Keping 6. Rasanya Aku ingin meninju wajah malaikatmu

53 5 9
                                    

"Matahari sebentar lagi terbenam, mari kita menuju balkon istana untuk pembukaan pesta." Raja mengajak kami semua ke bagian depan istana. Ia sendiri sudah lebih dulu memimpin rombongan kami bersama ratu dan para panglima.

"Mari Naya." Guru juga bergerak mengikuti rombongan.

Kusudahi perang tatapan sinisku dengan pria yang notabene pangeran itu, dan beranjak mengikuti guruku. Suasana hatiku memburuk karena dia. Baru saja aku merasa suka dengan istana ini, kenapa sih harus ada penghuninya semacam pria itu. Gantenglah, lumayan. Oke, jauh lebih dari sekedar kata lumayan. But then, so what!?. Aku paling benci sama orang yang ganteng ataupun cantik terus sinis terhadap orang lain, merendahkan orang lain. No way!! Aku tidak akan membuatmu mengintimidasiku, hey kamu pangeran ganteng berkelakuan minus.

Aku tiba di balkon istana. Entah bisa disebut balkon atau tidak, luasnya saja lebih dari rumahku ditambah pekarangan-pekarangannya sekalian. Ratu Talyla menyambutku dan memintaku berdiri di sebelahnya. Which is sebenarnya tidak favourable karena pria itu akan berdiri tepat di sampingku jika aku mengiyakan permintaan sang ratu.
Lha tapi memangnya aku punya pilihan. Aku stranger di sini, dan jelas membuat sang ratu tersinggung bukan jadi opsi perilaku yang baik jika aku mau hidup dengan tenang di negeri ini. Duh!

"Naya, setiap puncak musim yang ada, yaitu saat bulan purnama seperti hari ini, kami akan mengadakan pesta. Untuk menunjukkan rasa syukur kami dan kecintaan kami terhadap alam. Khusus untuk pesta musim semi, kami selalu menerbangkan lentera. Lentera ini berisi permohonan. Kau bisa menuliskannya, ataupun mengucapkannya seperti doa."

"Lentera ini dirancang khusus untuk terbang dan menggelayut di awan langit malam. Begitu sinar matahari pagi mengenainya, lentera ini akan buyar dengan sendirinya. Tidak ada sampah, tidak ada polusi." Sang raja menambahkan.

Aku hanya mendengarkannya sambil terbengong-bengong. Tampilan boleh sih yah ala-ala abad pertengahan atau jaman kerajaan begini, tapi teknologi mereka begitu mutakhir. Seandainya di dimensiku juga orang-orang berpikir seperti ini. Tidak hanya terus menerus menggerus alam, merusaknya, membakar di sana sini, mengebor, dan pengrusakan lainnya.
Hembusan angin senja menerpaku. Ratu mengulurkan lentera berwarna jingga kepadaku. Mirip lampion. Hanya saja lentera ini memiliki rangka yang begitu indah. Membentuk sulur bunga dan kelopak bunga besar kecil yang seolah-olah hidup. Di dalamnya ada lentera kecil dengan api yang bergoyang-goyang, memenuhi keseluruhan benda ini dengan cahaya yang hangat. Dinding lenteranya dilapisi kertas, seperti pada lampion. Tapi justru mengingatkanku pada kereta kencana cinderella heheheh.

Aku enggan untuk mencari-cari alat tulis, jadi aku memutuskan untuk membisikkan saja doaku. Raja memulai prosesi pelepasan lentera disusul oleh sang ratu. Kemudian satu persatu orang-orang yang hadir melepaskan lentera mereka ke udara. Aku mengulurkan kedua tanganku, mengangkat lenteraku ke udara. Memejamkan mata dan membisikkan permohonanku.
Terbanglah, aku mendorong lentera tersebut ke udara. Aku kembali memejamkan mata, menyatukan kedua tanganku di dada, tepat dimana jantungku berdetak. Aku tersenyum. Kemudian ku buka mataku, dan kuraup pemandangan di depanku baik-baik di memoriku.
Ayah, mama seandainya saja kita bisa melihat ini bersama-sama. Begitu indah mah. Matahari terbenam tepat di depan mata Naya. Ribuan lentera di langit malam seperti bersaing dengan jutaan bintang di atas sana. Tempat ini begitu indah, so magical, mama ayah.
Tidak ada yang harus disesali. Yah, tidak ada yang harus disesali.
Dan aku terus mendongak, menatap lentera yang terbang jauh ke langit. Namun aku tersenyum. Mataku mungkin meneteskan beberapa air mata, namun aku memilih tersenyum. Karena pemandangan seindah ini tidak boleh kusandingkan dengan rasa sedih.

Tanpa gadis itu sadari, sepasang mata biru gelap memperhatikannya sejak tadi. Menangkap semua gerakan khusyu'nya berdoa dan menikmati momen tersebut.

Into The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang