Kunci Pertama

11K 127 2
                                    

Pada bulan kedelapan permulaan musim rontok air sungai Liang Kiang mengalir dengan perlahannya memenuhi danau Tiang Pek Auw di pinggiran dusun Tan Kwee Cung.

Malam hari semakin larut cuma terlihat bayangan rembulan memancarkan sinarnya di tengah kejernihan air telaga.

Pohon pohon Kwi Ci yang tumbuh di tepi telaga secara samar-samar menyebarkan bau harum yang semerbak....

Tiba-tiba suasana yang amat sunyi senyap itu dipecahkan oleh suara air yang memecahkan ke samping, tampak sebuah perahu dengan amat perlahannya berlayar dari arah sebelah timur.

Pada ujung perahu duduklah seorang lelaki tua yang memakai pakaian singsat dengan mengenakan sebuah topi yang terbuat dari bulu di atas kepalanya, di samping lelaki tua
itu duduklah seorang perempuan cantik yang kira-kira berusia empat puluh tahunan memangku seorang bocah cilik yang baru berusia sebelas tahunan.

Angin malam yang amat dingin berhembus tak henti hentinya membuat keadaan terasa membeku, terlihatlah perempuan berusia pertengahan itu segera membuka mantel yang dikenakannya kemudian diselimutkan ke atas badannya bocah tersebut, jelas sekali
kecintaan sang ibu kepada anak jauh mengalahkan segalanya.

Dengan perlahan kakek tua itu mengambil cawan air teh di atas sebuah meja kemudian
meneguknya satu tegukan, lantas ujarnya kepada perempuan itu.

"Leng jie apa sudah tertidur?"

"Ehmm... sudah!" Sahut perempuan cantik itu tersenyum kemudian tundukkan kepalanya memandang sekejap ke arah bocah yang sudah tertidur pulas di dalam pangkuannya.

Dengan perlahan si orang tua itu bangkit berdiri sambil mendongakkan kepalanya memandang sang rembulan yang memancarkan sinar terang jauh di tengah awang-awang dia menghela napas panjang.

"Heeeey.... sia-sia saja jasaku yang aku perbuat bagi negara selama tiga puluh tahun ini."
Suaranya berat dan amat sedih, secara samar-samar memperlihatkan keperihan hati dari seorang enghiong yang baru saja menemui kekecewaan.

"Eeeei malam sudah larut mari kita pulang saja!" potong perempuan berusia pertengahan itu sambil tersenyum, "nanti Ling jie akan kedinginan dan masuk angin...."

Si orang tua itu segera mengangguk, baru saja dia orang mau memerintahkan si tukang
perahu untuk putar perahunya kembali tiba-tiba dari arah depan muncul sebuah perahu besar yang amat terang benderang berlayar dengan lajunya ke arah perahu mereka.

Agaknya perahu besar itu sudah kehilangan kemudinya, dengan mengikuti tiupan angin ia bergerak maju terus menubruk ke arah perahu yang ditumpangi sang kakek tua beserta
anak istrinya itu.

Tukang perahu di atas perahu kecil itu agaknya adalah seorang yang berpengalaman luas, tanpa menanti perintah dari majikannya dia segera membanting kemudinya menghindar ke arah samping.

Sedangkan tukang perahu lainnya dengan terburu buru lari ke ujung perahu sambil goyang goyangkan tangannya membentak keras, "Hey kawan, matamu sudah kau taruh dimana??..."

Walaupun dia sudah berteriak berulang kali suasana masih tetap sunyi senyap, tak terdengar suara balasan dari atas perahu besar tersebut.

Si tukang perahu itu menjadi cemas hatinya dengan cepat dia goyangkan galanya menutul ke arah perahu besar itu.

Waktu itu angin yang bertiup di tengah telaga sudah amat lemah sekali, begitu sang perahu besar terkena tutulan gala posisinya segera terpukul nyaring ke samping, pada saat yang bersamaan pula kedua perahu itu sudah saling berpapasan di samping.

Selama ini sang kakek tua itu masih tetap menggendong sepasang tangannya berdiri tenang terhadap peristiwa mengerikan yang baru saja akan terjadi dia orang sama sekali tidak tergentar hatinya air mukanya tetap tenang bagaikan jernihnya air telaga.

Rahasia Kunci Wasiat (Wo Lung Shen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang