Keping 10. What will we become, Alryad?

28 5 4
                                    

Maukah kau berteman denganku?

Yah, dia mengajakku berteman. Teman. Hanya teman.
Aku tentu saja mengiyakan. Apa lagi.
Lagipula apa yang kuharapkan. Bukan berarti aku menyukainya atau apapun itu. Namun, mengapa aku merasa terganggu dengan kata teman itu.
Aku mendesah gusar.
Belum pernah emosiku terkuras seperti ini hanya karena memikirkan seseorang.
Baiklah. Fokus.
Justru ini hal baik. Dia tidak lagi membenciku. Artinya, tidak akan ada lagi tatapan dingin dan muka datar itu.
Setidaknya, kuharap seperti itu.

***
"Hey, apa yang sedang kau pikirkan." Lori, menerobos masuk ke kamarku. Saat aku sedang khusyu' melamun, duduk di atas ranjang dan menatap keluar jendela. Jauh ke arah Elzerion. Ke tempat Alryad berada.

"Lori.. tsk. Tidak biasanya kau masuk tanpa mengetuk." Aku memberengut

"Hey, jangan menuduhku. Aku mengetuk berkali-kali. Kau saja yang terlalu asik melamun hingga tidak mendengarkan." Dia tersenyum jahil.

Aku masih memberengut. Mengerucutkan bibirku.

"Sudahlah. Tidak usah memasang wajah menggemaskan begitu. Sekarang, bangun dari ranjang ini dan segeralah ke ruang mandi. Bersihkan dirimu. Dan bersiap-siaplah. Kita akan ke Alzerion bertemu Sang Raja." Dia mengerling nakal, "dan tentu saja, bertemu Sang Pangeran."

"Aku maksud ekspresimu itu Lori." Aku memasang tampang pura-pura bingung

"Sudahlah Naya. Meskipun aku terhitung baru mengenalmu. Tapi aku sudah pasti hidup lebih lama darimu untuk sekedar menghapalkan tanda dan gejala orang yang jatuh cinta."

"Aku? Jatuh cinta? Kepada siapa?" Bantahku buru-buru

"Hahahahah lucu sekali kau ini Naya. Sudahlah. Nanti kau akan menyadarinya sendiri. Sekarang bergegaslah; karena Sang Éld sudah menunggu. Dan aku tidak boleh membuatnya menunggu." Dia berkacak pinggang dan memasang ekspresi serius.

"Iyaaaaah. Kau mulai cerewet akhir-akhir ini Lori." Aku melangkah sambil menggerutu.

***

Alryad PoV

Aku baru saja melancarkan gencatan senjata dengan gadis itu. Yah, namanya Naya. Mungkin dia akan menjadi teman yang tidak terlalu buruk. Aku memutuskan untuk tidak membencinya lagi. Toh, tidak akan merugikan apa-apa bagiku.

Setelah berbincang sebentar dengannya, aku langsung pamit dengan alasan masih ada yang harus kubicarakan dengan sang Ëld. Sebenarnya alasan utamaku adalah membuat dia lega. Heran, mengapa dia selalu terlihat tertekan dan gelisah di dekatku? Apa aku menyeramkan?

Ah sudahlah.
Aku kembali ke Galeri Pengetahuan. Mahluk Jödart menyebutnya perpustakaan. Aku menemukan sang Ëld di ruangan ini.

"Pangeran, mengapa Anda kembali ke mari? Apa ada yang tertinggal?"

"Pertanyaan dan penjelasan. Itu yang tertinggal, wahai Oldwise." Aku tidak bisa membendung rasa penasaranku. "Saat dulu di aula istana, kau mengatakan bahwa gadis itu menjadi jodohku melalui pencarian teknologi jodoh. Lantas bagaimana dengan cerita tadi?"

"Ah pangeran, maafkan aku. Aku belum sempat menjelaskan secara detail. Saat awal menerima Naya, ibunya mengatakan padaku bahwa Naya adalah sumber kesembuhan. Pada Dna-nya telah ditanamkan informasi penyembuhan hasil penelitian keluarga mereka selama beberapa generasi. Aku memang sudah menduga, bahwa Naya akan menjadi penawar bagi racun Malark berdasarkan pesan ibunya. Namun bagaimana cara penawar itu digunakan, belum sempat ibunya memberikan informasi tersebut dan mereka berdua, orang tua kandung Naya, sudah meregang nyawa."

"Aku kemudian menitipkan Naya di rahim seorang wanita Jödart. Saat kembali ke Lorien, aku menerima pesan Raja untuk kembali mencari jodoh untukmu pangeran. Hal tersebut sudah kami lakukan sejak kau lahir, namun hingga setahun kelahiranmu, teknologi kita tidak menemukan satu pun Dna yang cocok." Radlig menerawang, sambil mengusap dagunya.

Into The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang