalkan Alryad yang membeku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into The Rain
RomanceCinta itu serupa angin, kadang ia bertiup lembut dan membuai. Kadang ia laksana badai yang meluluhlantakkan. Bertemu denganmu serupa mimpi bagiku. Hanya saja, hingga kini aku belum yakin itu mimpi yang seharusnya kusebut indah atau kusesali. Naya Th...